Logo
>

Kontribusi Syariah ke PDB Masih Minim: tak Sampai 10 Persen

Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 10 persen.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kontribusi Syariah ke PDB Masih Minim: tak Sampai 10 Persen
Kontribusi ekonomi syariah di Indonesia masih terbilang minim terhadap terhadap pembangunan nasional. Foto: dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM –  Kontribusi ekonomi syariah di Indonesia masih terbilang minim terhadap  terhadap pembangunan nasional. Padahal lebih daripada 86 persen penduduk Indonesia adalah muslim

Kepala Center of Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Nur Hidayah, menyebut bahwa kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 10 persen.

“Hal ini tentu saja menunjukkan adanya disparitas antara kontensi dan aktualisasi,” ujar Nur dalam konferensi pers Arah Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia Menjelang Muktamar IAEI 2025, Rabu 14 Maret 2025.

Ia menilai, hal itu dikarenakan selama ini ekonomi syariah sering tidak diposisikan sebagai bagian utama dari strategi pembangunan negara. Tapi hanya sebagai pelengkap dalam kebijakan nasional,

“Ekonomi syariah jangan ditempatkan sebagai kompartemen yang terpisah dengan jargon-jargon keagamaan semata,” tegasnya.

Data OJK tahun 2024 menunjukkan bahwa pangsa pasar perbankan syariah masih stagnan di kisaran 6,7 persen. Menurut Nur, capaian ini menunjukkan perlunya upaya sistemik agar industri keuangan syariah mampu berkompetisi dan berkembang lebih luas, khususnya dalam pembiayaan sektor produktif.

Ia juga menyoroti lemahnya kontribusi sektor keuangan syariah terhadap UMKM, yang dinilai belum mampu menjangkau sektor-sektor strategis seperti pertanian, maritim, dan industri manufaktur halal. 

Ia menilai pendekatan ekonomi syariah masih belum menyatu dalam satu kerangka integratif yang menghubungkan aspek fiskal, moneter, sosial, dan spasial.

“Kita juga melihat bagaimana ekonomi syariah yang masih terjebak dalam pendekatan yang sektorall,” jelas Nur.

Dalam aspek sosial, ia menyampaikan bahwa potensi zakat, infak, dan wakaf yang besar pun belum mampu dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pembangunan nasional. Berdasarkan estimasi Baznas, potensi tersebut mencapai Rp327 triliun, namun sumbangsihnya masih terbatas di angka 3,2 persen.

“Padahal jika dikelola secara optimal dalam kerangka fiskal nasional, zakat, infak, sedekah, dan wakaf ini bisa menjadi quasi public fund untuk pembangunan pendidikan, kesehatan, dan juga ekonomi hijau dalam kerangka Sustainable Development Goals,” tambahnya.

Nur juga menekankan bahwa stagnasi ini bukan disebabkan oleh minimnya inisiatif. Justru, menurutnya, saat ini sudah banyak inisiatif yang datang dari berbagai kalangan—akademisi, regulator, pelaku industri, hingga komunitas—namun belum terjalin dalam satu arah kebijakan yang sistemik.

“Sesungguhnya kita masih kekurangan orkestrasi kebijakan dan arah besar yang sistemik yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah,” katanya.

Oleh karena itu menurutnya berbagai kendala-kendala penghambatan dan stagnasi yang tengah dihadapi saat ini perlu reformasi kebijakan ekonomi syariah. Masalah mendasarnya adalah ekosistem kebijakan dan tata kelola.

Reformasi Kebanyakan Ekonomi Syariah

Untuk itu, ia mendorong adanya reformasi kebijakan ekonomi syariah yang menyentuh aspek struktural, bukan hanya sebatas reformasi kelembagaan. 

Menurutnya, hal yang mendesak dilakukan saat ini adalah membangun ekosistem yang mampu mensinergikan industri keuangan syariah, industri halal, mekanisme redistribusi sosial, serta regulasi fiskal nasional.

“Agar kemudian menciptakan sebuah orkestrasi yang selaras, senada, untuk sama-sama mendorong potensi ekonomi dan keuangan syariah mencapai titik optimumnya,” pungkas Nur.

Ekonomi Dan Keuangan Syariah

Kepala Center of Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Nur Hidayah, menilai bahwa ekonomi dan keuangan syariah Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pertumbuhan sektor ini dinilai cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Diperkirakan, total aset sektor keuangan syariah nasional akan mencapai kisaran Rp3.157,9 triliun hingga Rp3.430,9 triliun pada tahun 2025. Sebagai perbandingan, pada September 2024 lalu, realisasi aset keuangan syariah masih berada di angka Rp2.744 triliun, atau naik 11,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).

“Kita melihat bahwa sejak pendirian Bank Syariah pertama yang menjadi semacam tonggak sejarah bagi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah. Karena dinamika dari ekonomi dan keuangan syariah ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup positif,” ujar Nur dalam konferensi pers Arah Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia Menjelang Muktamar IAEI 2025, Rabu 14 Maret 2025.

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa perbankan syariah juga mencatatkan kinerja positif di akhir tahun 2024. Total aset perbankan syariah mencapai Rp980,30 triliun, tumbuh 9,88 persen yoy, dan market share-nya naik menjadi 7,72 persen dari sebelumnya 7,44 persen di Desember 2023.

Dari sisi pembiayaan, bank syariah menyalurkan Rp643,55 triliun atau naik 9,92 persen yoy. Angka ini sejalan dengan pertumbuhan industri perbankan nasional. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun mencapai Rp753,60 triliun atau tumbuh sekitar 10 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan industri perbankan secara umum yang hanya berada di kisaran 4–5 persen.

Penyaluran pembiayaan didominasi sektor perumahan (KPR) sebesar 23 persen, sementara pembiayaan untuk UMKM mencapai 16–17 persen dari total pembiayaan.

Struktur permodalan perbankan syariah juga tergolong kuat. Capital Adequacy Ratio (CAR) berada di angka 25,4 persen. Rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 154,52 persen dan 32,09 persen—masih jauh di atas ambang batas minimum 50 persen dan 10 persen.

Dari sisi kualitas pembiayaan, rasio Non-Performing Financing (NPF) Gross tercatat sebesar 2,12 persen dan NPF Nett sebesar 0,79 persen. Sementara itu, profitabilitas tetap tumbuh dengan Return-On-Asset (ROA) mencapai 2,04 persen, mencerminkan laju bisnis perbankan syariah yang tetap solid di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.

Namun, meski data-data tersebut menunjukkan tren positif, Nur tetap mengingatkan bahwa masih banyak tantangan besar yang harus dihadapi sektor ini. Salah satunya adalah belum optimalnya potensi ekonomi dan keuangan syariah yang ada saat ini.

“Arahnya perlu dimulai, diarahkan ke arah yang lebih positif dan tentu ini harus dimulai dari perubahan paradigma makro,” tegas Nur.

Ia menilai bahwa yang dibutuhkan bukan hanya reformasi kelembagaan, melainkan penyusunan ulang struktur yang selama ini membatasi kontribusi sektor syariah terhadap perekonomian nasional.

Menurut Nur, Indonesia tidak kekurangan inisiatif untuk membangun ekosistem keuangan syariah. Banyak langkah telah dilakukan oleh akademisi, regulator, pelaku industri, hingga komunitas-komunitas yang peduli terhadap sektor ini.

“Namun sesungguhnya kita masih kekurangan orkestrasi kebijakan dan arah besar yang sistemik yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah,” pungkasnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.