Logo
>

Diplomasi Bebas Aktif Terjepit BRICS dan Proteksionis Trump

Ditulis oleh Uslimin Usle
Diplomasi Bebas Aktif Terjepit BRICS dan Proteksionis Trump

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintahan Prabowo Subianto baru memasuki bulan kedua. Sejumlah masalah dan tantangan berat sudah mulai mengapung. Baik dari dalam negeri, maupun dari dunia internasional. Yang terbaru dan efek lanjutannya bisa panjang, yakni ancaman nyata dari Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap negara yang bergabung atau berafiliasi pada BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa alias Afrika Selatan).

    Trump mengancam mengenakan tarif 100 persen pajak domestik pada barang-barang dari negara anggota BRICS yang masuk ke pasar AS. Ancaman itu disampaikan Trump merespons keputusan pertemuan puncak BRICS di Kazan, Rusia, Oktober lalu. Dalam pertemuan yang ikut dihadiri Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, antara lain menyepakati peningkatan transaksi nondolar dan penguatan mata uang lokal.

    Jelas saja sikap BRICS yang diamini seluruh anggota dan negara simpatisan lainnya seperti Indonesia, membuat Trump naik pitam. Dikenal dengan kebijakan American First, Trump tidak ingin ada mata uang selain dolar AS, menjadi alat transaksi internasional. Lalu dengan cara cerdas, Trump “menghukum” anggota dan simpatisan BRICS melalui peningkatan tarif pajak domestik pada perusahaan AS yang mengimpor barang dan atau komoditas dari negara anggota BRICS.

    Dampak dari kebijakan Trump itu secara otomatis akan mengatrol nilai barang impor dari negara anggota BRICS menjadi dua kali lipat dari harga sebelumnya. Sebaliknya, bagi negara yang bergabung di BRICS, kebijakan Trump itu akan membuat nilai ekspor ke AS terjun bebas. Jika itu terjadi, maka nilai ekspor Indonesia ke AS yang dalam satu tahun terakhir mengalami peningkatan dari sektor nonmigas, bisa jadi akan terpukul turun seperti neraca perdagangan ke China, Australia dan Thailand.

    Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Oktober lalu, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia naik 0,32 persen dibanding periode yang sama tahun 2023, yakni USD192,85 miliar. Dari angka itu, USD181,15 miliar di antaranya bersumber dari ekspor nonmigas. Naik 0,39 persen.  

    Masih dari data yang dirilis BPS, pasar ekspor Indonesia dikuasai oleh China dan AS. Khusus di bulan September saja, nilai ekspor ke China mencapai USD5,35 miliar, dan ke AS sebesar USD2,22 miliar. Hanya saja, secara kumulatif neraca perdagangan Indonesia-China di sektor nonmigas dalam sembilan bulan di 2024, mengalami penurunan cukup tajam dan tercatat defisit hingga USD8,85 miliar. Sebaliknya, dengan AS justru mencatat surplus hingga USD12,03 miliar.

    Tapi, catatan surplus itu tidak didominasi AS saja. Jika China defisit, maka ceraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan anggota utama BRICS lainnya, yakni India, mampu menyaingi capaian AS. Surplus neraca perdagangan Indonesia-India mencapai USD11,86 miliar. Sama seperti Filipina yang menjadi tiga negara penyumbang surplus terbesar neraca perdagangan Indonesia. Angkanya sebesar USD6,64 miliar. Neraca perdagangan (nonmigas) ke AS dan India, bahkan mencatat angka yang lebih besar dibanding pada periode yang sama tahun 2023. Setahun silam, neraca perdagangan (nonmigas) ke AS hanya USD10,32 miliar, dan India USD10,08 miliar.

    Secara over all, neraca perdagangan migas dan nonmigas pada periode Januari-September 2024, tercatat mencapai USD21,98 miliar. Menurun cukup tajam dibandingkan pada periode yang sama tahun 2023 yang mencapai USD27,72. Penyusutan itu disebabkan oleh menurunnya neraca perdagangan nonmigas Indonesia ke China tahun ini (USD-8,85 miliar) dibanding tahun 2023 yang hanya menyusut USD-0,30 miliar.  

    Pencapaian nihil juga dicatatkan dalam neraca perdagangan Indonesia-Australia dan Thailand. Hingga September 2024, neraca perdagangan nonmigas Indonesia ke Australia tercatat defisit USD3,81 miliar, dan Thailand defisit USD3,13 miliar.

    Belum lagi, neraca perdagangan migas Indonesia semakin membengkak defisitnya. Jika pada periode sembilan bulan pertama tahun 2023 hanya menyusut USD13,97 miliar, maka pada periode yang sama tahun ini defisit perdagangan migas Indonesia membengkak USD1,07 miliar, menjadi USD-15,05 miliar. Sehingga jika diakumulasi dengan neraca perdagangan nonmigas, maka pendapatan Indonesia dari sektor ekspor-impor hanya USD21,98 miliar. Itu karena total pemasukan negara dari ekspor nonmigas hanya USD37,03 miliar. Berkurang sekitar USD4,67 miliar dari sebelumnya mencapai USD41,70 miliar.

    Bagaimana dengan neraca perdagangan ke penyokong utama BRICS seperti Brazil, Rusia, dan Afrika Selatan. Mengacu pada data yang dirilis BPS, neraca perdagangan ke kawasan Afrika, Eropa Timur dan Amerika Latin, dari Januari hingga September 2024, memang mengalami peningkatan USD2,35 miliar dari USD13,21 miliar menjadi USD15,56 miliar.

    Menilik angka-angka sodoran BPS tersebut, prospek neraca perdagangan ke AS masih terbilang besar. Sangat besar, malah. Sehingga, akan sangat disayangkan jika peluang pasar itu terbuang percuma karena salah langkah menerapkan prinsip bebas aktif di sektor ekonomi global dengan bergabung buta ke BRICS. Meski, konsep yang ditawarkan BRICS amat sangat menggiurkan dan menawarkan kedaulatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung pada dominasi dan hegemoni AS.

    BRICS, seperti diketahui dari waktu ke waktu terus menggaungkan semangat peningkatan kerja sama ekonomi, politik, dan sosial di antara para anggotanya. Juga ditujukan untuk membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan multipolar, mengurangi dominasi negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Makanya, koalisi yang pertama kali digulirkan pada 2001 dan dipopulerkan oleh ekonom Jim O'Neill dari Goldman Sachs, semakin diminati oleh negara-negara berkembang.

    Saat ini, koalisi BRICS yang awalnya hanya terdiri atas Brazil, Rusia, India dan China dan pada 2010 Afrika Selatan turut bergabung, disebut-sebut mewakili lebih dari 40 persen dunia. Tidak kurang dari 25 persen PDB global justru berputar di anggota koalisi penyeimbang dominasi ekonomi AS bersekutu. Cepatnya pertumbuhan keanggotaan BRICS  plus keputusan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional, memicu respons negatif  AS.

    Atas dinamika tersebut, Indonesia tentu patut bertimbang dengan arif dan bijak. Apakah akan serta merta mundur dari BRICS karena gertakan proteksionis ala Trump, atau tetap bergabung dalam BRICS dengan segala risikonya. Kita tentu berharap, apapun langkah dan keputusan yang diambil pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Prabowo, adalah jalan keluar terbaik dan tidak merugikan ekonomi bangsa. Indonesia adalah negara dan bangsa yang berdaulat penuh. Kebijakan politik luar negeri, termasuk dalam hal kerja sama di bidang ekonomi, sejatinya tidak boleh menyimpang dari prinsip utama ya ng sudah lama dimainkan, yakni bebas aktif. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Uslimin Usle

    Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
    Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
    Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
    Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
    Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)