KABARBURSA.COM - Indonesia menambah saham 10 persen lagi di PT Freeport Indonesia (PTFI). Saat ini, pemerintah sudah menguasai 61 persen saham di perusahaan tambang terbesar di tanah air tersebut.
Divestasi saham pemerintah di Freeport, merupakan kabar baik di tengah gejolak ekonomi global. Bahkan, bisa menjadi batu pijakan dan modal berharga bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman resesi. Tentu saja, jika penambahan saham itu benar-benar mampu dimanfaatkan dengan baik dan tepat.
Bahasa lainnya, penambahan saham tersebut diiringi dengan peningkatan kedaulatan Indonesia di perusahaan yang sering menjadi sumbu pertikaian. Baik di internal Indonesia, maupun di percaturan ekonomi dunia. Khususnya dengan Amerika Serikat sebagai perintis, dan negara tetangga yang suka berisik, Australia.
Meminjam istilah Menteri Investasi Bahlil Dahalia, divestasi saham pemerintah di Freeport sebagai upaya mengurangi penguasaan asing. “Kita kembalikan itu (Freeport) sebagai milik orang Indonesia,” tegas Bahlil saat tampil pada kuliah umum di Universitas Lambung Mangkurat, Kamis, 2 Mei 2024 pekan lalu.
Apa yang diungkapkan Bahlil sebagai salah satu menteri yang besar di Papua, sungguh benar adanya. Penguasaan saham hingga 61 persen adalah langkah penting yang membawa beberapa dampak positif bagi negara dan masyarakat Indonesia.
Sebagai gambaran, pada 2023 Freeport Indonesia memproduksi 1,65 miliar pound tembaga, dan 1,97 juta ounces emas. Dari total produksi itu, Freeport mencetak laba bersih hingga USD3,16 miliar. Angka itu setara Rp48,79 triliun dengan asumsi Rp15.439 per dolar AS.
Lantas, berapa total penerimaan negara dari keuntungan yang diraih Freeport tahun lalu? Mengutip Presiden Direktur PTFI Tony Wenas seperti dilansir Kantor Berita Antara pada Rabu, 17 April 2024 lalu, Indonesia mendapatkan pemasukan dari Freeport sebesar Rp40 triliun. Dana itu diperoleh dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya.
Itu belum termasuk yang mengalir langsung ke pemerintah daerah di wilayah area konsesi Freeport. Masih menurut Tony Wenas, perusahaan yang dipimpinnya itu telah mengalokasikan Rp3,35 triliun bagi pemerintah daerah di wilayah Papua Tengah. Rinciannya, Rp839 miliar untuk Pemprov Papua Tengah. Selebihnya, Rp1,4 triliun untuk Pemkab Mimika, dan kabupaten lain seperti Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya, masing-masing kebagian Rp160-an miliar.
Menilik dari angka-angka tersebut, dapat disebutkan bahwa kerja keras pemerintah menambah saham kepemilikan di Freeport merupakan langkah dan keputusan yang amat sangat tepat. Setidaknya ada beberapa nilai positif yang dapat diperoleh dari pembengkakan saham kepemilikan pemerintah di Freeport. Antara lain sebagai berikut;
Pertama, peningkatan pendapatan nasional. Dengan meningkatnya saham Indonesia di Freeport, bagian keuntungan yang diperoleh negara juga bertambah. Tahun lalu dengan total saham 51 persen saja, sudah memperoleh pemasukan Rp40 triliun. Hal ini tentu saja bisa menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi kas negara dan dapat digunakan untuk mendukung program-program pembangunan lainnya.
Kedua, penguatan kedaulatan sumber daya. Dalam hal ini, menambah saham berarti Indonesia memiliki lebih banyak kendali atas operasi dan keputusan strategis Freeport. Ini memberikan kesempatan bagi negara untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai kepentingan nasional.
Ketiga, meningkatkan pengembangan lokal. Kepemilikan saham yang lebih besar memungkinkan Indonesia untuk mendorong lebih banyak pengembangan ekonomi lokal di sekitar area operasi Freeport, termasuk penciptaan lapangan kerja, pelatihan, dan investasi dalam infrastruktur lokal.
Tony Wenas selaku pimpinan tertinggi PTFI seperti dikutip Antara, menjanjikan untuk terus memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar wilayah operasional. Hal dimaksud Tony Wenas berupa program investasi sosial. Pada 2023, nilai investasi sosial Freeport hampir Rp2 triliun. Tahun ini, ungkapnya, Freeport berencana menambah sekitar USD100 juta atau Rp1,5 triliun. Investasi sosial sebesar itu setidaknya akan berlanjut hingga 2041.
Manfaat keempat, transfer teknologi dan keahlian. Dengan kontrol yang lebih besar, ada peluang untuk meningkatkan transfer teknologi dan keahlian kepada tenaga kerja Indonesia. Ini akan membantu dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuan industri yang lebih baik, yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan sektor pertambangan di dalam negeri.
Kelima, transparansi dan akuntabilitas. Dengan Indonesia memiliki saham yang lebih besar, negara juga akan memiliki pengawasan yang lebih besar terhadap operasi Freeport. Ini dapat membantu dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan, serta memastikan bahwa praktik bisnis dilakukan secara etis dan bertanggung jawab.
Keenam, meningkatkan keamanan dan stabilitas. Kontrol yang lebih besar oleh negara dapat membantu mengurangi potensi konflik dan ketegangan sosial yang kadang-kadang terkait dengan operasi pertambangan besar. Dengan pengelolaan yang lebih baik, manfaat ekonomi dapat didistribusikan secara lebih adil, mengurangi risiko ketegangan lokal.
Secara keseluruhan, peningkatan saham Indonesia di Freeport dapat dilihat sebagai langkah menuju kemandirian ekonomi dan pengelolaan sumber daya yang lebih baik. Namun, tantangannya adalah bagaimana negara dapat mengelola aset ini dengan cara yang berkelanjutan dan memastikan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas.
Sekilas tentang Jejak Kiprah Freeport di Indonesia
Sukses pemerintah melakukan divestasi saham di Freeport, patut diapresiasi. Menilik dari Sejarah keberadaan perusahaan tambang ini, sungguh penuh liku dan perjuangan yang tidak ringan.
Seperti diketahui, PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia. Dan, dikenal karena operasi tambangnya di wilayah Papua (dulu; Irian Jaya). Sejarah perusahaan ini mencakup beberapa dekade, dengan fokus utama pada eksplorasi dan produksi tembaga, emas, dan perak.
PT Freeport Indonesia semula didirikan dengan nama Freeport Sulphur Company. Selanjutnya dikenal sebagai Freeport-McMoRan. Didirikan pada 1912 di Amerika Serikat.
Pada tahun 1936, geolog Jean Jacques Dozy, yang bekerja untuk perusahaan tambang Belanda, menemukan tambang Ertsberg di Irian, Indonesia. Namun, eksplorasi dan pengembangan tambang tersebut tertunda karena Perang Dunia II dan perubahan geopolitik di Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Freeport mulai menunjukkan minat pada sumber daya mineral di Papua. Hal itu ditandai pada 1967, Freeport menandatangani Kontrak Karya (CoW) pertama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan tambang Ertsberg di Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak Karya ini memberi Freeport hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya mineral di area tertentu dengan imbalan pembayaran royalti dan pajak kepada pemerintah.
Setelah eksplorasi berhasil dan produksi dimulai di tambang Ertsberg, Freeport menemukan deposit Grasberg, yang akhirnya menjadi tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.
Tambang Grasberg mulai beroperasi pada tahun 1988 dan menjadi pusat aktivitas Freeport di Indonesia. Produksi dari tambang ini mencakup jumlah besar tembaga, emas, dan perak.
Pada tahun 2017, Freeport-McMoRan menyetujui perjanjian dengan Pemerintah Indonesia untuk mengubah struktur kepemilikan PT Freeport Indonesia. Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan pemerintah Indonesia dalam PT Freeport Indonesia hingga 51 persen.
Setelah proses negosiasi dan pembelian saham, pada tahun 2018, pemerintah Indonesia melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara) PT Inalum mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Dengan penguasaan saham sebesar itu, menjadikan pemerintah pemilik mayoritas.
Kontroversi dan Tantangan
Sejarah Freeport di Indonesia tidak lepas dari kontroversi dan kritik. Beberapa isu yang menjadi sorotan adalah dampak lingkungan, hak-hak masyarakat adat, dan hak-hak pekerja.
Tambang Grasberg terletak di wilayah yang dihuni oleh suku-suku asli Papua. Ada banyak laporan tentang dampak operasi tambang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Freeport juga mengalami beberapa masalah tenaga kerja dan konflik dengan kelompok separatis di Papua.
Secara keseluruhan, PT Freeport Indonesia memainkan peran penting dalam industri pertambangan Indonesia dan ekonomi nasional, sambil menghadapi tantangan yang berkaitan dengan keberlanjutan, hak-hak masyarakat, dan hubungan dengan pemerintah serta masyarakat lokal. (*)