KABARBURSA.COM - Head for Center Sharia Economic Institite for Development of Economics and Finance (INDEF), Handi Risza, mengatakan industri halal kini telah menjadi isu global. Dalam laporan Global Islamic Economy Report, potensi ekonomi halal tercatat terus berkembang. Meski Indonesia memiliki populasi muslim terbesar kedua setelah Pakistan, terdapat sekitar dua miliar konsumen muslim di seluruh dunia yang menjadi pasar potensial untuk produk halal.
"Secara populasi muslim Indonesia terbesar kedua setelah Pakistan, tapi di dunia ada dua miliar konsumen muslim yang akan menjadi potensial market produksi halal," kata Handi dalam diskusi dari bertema "Penguatan Ekosistem Halal Untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah", Jumat, 4 Oktober 2024.
Dia menjelaskan dari segi segmen negara, ada 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang juga merupakan pasar potensial yang dapat dikembangkan. Transaksi konsumen Muslim meningkat sebesar USD2,3 triliun setiap tahunnya dan menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten.
"Dari sisi segmen negara, ada 57 negara OKI yang merupakan potensial market dan bisa dikembangkan. Transaksi konsumen muslim meningkat 2,3 T USD setiap tahunnya dan terus meningkat," kata dia.
Industri halal saat ini mencakup berbagai produk, termasuk kategori makanan dan minuman halal, fesyen, kosmetik, serta media farmasi. Secara keseluruhan, ada sekitar enam hingga tujuh industri yang menjadi ukuran perkembangan industri keuangan halal. Di negara-negara industri maju, industri keuangan halal telah menjadi salah satu bisnis keuangan terbesar.
Salah satunya adalag negara Australia yang telah menjadi pengekspor daging halal terbesar di dunia, diikuti juga oleh Brazil. Mereka sudah menerapkan sertifikasi dan standarisasi halal sehingga bisa di konsumsi di negara-negara muslim Asia Barat, Timur Tengah, Asia Tenggara.
"Di negara-negara industri maju yang industri sudah sangat keuangan, industri keuangan halal menjadi salah satu bisnis keuangan terbesar," kata Handi.
Namun, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah perkembangan industri halal masih bersifat sektoril dan belum terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Misalnya, dalam sektor keuangan komersial, perbankan, dan industri keuangan non-bank, semuanya masih belum terhubung secara kuat dengan industri halal lainnya. Begitu juga dengan sektor makanan dan minuman, fesyen, kosmetik, dan media yang masih bersifat parsial.
"Bagaimana kondisi riil di Indonesia? kenapa harus membangun ekosistem halal? karena perkembangan industri halal kita masih tumbuh sektoral. Belum terintegrasi jadi satu kesatuan," ujarnya.
Untuk mengatasi hal ini, Handi menekankan pentingnya kewajiban labelisasi halal untuk setiap produk yang masuk ke Indonesia. Dengan adanya sertifikasi halal yang terintegrasi, ekosistem halal dapat terbangun dengan lebih baik.
Ia juga menjelaskan bahwa sektor social finance, termasuk ultra mikro dan sektor informal, memiliki pangsa pasar terbesar dibandingkan sektor korporasi besar. Oleh karena itu, dukungan dari lembaga keuangan mikro dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sangat diperlukan untuk memberdayakan sektor ini.
"Memang kadang tidak bisa incharge dalam dunia keuangan sehingga dirasa perlu dibantu BMT, micro finance dan lain-lainnya," jelasnya.
Namun, masih terdapat tantangan dalam pembentukan halal value chain yang komprehensif. Proses input, produksi, hingga proses akhir masih terpotong-potong, dan sektor hulu serta tengah belum memiliki skema syariah yang jelas.
"Masih terpotong-potong. sektor tengah dan dihulu belum punya skema-skema syariah," kata Handi.
Salah satu persoalan yang muncul adalah terkait dengan sertifikasi produk seperti bir dan wine yang disertifikasi melalui sistem self-declare.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena proses pendampingan yang dianggap formalitas sehingga produk makanan dan minuman yang seharusnya tidak layak mendapat sertifikasi halal, justru bisa memperolehnya.
Dengan tantangan-tantangan ini, dia menegaskan pembangunan ekosistem halal yang terintegrasi dan komprehensif di Indonesia sangatlah penting untuk memaksimalkan potensi industri halal dan memastikan produk-produk tersebut benar-benar memenuhi standar halal yang diharapkan.
Butuh Kerja Sama
Dalam kesempatan yang sama, Mantan anggota DPR RI yang juga Associate INDEF, Hakam Naja, mengatakan perlunya kolaborasi kolektif dalam membangun ekosistem ekonomi keuangan syariah, terutama antara negara-negara OKI.
Hakam mengingatkan Indonesia tidak bisa berjalan sendiri dalam pengembangan industri keuangan syariah. “Ekonomi syariah ini memang seharusnya kita bangun secara kolektif,” kata Hakam.
Menurutnya, sinergi dengan minimal 57 negara anggota OKI menjadi keharusan untuk menciptakan kekuatan yang mampu bersaing secara global.
“Minimal 57 (bersama) negara OKI, Organis Konferensi Islam. Karena kita membangun ekosistem, kita mesti membangun hubungan dengan mereka,” kata dia.
Hakam merujuk pada data yang menunjukkan potensi luar biasa dari dua miliar umat muslim di dunia yang mengonsumsi sekitar USD3 triliun, angka yang hampir tiga kali lipat dari PDB Indonesia. “Ini hal yang sangat besar dan mesti diambil untuk bagaimana bersinergi dengan Brunei, dengan Malaysia, dengan negara-negara muslim,” tegasnya.
Namun, ia juga menyoroti kemandekan Indonesia dalam mengambil peran strategis di sektor ini. Merujuk pada fakta negara-negara di luar OKI kini mengambil alih peran penting dalam industri halal. “Kita lalai, kita tidak aware,” ujarnya,
Dalam konteks ini, data dari State of Global Islamic Economy 2023-2024 menunjukkan bahwa Brasil, Australia, Amerika Serikat, China, dan Thailand kini mendominasi produksi kebutuhan konsumsi negara-negara OKI, khususnya dalam industri makanan dan minuman. Ironisnya, Indonesia, sebagai konsumen terbesar, justru berada di posisi pasif.
“Yang menguasai industri makanan di negara-negara OKI adalah Brasil, India, Amerika Serikat, Rusia, dan China. Kita (Indonesia) konsumen terbesar,” kata Hakam.(*)