KABARBURSA.COM - Di tengah narasi surplus neraca perdagangan yang masih sering dirayakan, terdapat satu indikator yang seharusnya justru membuat kita berhenti sejenak yaitu defisit perdagangan barang modal Indonesia yang semakin bersifat struktural.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2025 menunjukkan bahwa golongan mesin dan alat pengangkutan menjadi penyumbang defisit terbesar dalam perdagangan ekspor impor. Neraca perdagangan Indonesia menurut golongan SITC memperlihatkan pola yang sama. Hampir seluruh surplus perdagangan berasal dari bahan baku olahan, barang antara, dan manufaktur konsumsi.
Sebaliknya, barang modal menjadi defisit terbesar dalam neraca perdagangan Indonesia. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin dari cara Indonesia bertumbuh. Defisit yang Mengandung Dua Makna Defisit barang modal kerap dipersepsikan sebagai kelemahan. Namun dalam ilmu ekonomi pembangunan, ia memiliki dua sisi. Di satu sisi, impor mesin dan alat produksi sering kali menandakan ekspansi investasi seperti pembangunan pabrik, smelter, infrastruktur energi, hingga modernisasi industri manufaktur.
Bank Indonesia dalam beberapa laporan Neraca Pembayaran menegaskan bahwa impor barang modal bersifat relatif tidak elastis karena terkait langsung dengan pembentukan kapasitas produksi. Namun di sisi lain, ketika defisit ini berlangsung persisten dan besar, ia mengungkap masalah yang lebih dalam: ketergantungan struktural terhadap teknologi dan mesin impor.
Indonesia masih mengekspor barang, tetapi belum menguasai alat untuk memproduksi barang tersebut. Dengan kata lain, nilai tambah tertinggi, pengetahuan, desain, rekayasa mesin masih tercipta di luar negeri. Industrialisasi yang Berhenti di Tengah Jalan OECD mencatat bahwa negara-negara yang berhasil naik kelas menjadi negara industri hampir selalu mengalami fase defisit barang modal. Namun 2 perbedaannya terletak pada kelanjutan proses tersebut.
Negara seperti Korea Selatan dan Jerman menggunakan fase defisit itu sebagai jembatan menuju penguasaan industri mesin dan teknologi produksi. Indonesia belum sepenuhnya menyeberang jembatan tersebut. Pola perdagangan kita menunjukkan industrialisasi yang kuat di hilir dan manufaktur menengah, tetapi lemah di sektor capital goods.
Inilah yang oleh banyak ekonom disebut sebagai industrialisasi setengah matang—cukup untuk tumbuh, tetapi belum cukup untuk berdaulat secara ekonomi. Dani Rodrik dari Harvard University pernah mengingatkan, Countries do not grow rich by exporting raw materials or assembling goods; they grow rich by mastering the technologies behind production.
Pesan ini relevan untuk Indonesia hari ini. Masalah Utama: Pembiayaan Industrialisasi Mengapa industri barang modal sulit tumbuh, karena bukan hanya soal teknologi, tetapi pembiayaan. Investasi di sektor ini bersifat padat modal, berisiko tinggi, dan berjangka panjang. Profil ini tidak cocok dengan model pembiayaan perbankan komersial yang cenderung berhati-hati dan berorientasi jangka pendek. Di sinilah hampir semua negara industri melibatkan Development Financial Institution (DFI).
Jerman memiliki KfW, Korea Selatan memiliki KDB, Jepang memiliki JBIC. OECD bahkan menyebut DFI sebagai missing link antara kebijakan industri dan realisasi investasi sektor strategis. Tanpa instrumen pembiayaan pembangunan yang kuat, industrialisasi barang modal hampir mustahil terjadi secara alami. Relevansi Strategis bagi Indonesia dan Danantara Dalam konteks Indonesia, kehadiran Danantara seharusnya dibaca lebih luas dari sekadar pengelola aset negara.
Ia berpotensi menjadi embrio DFI modern yang mengisi celah pembiayaan industrialisasi khususnya di sektor barang modal dan teknologi produksi. 3 Defisit barang modal bukan alasan untuk proteksionisme sempit, tetapi justru penunjuk arah intervensi strategis: pembiayaan jangka panjang, kemitraan teknologi, dan pembangunan kapasitas industri mesin domestik.
Alexander Hamilton, arsitek awal kebijakan industri Amerika Serikat, pernah menulis bahwa manufacturing is the engine of national independence. Dalam konteks abad ke-21, pernyataan itu dapat dipersempit yaitu barang modal adalah jantung dari kemandirian industri. Membaca Defisit dengan Cara yang Tepat Surplus perdagangan sering dirayakan, defisit sering dikeluhkan. Namun defisit barang modal justru harus dibaca dengan lebih cermat. Ia adalah diagnosis, bukan vonis.
Ia menunjukkan dengan jelas di mana Indonesia masih tertinggal dan di mana negara perlu bertindak. Pertanyaan strategisnya bukan apakah defisit barang modal itu baik atau buruk, tetapi sebuah perencanaan yang teratur dan implementasi yang bertahap dalam membangun kemampuan untuk memproduksinya sendiri. Hal ini akan menentukan apakah Indonesia benar-benar melangkah menuju negara industri maju, atau tetap menjadi negara industri menengah selamanya.(*)