Logo
>

Ekonomi Pancasila di Era Baru: Menyulam Pasar, Negara, dan Masyarakat Menuju Indonesia Emas 2045

Ketika dunia masih terjebak pada logika the invisible hand, Indonesia berkesempatan menunjukkan bahwa the visible heart

Ditulis oleh Lutfi Alkatiri
 Ekonomi Pancasila di Era Baru: Menyulam Pasar, Negara, dan Masyarakat Menuju Indonesia Emas 2045
Ilustrasi Pekerja Kawasan Sudirman. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM -  Di tengah dunia yang kian dikendalikan algoritma dan modal besar, Indonesia sedang mencari jalannya sendiri menuju kemakmuran. Visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar soal angka pertumbuhan, tetapi tentang membangun peradaban ekonomi yang berakar pada nilai dan martabat. 

    Di sinilah Ekonomi Pancasila menemukan kembali relevansinya—sebuah sistem yang menolak dikotomi lama antara pasar bebas dan negara serba mengatur, dan memilih jalan ketiga: pasar yang manusiawi, negara yang berpihak, serta masyarakat yang bergotong royong. Ketika dunia masih terjebak pada logika the invisible hand, Indonesia berkesempatan menunjukkan bahwa the visible heart—hati nurani sosial dan solidaritas ekonomi—dapat menjadi kekuatan penggerak kemajuan. 

    Sejarah pemikiran ekonomi dunia memberi banyak cermin bagi perjalanan ini. Adam Smith mengajarkan kebebasan berusaha sebagai sumber kemakmuran, namun Thomas Piketty memperingatkan bahwa tanpa keadilan distribusi, kebebasan hanya melahirkan jurang sosial. 

    Daron Acemoglu menekankan pentingnya institusi inklusif agar kekuasaan ekonomi tak terpusat di tangan segelintir elite, sementara Ha-Joon Chang membuktikan bahwa negara justru berperan penting dalam memupuk industri nasional. 

    Dari semua itu, Indonesia belajar bahwa membangun ekonomi bukan hanya urusan efisiensi, melainkan juga moralitas, kedaulatan, dan keberlanjutan. 

    Asta Cita, delapan misi besar pemerintahan menuju 2045, pada hakikatnya adalah manifestasi praktis dari Ekonomi Pancasila: membangun kemandirian, memajukan keadilan, dan menyeimbangkan kemajuan dengan kemanusiaan. 

    Pasar dengan Nurani, Negara dengan Akal Sehat

     Sejak lama, kita diajarkan bahwa pasar adalah mekanisme yang paling efisien dalam mengatur sumber daya. 

    Smith menyebutnya the invisible hand—tangan tak terlihat yang menuntun kepentingan pribadi menuju 2 kebaikan umum. Namun, dalam kenyataan global hari ini, tangan itu kerap kehilangan hati. 

    Pasar bebas yang tanpa kendali menimbulkan krisis keuangan, ketimpangan, dan kerusakan lingkungan. Di sinilah Pancasila menambahkan koreksi moral: bahwa ekonomi bukan semata urusan permintaan dan penawaran, tetapi juga nilai kemanusiaan. 

    Piketty mengingatkan bahwa setiap sistem ekonomi memerlukan ideologi untuk melegitimasi distribusi kekayaan. Jika ideologi itu dibiarkan liar, ia bisa melahirkan ketimpangan ekstrem. 

    Dalam Capital and Ideology, ia menyerukan pembentukan “demokrasi ekonomi partisipatoris” yang melibatkan masyarakat dalam kepemilikan dan pengambilan keputusan. Prinsip ini sejatinya berdenyut dalam sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ekonomi Pancasila tidak menolak pasar, tetapi menuntun pasar agar tetap manusiawi—agar kebebasan berusaha tidak menjelma menjadi kebebasan untuk mengeksploitasi. 

    Institusi yang Adil dan Negara yang Hadir 

    Tak ada ekonomi yang tumbuh dalam ruang hampa. Daron Acemoglu dan James Robinson melalui Why Nations Fail menemukan bahwa perbedaan antara negara kaya dan miskin bukan karena budaya atau sumber daya, melainkan karena institusi—aturan main ekonomi dan politik. 

    Negara yang maju memiliki institusi inklusif, sementara negara yang stagnan terjebak dalam institusi ekstraktif. Pelajaran ini sangat relevan bagi Indonesia. Reformasi birokrasi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi bukan sekadar agenda administratif, melainkan fondasi ekonomi. Asta Cita menegaskan pentingnya negara yang bersih dan responsif. 

    Negara yang kuat bukan berarti negara yang menguasai segalanya, melainkan negara yang mengatur agar semua pihak dapat berdaya. Inilah semangat “state as an enabler” yang menumbuhkan ekonomi rakyat dan mencegah dominasi segelintir oligarki. 

    Negara dan Pasar: Sinergi, Bukan Pertentangan 

    Dunia pernah menyaksikan dua ekstrem: negara totalis yang menelan inisiatif rakyat, dan pasar liberal yang menelan kedaulatan bangsa. 

    Daniel 3 Yergin dalam The Commanding Heights menyebut abad ke-20 sebagai “pertarungan antara pasar dan negara” yang terus bergeser dari satu ekstrem ke ekstrem lain. Indonesia tidak perlu mengulang kesalahan itu. Ekonomi Pancasila memilih jalan tengah negara dan pasar bermitra, bukan bermusuhan. 

    Ha-Joon Chang, ekonom Korea Selatan, menegaskan bahwa tidak ada pasar yang benar-benar bebas; setiap pasar dibentuk oleh kebijakan dan institusi. Negara, katanya, bisa “memilih pemenang” lewat kebijakan industri yang cerdas. Tanpa proteksi dan dukungan negara, tidak akan ada Samsung atau Hyundai. Indonesia menerjemahkan pelajaran ini lewat kebijakan hilirisasi: menahan ekspor bahan mentah, membangun pabrik di dalam negeri, dan menciptakan nilai tambah. Langkah ini sejalan dengan Asta Cita tentang kemandirian nasional sebuah perwujudan nyata dari sila ketiga, Persatuan Indonesia, dalam ranah ekonomi. 

    Energi, Lingkungan, dan Keadilan Antargenerasi 

    Vaclav Smil menulis, Energy is the only universal currency… one of its many forms must be transformed to get anything done. Energi adalah darah peradaban. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa energi fosil membawa kemajuan sekaligus kehancuran. 

    Ekonomi Pancasila mengajarkan harmoni dengan alam, bukan dominasi atasnya. Asta Cita menggariskan ekonomi hijau dan biru—swasembada energi yang ramah lingkungan, konservasi laut, dan pembangunan rendah karbon. Transisi energi bukan lagi pilihan moral, melainkan keharusan strategis. Investasi pada tenaga surya, hidro, dan panas bumi bukan hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga membuka jutaan lapangan kerja hijau. Dalam kerangka Pancasila, keadilan tidak berhenti pada manusia hari ini, tetapi juga kepada generasi esok. Dengan energi bersih dan teknologi ramah lingkungan, Indonesia bisa menjadi contoh bahwa kemakmuran tidak harus menimbulkan kerusakan. 

    Kedaulatan di Dunia yang Berubah

    John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics mengingatkan bahwa strength ensures safety. Di dunia multipolar, kedaulatan tidak bisa diasumsikan; ia harus dijaga. Itulah sebabnya Asta Cita menempatkan kemandirian pangan, energi, dan pertahanan sebagai prioritas utama. Kedaulatan ekonomi berarti kemampuan bertahan dalam krisis global tanpa kehilangan arah. 

    Dalam hal ini, disiplin fiskal seperti yang ditekankan Ray Dalio dan kewaspadaan terhadap exorbitant privilege dolar sebagaimana dijelaskan Barry Eichengreen menjadi penting. Indonesia harus memperkuat fondasi makroekonomi: menekan utang produktif, memperdalam pasar keuangan, dan memanfaatkan kekuatan regional seperti ASEAN untuk melindungi stabilitas nilai tukar. Kemandirian bukan berarti menutup diri, tetapi berdiri tegak dalam kerja sama yang setara. 

    Gotong Royong sebagai Mesin Peradaban 

    David Van Reybrouck dalam Revolusi menulis bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari keberanian rakyat kecil yang menolak eksploitasi. Kini, tugas kita adalah melanjutkan revolusi itu di bidang ekonomi—mewujudkan kemandirian dari bawah. Dana desa, BUMDes, dan koperasi modern adalah bukti bahwa demokrasi ekonomi bisa bekerja di tingkat akar rumput. Ha-Joon Chang pernah menulis, More education in itself is not going to make a country richer. Pendidikan harus relevan dengan struktur produksi dan peluang ekonomi. 

    Karena itu, investasi pada manusia—melalui pendidikan vokasi, riset, dan inovasi—harus berjalan seiring dengan kebijakan industri. Indonesia tidak butuh tenaga kerja murah, tetapi tenaga kerja cerdas yang mencipta nilai tambah. 

    Menutup Abad, Membuka Peradaban 

    Ekonomi Pancasila bukan utopia. Ia adalah refleksi atas perjalanan dunia dan pernyataan kepercayaan diri bangsa Indonesia bahwa kemajuan tidak harus meniru Barat atau Timur. Ia menolak kapitalisme tanpa batas dan sosialisme tanpa jiwa. Ia adalah bentuk “kebijaksanaan tengah” yang menempatkan manusia sebagai tujuan, bukan alat. 

    5 Ketika negara-negara lain mengukur kemajuan lewat produk domestik bruto, Indonesia ingin menambah satu ukuran lagi: humanity index. Inilah makna sejati dari Indonesia Emas 2045—bukan hanya ekonomi besar, tapi bangsa besar yang arif, berdaulat, dan berkeadaban. Pasar boleh punya tangan yang tak terlihat, tetapi Indonesia akan menuntunnya dengan hati yang terlihat: hati Pancasila, yang berdenyut untuk seluruh rakyatnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang