Logo
>

Inovasi Keuangan Digital Antara Prabowonomics dan Nobel Laurate 2025

Sektor keuangan Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana inovasi dan creative destruction tengah berlangsung

Ditulis oleh Lutfi Alkatiri
Inovasi Keuangan Digital Antara Prabowonomics dan Nobel Laurate 2025
Inovasi Keuangan Digital Antara Prabowonomics dan Nobel Laurate 2025

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Penganugerahan Nobel Ekonomi 2025 kepada Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt menegaskan kembali pentingnya inovasi dan creative destruction sebagai motor pertumbuhan jangka panjang. 

    Inti teori ketiga ekonom ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi melahirkan produk dan metode produksi baru yang menggantikan yang lama, sehingga mendorong peningkatan produktivitas dan taraf hidup. Proses ini dikenal sebagai creative destruction (pemusnahan kreatif): inovasi yang disruptif memangkas cara-cara usang dan membuka jalan bagi efisiensi dan kemakmuran baru. 

    Mokyr, seorang sejarawan ekonomi, melalui studi sejarah menunjukkan mengapa manusia kini jauh lebih makmur dibanding era kakek-buyut kita – jawabannya ada pada akumulasi pengetahuan dan terobosan teknologi. 

    Sementara itu, Aghion dan Howitt memformalkan mekanisme inovasi dalam pertumbuhan endogen: investasi dalam riset dan pengembangan (R&D) memicu aliran inovasi yang terus-menerus, di mana temuan baru menggeser teknologi lama (creative destruction) dan meningkatkan output secara berkelanjutan.

    Inovasi Keuangan Digital 

    Sektor keuangan Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana inovasi dan creative destruction tengah berlangsung. 

    Dalam beberapa tahun terakhir, layanan perbankan digital, fintech pembayaran, dompet elektronik (ewallet) hingga aplikasi pinjaman online menjamur, menantang dominasi model bisnis keuangan konvensional. Munculnya aktor-aktor baru seperti bank digital murni serta platform e-wallet memaksa bank-bank lama berbenah dan berinovasi. 

    Fenomena ini sejalan dengan konsep creative destruction: inovasi finansial menggantikan metode lama (transaksi tunai 2 atau via cabang fisik) dengan cara baru berbasis teknologi, yang lebih cepat dan efisien. Dampaknya terasa nyata dalam data. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi uang elektronik di Indonesia terus melejit dan bahkan melampaui transaksi kartu ATM/debit maupun kredit. 

    Sepanjang Januari–Juli 2025, total nilai belanja via uang elektronik mencapai Rp524,9 triliun, tumbuh 65,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada bulan Juli 2025 saja, transaksi emoney menembus Rp85,7 triliun – lebih tinggi daripada nilai transaksi menggunakan kartu ATM atau kartu kredit di bulan yang sama. 

    Lonjakan ini mencerminkan pergeseran preferensi masyarakat ke pembayaran digital. Implikasinya, perbankan konvensional terdorong melakukan digital transformation: hampir semua bank besar kini punya aplikasi mobile canggih, layanan digital banking, bahkan menggandeng startup fintech untuk mengembangkan produk inovatif. Konsumen diuntungkan dengan biaya transaksi lebih murah, akses keuangan yang lebih inklusif (misalnya dompet digital menjangkau pengguna unbanked), dan beragam produk keuangan kreatif (seperti micro-investment reksa dana lewat e-wallet, paylater, dan sebagainya). 

    Pemerintah dan otoritas regulasi pun sigap merespons tren ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk divisi khusus untuk pengawasan inovasi teknologi finansial dan aset digital, serta mengembangkan program regulatory sandbox untuk fintech. Pada ajang OJK Digination Day 2025, OJK menegaskan komitmennya untuk memperkuat ekosistem inovasi keuangan digital yang tangguh, aman, dan inklusif. 

    Prinsipnya, regulator berupaya mendorong inovasi (misalnya dengan menerbitkan regulasi open API perbankan dan QRIS untuk interkoneksi pembayaran) sembari mengelola risikonya (perlindungan konsumen dan stabilitas sistem). Bank Indonesia sendiri meluncurkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang berorientasi digital, termasuk pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) bernama Rupiah Digital melalui Project Garuda. 

    Langkah ini menunjukkan bahwa inovasi seperti teknologi blockchain pun mulai 3 diadopsi secara hati-hati dalam sistem keuangan resmi, agar Indonesia tak tertinggal dalam perlombaan mata uang digital global. Berkaca dari teori pemenang Nobel 2025, transformasi keuangan digital di Indonesia adalah contoh bagaimana inovasi dapat mentransformasi struktur ekonomi. 

    Munculnya Perusahaan teknologi keuangan baru bisa dianalogikan sebagai gelombang creative destruction yang “menghancurkan” sebagian model lama seperti layanan remittance konvensional tergeser oleh aplikasi transfer online berbiaya nyaris nol. Namun, alih-alih merugikan, proses ini justru meningkatkan efisiensi dan inklusi. 

    Tantangannya, tentu, ada pada mitigasi dampak negatif. Digitalisasi membawa risiko baru seperti keamanan siber, penipuan online, hingga monopoli data oleh segelintir platform. 

    Pemerintah perlu memastikan regulasi inovatif sejalan dengan perlindungan seperti memperketat keamanan data nasabah. Jika dikelola baik, inovasi keuangan digital akan menjadi pilar transformasi ekonomi menuju masyarakat cashless yang lebih produktif dan inklusif. 

    Belajar dari China dan Korea Selatan: Inovasi untuk Pertumbuhan 

    Untuk memahami bagaimana teori inovasi diterjemahkan menjadi kebijakan sukses, tak ada salahnya menengok pengalaman negara lain seperti China dan Korea Selatan. 

    China dalam dua dekade terakhir menjelma laboratorium inovasi terbesar dunia, berkat kombinasi unik antara kebijakan industrialisasi agresif dan investasi besar-besaran di ilmu pengetahuan. Pemerintah China mengadopsi program strategis semacam “Made in China 2025” untuk mendorong industri berteknologi tinggi seperti robotik, AI, kendaraan listrik, dan lainnya, sambil tetap membuka diri terhadap alih teknologi dari perusahaan asing. Hasilnya, belanja R&D China kini sekitar 2,5 persen dari PDB – naik drastis dari hanya 0,5 persen di era 1990-an – dan menyumbang seperempat output riset dunia. 

    Negeri Tirai Bambu juga sukses membangun ekosistem inovasi domestik: pusat teknologi seperti Shenzhen melahirkan raksasa digital yang mampu berkompetisi global. Pada saat yang sama, terjadi proses creative destruction internal – misalnya pembayaran 4 digital Alipay/WeChat Pay praktis “menghancurkan” kebiasaan transaksi tunai dan menggantikan peran kartu kredit. 

    Pemerintah China relatif permisif terhadap disrupsi ini selama mendukung agenda nasional, meski belakangan intervensi dilakukan untuk mencegah ekses monopoli. Intinya, China memperlihatkan bahwa industrial policy bisa sejalan dengan inovasi cepat bila dieksekusi konsisten. 

    Dukungan finansial negara, pasar domestik besar, dan investasi SDM (jutaan lulusan sains-teknologi setiap tahun) menjadi fondasi kemampuannya mengejar ketertinggalan teknologi dari Barat. 

    Sementara itu, Korea Selatan menawarkan contoh negara yang berhasil lepas dari jebakan pendapatan menengah melalui inovasi. Pasca perang Korea, negara ini awalnya bertumpu pada strategi industrialisasi substitusi impor seperti Indonesia saat ini – mendirikan industri baja, otomotif, elektronik dengan perlindungan tinggi. Namun, kunci keberhasilan Korea adalah evolusi kebijakan yang menempatkan R&D dan pendidikan sebagai prioritas nasional begitu fundamental industrinya terbentuk. 

    Saat ini Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan intensitas R&D tertinggi di dunia (sekitar 4,9 persen PDB pada 2021), dengan korporasi seperti Samsung, LG, dan Hyundai rutin menggelontorkan dana besar untuk inovasi produk. Pemerintahnya konsisten mendukung riset melalui lembaga seperti KAIST, sekaligus mendorong kolaborasi erat antara pemerintah, kampus, dan industri (triple helix). 

    Tak kalah penting, semangat kompetisi tetap dijaga: perusahaan Korea bersaing ketat di pasar global, memaksa mereka terus berinovasi agar tidak kalah. Sebagai hasilnya, Korea naik kelas dari produsen barang murah menjadi pemimpin teknologi. Transformasi ekonomi Korea memberi pelajaran bahwa setelah fase industrialisasi awal, perlu beralih ke fase inovasi berkelanjutan. 

    Creative destruction juga terjadi di Korea – contohnya, industri lama seperti tekstil dan sepatu yang dulu berjaya akhirnya digantikan sektor elektronik dan otomotif yang lebih maju. 

    Pemerintah tidak ragu membiarkan pergeseran ini, seraya melatih ulang tenaga kerja dan mengarahkan investasi ke sektor baru. 5 Bagi Indonesia, pengalaman China dan Korea Selatan relevan sebagai cermin. Pertama, kedua negara tersebut memanfaatkan “bonus demografi inovasi”, yakni populasi usia produktif yang terlatih ilmunya, untuk mendorong perubahan ekonomi. 

    Investasi besar pada kualitas SDM dan penelitian ilmiah adalah prasyarat mutlak – poin yang juga ditekankan Mokyr bahwa an attack on education and research is an “own goal” for growth. Pemerintahan Prabowo perlu memastikan agenda peningkatan kualitas SDM (Asta Cita IV) berjalan seiring dengan industrialisasi fisik. 

    Kedua, baik China maupun Korea menunjukkan perlunya keseimbangan antara peran negara dan pasar. Negara bisa mengarahkan visi jangka panjang seperti visi Indonesia Emas 2045 yang setara dengan Grand Strategy China, namun eksekusi di lapangan sebaiknya melibatkan kompetisi sehat antar pelaku. Misalnya, dalam mendorong hilirisasi EV battery, Indonesia dapat melibatkan banyak pemain (BUMN dan swasta, domestik dan asing) sehingga muncul efisiensi dan race inovasi, ketimbang menunjuk monopoli sehingga inovasi mandek. Ketiga, inovasi tidak terbatas pada manufaktur, tapi juga sektor jasa modern. 

    China dan Korea sama-sama giat membangun ekonomi digital; Indonesia pun harus mengarahkan hilirisasi bukan cuma pada industri berat, tapi juga pada knowledge-based economy – seperti pengembangan software, konten kreatif, dan layanan berbasis teknologi finansial. 

    Menuju Ekonomi Inovasi Indonesia 

    Pada akhirnya, analisis ini bermuara pada pertanyaan: seberapa selaras langkah-langkah Prabowonomics dengan semangat pertumbuhan berbasis inovasi dan creative destruction? Terdapat benang merah yang jelas – pemerintah kini menaruh perhatian besar pada inovasi teknologi, hilirisasi industri, dan digitalisasi sebagai bagian transformasi ekonomi. 

    Kebijakan hilirisasi dan industrialisasi nasional mencerminkan kesadaran bahwa tanpa lompatan teknologi, Indonesia sulit keluar dari jebakan pengekspor komoditas. Dorongan pada ekonomi digital menunjukkan adaptasi terhadap megatrend global bahwa masa depan ekonomi ada di ranah pengetahuan dan teknologi. 

    Bahkan, pembentukan kabinet dan struktur kementerian baru 6 (misal pemisahan urusan riset di Kemendiktisaintek, adanya Kemenko khusus Pemberdayaan Masyarakat, dan lainnya) menunjukkan keseriusan menjabarkan Asta Cita dalam tatakelola nyata. Meski demikian, implementasi nyata di lapangan akan menentukan hasil akhirnya. Teori Mokyr-Aghion-Howitt mengingatkan bahwa Der Teufel steckt im Detail. Salah langkah dapat menjadi “ancaman bagi kelanjutan pertumbuhan”. 

    Apabila hilirisasi dijalankan setengah hati atau hanya mengandalkan modal asing tanpa transfer ilmu, maka kita tidak menciptakan inovasi, hanya memindahkan rantai produksi. Jika ekonomi digital tumbuh tanpa regulasi matang, bisa muncul monopoli baru yang mengekang start-up kecil – bertentangan dengan esensi creative destruction. 

    Oleh sebab itu, Pemerintahan Prabowo perlu memastikan roh inovasi dan destruksi kreatif benar-benar diinternalisasi dalam setiap program. Yang dibutuhkan Indonesia menuju 2045 adalah ekosistem inovasi menyeluruh. Artinya, bukan hanya membangun pabrik dan infrastruktur, tetapi juga iklim yang mendorong eksperimen, kewirausahaan, dan difusi ide. 

    Ekosistem ini mencakup pendidikan yang melahirkan individu kreatif, pendanaan riset yang memadai, kemudahan berbisnis bagi inovator baru, hingga budaya yang tak takut gagal. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dan katalis: memberikan insentif seperti tax holiday R&D, hibah inovasi, memperkuat kolaborasi akademisi-industri, serta menjaga kompetisi tetap fair. 

    Sektor swasta dan BUMN pun harus berani berinvestasi pada halhal baru – teknologi hijau, kecerdasan buatan, bioteknologi – meski jangka pendek belum tentu untung. Di era disrupsi ini, status quo bukan pilihan. Ekonomi dunia bergerak cepat, dan seperti diingatkan para peraih Nobel, stagnasi selalu mengintai jika kita terlena. 

    Prabowonomics dengan Asta Citanya memberikan kerangka besar menuju kemandirian dan kemakmuran. Agar visi itu tercapai, ruh teori inovasi perlu menjadi panduan: pertumbuhan lestari hanya lahir dari inovasi tiada henti. Creative destruction harus dilihat sebagai dinamika sehat – industri lama yang mandek wajar ditinggalkan, digantikan industri baru yang lebih produktif. 

    Selama pemerintah sigap mengantisipasi dampak sosialnya 7 (re-skilling dan re-training pekerja yang terdampak), proses ini akan membawa ekonomi naik ke tingkatan berikutnya. Sebagaimana China dan Korea telah buktikan, inovasi adalah nafas pertumbuhan. Indonesia kini berada di persimpangan: akankah Prabowonomics menjadi katalis lahirnya ekonomi berbasis inovasi yang tangguh? Ataukah akan tersandung oleh jebakan dalam detail pelaksanaannya? Optimisme tetap terjaga. 

    Dengan belajar dari teori para laureate Nobel 2025 dan pengalaman bangsa lain, Indonesia punya bekal pengetahuan untuk melangkah maju. Selanjutnya tergantung kemauan kita bersama – pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat – untuk berani berinovasi, berani berubah. Jika creative destruction dijalankan sebagai strategi, bukan ancaman, bukan mustahil visi Indonesia Emas 2045 akan terwujud: sebuah ekonomi besar yang tidak hanya mandiri, tapi juga inovatif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang