KABARBURSA.COM – Dari kejauhan, gugusan Kepulauan Obi, tampak seperti untaian zamrud yang terapung di lautan. Di antara kepulauan itu, Pulau Obi, atau kerap disebut Pulau Obira, berdiri sebagai yang terbesar dan paling menonjol. Dikelilingi pulau-pulau kecil seperti Obilatu, Bisa, Gata-gata, Latu, Woka, hingga Tomini, Pulau Obi menjadi pusat denyut kehidupan di bagian selatan Kabupaten Halmahera Selatan.
Letaknya strategis namun terpencil. Di barat, Obi berbatasan langsung Laut Maluku, sementara di selatan Laut Seram menjadi penghalang alami. Sebelah utara dan timur pulau ini dipagari Selat Obi, menciptakan lanskap maritim yang begitu khas. Pulau Bacan yang lebih padat penduduk, terhampar di utara. Sementara Pulau Seram, bagian dari Provinsi Maluku, berada tak jauh di sisi selatan.
Topografi Obi didominasi perbukitan yang menjulang tenang. Berpadu dengan garis pantai pendek yang menggurat tegas di sekelilingnya. Keberadaan dataran tinggi ini membawa berkah: sumber-sumber air alami melimpah, dengan sungai-sungai yang mengalir dari hulu perbukitan menuju pesisir.
Salah satu mahkota alam Pulau Obi adalah Danau Karo. Danau terbesar di pulau ini, yang terletak di bagian barat. Danau ini menjadi sumber kehidupan sekaligus pesona bagi siapa pun yang menyambanginya.

Secara administratif, Pulau Obi termasuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Namun, kedekatannya dengan wilayah Provinsi Maluku dan Papua Barat, menempatkan pulau ini di persimpangan budaya dan jalur laut strategis. Menurut data "Halmahera Selatan Dalam Angka" tahun 2010, luas Pulau Obi mencapai 3.048 kilometer persegi. Wilayah yang tak hanya mencakup pulau utama, namun juga pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Pemerintahan di Pulau Obi tersusun rapi dalam struktur administratif yang khas daerah kepulauan. Wilayahnya terbagi ke dalam sejumlah kecamatan, yang kemudian dipecah menjadi desa-desa. Setiap desa dipimpin oleh kepala desa, sementara unit pemerintahan terkecil adalah dusun, yang dipimpin oleh seorang kepala dusun.
Meski jauh dari hiruk pikuk pusat pemerintahan provinsi, Pulau Obi menyimpan potensi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dari kekayaan sumber daya alam hingga warisan budaya lokal, Obi menanti untuk dikenali lebih luas. Bukan sekadar titik di peta, tapi nadi penting dari Indonesia bagian timur yang kaya dan belum sepenuhnya tergali.

Menguras Energi dan Waktu
Perjalanan menuju Pulau Obi bukan sekadar soal jarak, tapi juga ketangguhan menembus batas waktu dan medan laut yang tak bersahabat. Dari Jakarta, ada dua pilihan rute utama menuju gugusan kepulauan di selatan Halmahera itu: jalur laut dan jalur udara. Keduanya sama-sama menuntut stamina dan kesabaran.
Jika memilih laut, pelabuhan Tanjung Priok menjadi titik awal. Kapal berlayar menyusuri utara menuju Ternate, atau membelah tengah laut Indonesia via Ambon. Namun ini baru awal. Dari Ternate maupun Ambon, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan kapal lagi menuju Pulau Obi. Seperti umumnya wilayah kepulauan di timur Indonesia, konektivitas antarpulau lebih banyak bergantung pada ritme laut yang kerap tak bisa ditebak.
Jalur udara tentu lebih cepat, meski tidak selalu praktis. Dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat terbang menuju Ternate atau Ambon. Beberapa bahkan harus transit lebih dulu di Makassar, tergantung maskapai dan jadwal penerbangan. Dari Ternate, perjalanan masih berlanjut dengan penerbangan domestik ke Labuha, ibu kota Kabupaten Halmahera Selatan. Di sana, moda transportasi kembali berpindah ke kapal cepat selama sekitar tiga jam untuk tiba di Kawasi, sebuah desa pesisir yang kini menjadi nadi industri nikel Pulau Obi.
Tim ekspedisi KabarBursa.Com memilih rute udara. Dari Jakarta menuju Ternate, istirahat beberapa jam di kota bekas ibu kota Maluku Utara itu, lalu terbang lagi ke Labuha. Setelahnya, kapal cepat membawa tim melintasi laut menuju Kawasi, tempat Harita Group menanamkan investasinya dalam industri tambang nikel dan hilirisasi.
Total waktu yang dibutuhkan? Tak kurang dari 22 jam sejak melangkah keluar dari kantor redaksi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, hingga menginjak tanah di kawasan industri nikel terpadu di Pulau Obi. Sebuah perjalanan panjang yang menyiratkan betapa tidak mudahnya menjangkau kawasan strategis yang kini menjadi perhatian dunia karena kandungan nikelnya, logam yang jadi rebutan dalam era kendaraan listrik.

Sesampainya di Kawasi, suara mesin berat terdengar bersahutan dari kejauhan. Asap putih tipis mengepul dari cerobong-cerobong tinggi yang menjulang tidak jauh dari tepi pantai. Di angkasa raya, terlihat bulan purnama menyembul seakan menebar senyum selama datang, di sela-sela awan tipis yang mengabutinya. Inilah wajah baru Pulau Obi, sebuah pulau yang dulunya sepi dan nyaris tak tersentuh, kini menjadi rumah bagi salah satu kawasan industri nikel terintegrasi terbesar di Indonesia.
Awal Kiprah Harita di Obi
Hingga awal 2000-an, Obi, khususnya di wilayah Desa Kawasi, nyaris larut dalam kesunyian, laiknya banyak wilayah kepulauan lain di Indonesia bagian timur. Namun sejak 2010, geliat industri tambang nikel mulai terasa. Lebih dari satu dekade kemudian, Pulau Obi tak lagi sekadar gugusan pulau tropis yang tenang. Ia menjelma menjadi episentrum strategis dalam peta hilirisasi nikel nasional, ditandai dengan kehadiran konglomerasi Harita Group melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP).
Di tahun-tahun awal, Harita membangun fondasi dari nol. Hutan dibuka, jalan akses dibangun, dermaga sederhana didirikan. Kawasi perlahan berubah dari kampung nelayan menjadi basis operasi tambang modern. Tak butuh waktu lama, potensi nikel laterit yang tersimpan di perut Pulau Obi mulai dieksplorasi secara masif.
Pada 2015, smelter pertama mulai dibangun melalui PT Megah Surya Pertiwi, menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Setahun kemudian, produksi feronikel dimulai, menandai transformasi dari sekadar penambangan menjadi pengolahan mineral mentah di lokasi.
Langkah berikutnya lebih ambisius. Melalui kemitraan dengan investor Tiongkok, Harita mendirikan fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL) melalui PT Halmahera Persada Lygend. Fasilitas ini memproses bijih nikel limonit, yang dulu tak bernilai, menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Produksi pertamanya diraih pada 2021, menjadikan Obi salah satu titik penting dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia.
Tahun 2023, Harita kembali mengukir tonggak baru. Smelter RKEF kedua resmi beroperasi, dilengkapi delapan lini produksi dan ekspor perdana produk turunan nikel seperti nikel sulfat dan kobalt sulfat. Di tahun yang sama, TBP mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Publik kini menyaksikan bagaimana sebuah perusahaan nasional menjangkau pasar global langsung dari pulau terluar Indonesia.
Tahun ini, 2024, fasilitas HPAL kedua milik PT Obi Nickel Cobalt dijadwalkan mencapai kapasitas penuh pada Agustus. Jika terealisasi, Pulau Obi akan menjadi salah satu kawasan langka di dunia yang memiliki dua lini HPAL aktif dalam satu lokasi terpadu.

Namun geliat pembangunan itu tidak datang tanpa riak. Kawasi, yang dulunya hanya dihuni ratusan nelayan, kini berubah drastis. Ribuan pekerja datang dari berbagai daerah. Permukiman tumbuh, jalan membelah bukit, harga-harga naik. Di satu sisi, ekonomi lokal terdongkrak. Di sisi lain, ruang hidup menyusut, dan hubungan masyarakat dengan alam terputus perlahan.
Beberapa warga menyambut industri sebagai harapan baru. Mereka bekerja sebagai teknisi, operator alat berat, staf logistik. Namun ada pula yang merasa terpinggirkan. Wilayah tangkap ikan menyempit, akses terhadap air bersih menurun, dan ketergantungan pada perusahaan meningkat.
Lingkungan pun mulai menunjukkan tanda-tanda tekanan. Sungai kecil yang dulunya jernih kini keruh. Reklamasi pantai mengubah bentang pesisir. Suara mesin dan aktivitas bongkar muat tiada henti mengusik malam.
Pihak Harita Group menyatakan telah menerapkan prinsip pertambangan berkelanjutan. Program tanggung jawab sosial digulirkan: beasiswa pendidikan, pelatihan kerja, bantuan fasilitas umum. Namun di lapangan, persepsi warga beragam. Ada yang mengapresiasi, tak sedikit pula yang mempertanyakan keberlanjutan. Intrik politik lokal dan nasional pun ikut berdengung. Maka, gelombang protes atas geliat pertambangan nikel di Obi seiring sejalan dengan gemerincing dolar yang dihasilkannya.
Ya, Pulau Obi kini berdiri di persimpangan. Antara kemajuan industri yang menjanjikan masa depan, dan kekhawatiran atas hilangnya identitas serta keseimbangan ekologi. Di balik kilau logam nikel dan ambisi kendaraan listrik dunia, ada kisah manusia, tanah, dan laut yang terus bernegosiasi satu sama lain.

Dan ketika malam turun di atas Kawasi, suara mesin pabrik masih terus meraung. Tanda bahwa roda produksi tak berhenti. Tapi juga pengingat, bahwa perubahan yang besar hampir selalu datang dengan harga yang tak kecil.
Lantas, bagaimana Harita menjawab keraguan publik perihal kerusakan lingkungan dan gejolak sosial di kawasan sekitar tambang, khususnya di wilayah perkampungan Kawasi Lama? Nantikan lanjutannya di KabarBursa.Com. (*/Bersambung)