KABARBURSA.COM - Beberapa tahun terakhir, dunia industri global menyaksikan lahirnya sebuah istilah yang terdengar seperti fiksi ilmiah: dark factory. Pabrik yang beroperasi hampir tanpa manusia, tanpa lampu, tanpa jam kerja. Robot bekerja 24 jam, mesin saling berkomunikasi, dan manusia cukup mengawasi dari layar.
China telah mengoperasikan dark factory di sektor elektronik dan otomotif. Jepang menggunakannya untuk presisi manufaktur. Jerman menjadikannya standar efisiensi industri. Di balik kekaguman teknologi itu, tersembunyi satu pesan penting bagi negara berkembang seperti Indonesia, era manufaktur padat karya perlahan menuju senja.
Pertanyaannya, ke mana jutaan tenaga kerja Indonesia akan pergi ketika mesin semakin menggantikan manusia? Indonesia masih menikmati bonus demografi. Lebih dari 70 persen penduduk berada pada usia produktif. Namun bonus ini hanya akan menjadi berkah jika tersedia lapangan kerja yang cukup, produktif, dan bermartabat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 59 persen tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal.
Sementara itu, penciptaan lapangan kerja formal tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja baru setiap tahunnya. Di saat yang sama, laporan ILO memperkirakan bahwa sekitar 23–25 persen pekerjaan di Asia Tenggara memiliki risiko tinggi terotomatisasi, terutama di sektor manufaktur, logistik, dan administrasi rutin.
OECD bahkan mencatat bahwa negara dengan struktur industri manufaktur tradisional berpotensi mengalami job polarization: pekerjaan berupah menengah menyusut, digantikan oleh pekerjaan berupah rendah dan pekerjaan berkeahlian tinggi.
Fleksibilitas Kerja: Peluang atau Jebakan? Otomatisasi dan digitalisasi tidak hanya mengubah teknologi produksi, tetapi juga mengubah hubungan kerja. Lapangan kerja semakin fleksibel, berbasis kontrak, proyek, dan gig.
Sayangnya, fleksibilitas ini sering datang tanpa perlindungan. Tanpa transisi kebijakan yang tepat, tenaga kerja Indonesia berisiko terjebak dalam outsourcing berkepanjangan, pekerjaan informal digital tanpa jaminan sosial, dan mobilitas kerja yang tinggi tetapi rapuh. ILO mengingatkan bahwa fleksibilitas pasar kerja tanpa institusi yang kuat justru akan memperlebar ketimpangan dan menurunkan kualitas pekerjaan (decent work deficit).
Di sinilah peran UMKM harus ditempatkan ulang secara strategis. Selama ini, UMKM sering diperlakukan sebagai safety net, penyangga ketika krisis datang. Padahal, dengan lebih dari 64 juta unit usaha dan menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional, UMKM sejatinya adalah mesin utama penciptaan kerja Indonesia, bukan pelengkap. Namun, UMKM hanya akan mampu menjadi penyedia lapangan kerja formal jika terjadi transformasi besar dari informal ke formal, dari bertahan hidup ke tumbuh produktif, dan dari usaha keluarga ke organisasi ekonomi modern.
UMKM masa depan bukan sekadar warung dan kios, tetapi unit usaha produktif berbasis manusia, yang justru semakin relevan ketika mesin mengambil alih pekerjaan rutin.
Teknologi Tidak Pernah Menghapus Kerja, Ia Mengubahnya
Kekhawatiran bahwa teknologi akan “menghapuskan pekerjaan” bukanlah hal baru. Setiap revolusi teknologi selalu menimbulkan ketakutan serupa. Namun sejarah menunjukkan satu pola konsisten: teknologi menghancurkan jenis pekerjaan lama, tetapi menciptakan pekerjaan baru—sering kali lebih beragam dan bernilai tambah lebih tinggi.
Ekonom MIT, David Autor, mengatakan “Technology does not eliminate work. It reshapes work, reallocates tasks, and creates new forms of human contribution.”
Pekerjaan masa depan justru akan tumbuh di area yang sulit digantikan mesin: kreativitas, empati, layanan personal, ekonomi perawatan, ekonomi hijau, serta layanan lokal berbasis komunitas. Semua ini adalah ruang alami UMKM, bukan korporasi raksasa atau pabrik otomatis. Jika Indonesia ingin menghindari jebakan informalitas massal, maka UMKM harus dijadikan arsitektur utama penciptaan lapangan kerja formal.
Artinya, UMKM harus mampu menyediakan kontrak kerja yang jelas, membayar upah layak berbasis produktivitas, memberikan akses jaminan sosial, dan membuka jalur peningkatan keterampilan.
OECD mencatat bahwa negara yang berhasil mengembangkan productive SMEs memiliki tingkat ketahanan tenaga kerja lebih tinggi terhadap disrupsi teknologi dibandingkan negara yang hanya mengandalkan industri besar.
Kebijakan ketenagakerjaan Indonesia tidak bisa lagi hanya berfokus pada perlindungan pasif. Yang dibutuhkan adalah transisi struktural besar berupa integrasi kebijakan UMKM, digitalisasi, dan ketenagakerjaan, pembiayaan UMKM berbasis produktivitas, bukan sekadar kelangsungan hidup, pelatihan keterampilan adaptif dan kewirausahaan, bukan hanya hard skills teknis dan sistem perlindungan sosial yang portabel, mengikuti pekerja lintas sektor dan bentuk kerja.
Sebagaimana dikatakan oleh Mariana Mazzucato, Ekonom UCL London mengatakan “The question is not whether technology will change jobs, but whether institutions are designed to shape that change for the public good.” Dark factory mungkin tak terhindarkan. Mesin akan semakin cerdas. Robot akan semakin murah. Tetapi masa depan kerja Indonesia tidak harus gelap. Dengan menjadikan UMKM sebagai pilar utama penciptaan lapangan kerja formal, Indonesia dapat memastikan bahwa di tengah otomatisasi global, manusia tetap memiliki peran, martabat, dan masa depan ekonomi. Teknologi seharusnya membebaskan manusia dari pekerjaan repetitif—bukan menyingkirkan manusia dari pembangunan. Di sinilah UMKM harus menjadi terang, ketika “pabrik-pabrik mulai gelap”.(*)