KABARBURSA.COM - Keputusan Muhammadiyah ikut mengelola tambang, menarik perhatian publik. Maklum, hal itu bertolak belakang dengan sikap sejumlah tokoh Muhammadiyah, salah satunya Prof Dr Din Syanmsuddin, di awal bergulirnya informasi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk ormas keagamaan. Kala itu, mantan ketua umum PP Muhammadiyah tersebut menolak Muhammadiyah ikut mengelola tambang. Namun kini, bak pepatah klasik: anjing menggonggong kafilah berlalu, Muhammadiyah melalui konolidasi nasional di Yogyakarta akhir Juli lalu, memutuskan ikut bermain tambang.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, dalam konferensi pers daring seusai konsolidasi nasional di Yogyakarta pada 28 Juli 2024 menyatakan bahwa pengelolaan tambang ini adalah bagian dari upaya Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah di bidang ekonomi. “Kami akan mengelola dengan amanah, penuh tanggung jawab, seksama, berorientasi pada kesejahteraan sosial, dan menjaga kelestarian alam secara seimbang,” ucap Mu’ti.
Pernyataan Mu’ti itu menggambarkan tekad Muhammadiyah untuk tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi. Tapi, juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Dalam risalah rapat yang dibacakan Mu’ti, ditegaskan bahwa pengelolaan tambang akan melibatkan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas tinggi. Langkah ini menunjukkan keseriusan Muhammadiyah dalam memastikan bahwa pengelolaan tambang dilakukan secara profesional dan bertanggung jawab.
Tim pengelola tambang Muhammadiyah terdiri dari beberapa nama besar, termasuk Muhadjir Effendy sebagai ketua tim, serta anggota lain seperti M Sayuti, Anwar Abbas, Hilman Latief, dan Agung Danarto. Kombinasi dari berbagai latar belakang dan keahlian ini diharapkan dapat memberikan pengelolaan tambang yang efektif dan efisien.
Langkah Muhammadiyah ini tidak lepas dari sorotan dan pertanyaan berbagai pihak, termasuk DPR. Dalam rapat dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Deddy menekankan pentingnya keadilan bagi masyarakat adat dan penduduk asli di sekitar tambang. “Masyarakat adat, penduduk asli, di mana hak mereka? Mereka yang berdiam dari ribuan tahun di republik ini, sering kali hanya bisa ‘gigit jari’ melihat sumber daya alam mereka diambil,” ujar Deddy Yevri Hanteru Sitorus, Anggota Komisi VI DPR RI.
Pertanyaan ini valid dan perlu dijawab dengan tindakan nyata. Muhammadiyah, sebagai organisasi yang berkomitmen pada nilai-nilai Islam, harus memastikan bahwa kehadirannya dalam sektor tambang tidak menambah penderitaan bagi masyarakat adat dan penduduk asli. Pengelolaan tambang harus melibatkan mereka sebagai mitra strategis dan memberikan manfaat langsung bagi komunitas lokal.
Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Azrul Tanjung, menegaskan bahwa meskipun Indonesia belum sepenuhnya mampu melakukan transisi energi, Muhammadiyah berencana untuk memulai proses tersebut. “Kita harus bekerja keras menemukan teknologi-teknologi baru sehingga dalam beberapa puluh tahun ke depan, kita tidak lagi bergantung pada batu bara," ujar Azrul.
Azrul juga menekankan pentingnya pengelolaan tambang yang bertanggung jawab. Kata dia, Muhammadiyah berkomitmenmenjalankan program ‘tambang hijau’ dengan melakukan restrukturisasi dan penghijauan lahan setelah proses pertambangan selesai. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan tambang tidak merusak lingkungan secara permanen.
Bisnis berbasis tambang memang amat menggiurkan. PT Bukit Asam Tbk, misalnya, melaporkan pendapatan Rp38,5 triliun dengan laba bersih Rp6,1 triliun pada 2023. Adaro Energy juga membukukan laba bersih sekitar Rp25 triliun. Over all, sektor ini menyumbang Rp173 triliun ke kas negara melalui penerimaan bukan pajak (PNBP). Angka itu melampaui sektor migas yang ‘hanya'’ Rp117 triliun.
Namun, di balik lonjakan angka-angka tersebut, ada lapisan kompleksitas yang tak bisa diabaikan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sektor pertambangan sebagai penyumbang ketiga terbesar konflik agraria struktural di Indonesia pada 2023. Konflik ini mempengaruhi ribuan keluarga dan desa di seluruh tanah air.
Balas Budi atau Jebakan?
Hirup pikuk pengelolaan tambang mineral dan batu bara yang melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas) berawal dari keputusan Presiden Joko Widodo akhir Mei 2024. Kala itu, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, sebagai revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini memperkenalkan ketentuan baru yang menarik: pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat diberikan kepada organisasi masyarakat keagamaan.
Merespons kebijakan ini, Menteri Investasi yang juga merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, bergerak cepat. Dengan penuh antusias, Bahlil menjanjikan bahwa izin usaha pertambangan untuk ormas keagamaan akan segera dikeluarkan. Prioritas pertama akan diberikan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang akan segera menerima IUP sesuai ketentuan baru tersebut.
Keputusan Presiden Jokowi dan antusiasme tinggi Bahlil, tak urung menciptakan kegaduhan di tengah publik. Revisi PP tersebut dianggap sebagai langkah yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020. Seperti diketahui, UU No 3/2020, menyebutkan bahwa izin usaha pertambangan khusus (seharusnya) diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta melalui lelang. Ormas keagamaan, menurut aturan ini, termasuk dalam kategori badan usaha swasta yang harus melalui lelang.
Wajar jika banyak pihak melihat langkah Pemerintah ini sebagai politik balas budi. Bahkan, tidak sedikit yang menduga kebijakan tersebut sebagai upaya cuci tangan pemerintah sekaligus menjebak dan menjerat ormas keagamaan masuk ke dalam lumpur masalah di balik bisnis tambang.
Namun, seperti biasa, menteri di sekitar Jokowi pun melantunkan nyanyian pembelaan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menyatakan bahwa keputusan ini adalah bagian dari kebijakan pemerintah untuk memberdayakan organisasi yang telah lama membina masyarakat.
Setali tiga uang dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Menteri yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu mengakui bahwa pemerintah memang memberikan hak istimewa kepada ormas dalam bentuk aset pertambangan.
Bahlil bahkan dengan lantang menyatakan bahwa IUP juga telah disiapkan buat Muhammadiyah. Kabarnya, pemberian IUP sekaligus rencana lokasi di wilayah tambang yang sebelumnya merupakan bagian dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di luar area yang dikelola Kaltim Prima Coal (KPC), sebagai bentuk apresiasi Pemerintah atas kontribusi Muhammadiyah di bidang sosial dan pendidikan.
Sejumlah lahan bekas PKP2B disiapkan pemerintah untuk diserahkan kepengelolaannya pada ormas keagamaan. Seperti tertuang dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2022, terdapat enam konsesi berstatus PKP2B generasi I dengan masa kontrak yang berakhir antara 2019 hingga 2025.
Selain PT Kaltim Prima Coal (KPC), lima konsesi lainnya mencakup eks lahan milik PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama, dan PT Kideco Jaya Agung. Lahan paling luas adalah milik PT KPC (84.938 ha), disusul PT Arutmin Indonesia (57.107 ha), PT Kideco Jaya Agung (47.500 ha), PT Multi Harapan Utama (39.971 ha), dan PT Adaro Indonesia (31.379 ha).
KWI-PGI Tetap Menolak
Kepastian Muhammadiyah meleburkan diri ke dalam bisnis tambang seperti PBNU, tidak menggoyahkan ormas keagamaan lainnya. Ormas keagamaan seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), masih kukuh menolak tawaran mengelola tambang batu bara dan mineral. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan semangat reformasi dan dapat menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migrant, dan Perantau serta Keutuhan Ciptaan KWI, Marthen Jenarut, menegaskan komitmen gereja Katolik terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak seharusnya mengorbankan kehidupan masyarakat serta kelestarian lingkungan. Marthen menyatakan, KWI sebagai lembaga keagamaan, lebih fokus pada peran-peran spiritual dan sosialnya, seperti pelayanan, pewartaan, ibadat, dan semangat kenabian.
Sementara Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, mengapresiasi inisiatif Presiden Joko Widodo untuk melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, Gomar mengingatkan bahwa industri tambang adalah sektor yang kompleks dan memerlukan keahlian serta sumber daya yang memadai. Ia menekankan pentingnya menjaga integritas ormas dan tidak terkooptasi oleh mekanisme pasar yang bisa mengalihkan fokus dari tugas-tugas utama ormas, yaitu membina umat.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa meskipun ada peluang baru di sektor tambang, banyak ormas keagamaan yang tetap memilih untuk menjaga komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. (*)