KABARBURSA.COM - Pada awal masa jabatan keduanya yang penuh kontroversi, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump kembali menggaungkan tema besar dalam kebijakan perdagangannya: perang tarif terhadap Tiongkok. Melalui serangkaian pernyataan yang keras, Trump menuduh Negeri Tirai Bambu terus melakukan praktik perdagangan tidak adil, manipulasi mata uang, dan pencurian kekayaan intelektual Amerika Serikat.
Respons dari Pemerintah Tiongkok pun tidak kalah agresif. Beijing membalas dengan kebijakan balasan tarif yang terukur namun strategis, menargetkan sektor-sektor sensitif seperti pertanian, otomotif, dan teknologi tinggi. Perang dagang jilid dua ini bukan hanya pertarungan dua ekonomi terbesar dunia, tetapi juga menjadi medan pertempuran geopolitik dan perebutan dominasi teknologi global.
Proteksionisme ala Trump
Donald Trump memang dikenal dengan pendekatan ekonomi “America First” yang dalam praktiknya sering bermuara pada proteksionisme. Sejak masa jabatan pertamanya, ia telah memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap defisit perdagangan AS yang besar, terutama dengan Tiongkok. Pada 2018, Trump mulai mengenakan tarif terhadap barang-barang impor asal Tiongkok senilai ratusan miliar dolar, dengan dalih untuk menekan ketergantungan AS terhadap produk asing dan menghidupkan kembali industri manufaktur domestik.
Kebijakan ini sempat mereda menjelang 2020 karena pandemi COVID-19 dan dinamika politik domestik AS. Namun, setelah Trump kembali berkuasa, ia membawa kembali retorika kerasnya terhadap Tiongkok, kini dengan dalih baru: keamanan nasional, kedaulatan ekonomi, dan persaingan teknologi. Tiongkok dianggap sebagai ancaman yang tidak hanya ekonomi tetapi juga strategis. Tiongkok menghadapi tarif total hingga 125 persen, sementara negara-negara lain harus bersiap menghadapi efek domino dari kebijakan ini. Dunia pun kembali memasuki fase penuh ketidakpastian, dengan investasi yang tertahan dan inflasi yang terpicu oleh biaya impor yang melonjak.
Respons Beijing
Pemerintah Tiongkok di bawah Presiden Xi Jinping tidak tinggal diam. Bila pada awalnya Beijing memilih pendekatan hati-hati dan menghindari eskalasi, kini respons yang diambil jauh lebih tegas. China mengenakan tarif balasan terhadap barang-barang AS, mengalihkan pasokan impor dari AS ke mitra-mitra dagang lain seperti Rusia, Brasil, dan negara-negara ASEAN, serta memperkuat program substitusi impor domestik di sektor strategis seperti semikonduktor dan kendaraan listrik.
China juga mempercepat inisiatif seperti “Dual Circulation Strategy” yang berfokus pada penguatan pasar domestik dan inovasi teknologi sebagai tameng terhadap tekanan eksternal. Langkah ini dinilai sebagai upaya Beijing untuk mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan memperkuat resilien ekonominya dari guncangan global, khususnya dari AS.
Indonesia di Tengah Tarik-Menarik Dua Blok
Dalam dinamika global yang terpolarisasi ini, Indonesia memainkan posisi yang strategis namun juga rentan. Untuk pertama kalinya, Indonesia mendapat kehormatan sebagai negara pertama yang diundang secara resmi oleh Pemerintah AS untuk melakukan negosiasi tarif timbal balik. Delegasi tinggi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, bersama sejumlah tokoh penting seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Luar Negeri Sugiono, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, dan Ketua OJK Mahendra Siregar, dijadwalkan mengunjungi Washington DC pada 16-23 April 2025.
Pertemuan dengan pejabat tinggi AS—termasuk United States Trade Representative (USTR), Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Keuangan AS—akan menjadi forum penting untuk membahas seluruh dimensi hubungan dagang dan investasi kedua negara. Airlangga menyebut bahwa Indonesia telah menyiapkan dokumen non-paper yang komprehensif, mencakup isu tarif, hambatan non-tarif, investasi timbal balik, dan kerja sama ekonomi di luar sektor perdagangan. Termasuk dalam agenda, rencana Indonesia untuk mengompensasi defisit perdagangan dengan AS sebesar USD18-19 miliar, melalui kombinasi ekspansi ekspor dan investasi langsung perusahaan Indonesia ke pasar AS. Meski belum diungkap nama-nama perusahaan Indonesia yang akan menanamkan modal di AS, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya menanggapi kebijakan Trump secara reaktif, tetapi juga proaktif—dengan menawarkan strategi win-win.
Dampak Ekonomi Global
Perang tarif antara dua ekonomi terbesar dunia ini secara langsung telah memicu fragmentasi rantai pasok global. Sejak perang dagang pertama, banyak perusahaan multinasional mulai merelokasi basis produksinya dari China ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia. Tren ini dikenal dengan istilah “China +1 Strategy”.
Namun pada perang tarif jilid dua ini, intensitas dan skala relokasi menjadi lebih dramatis. Korporasi AS yang selama ini tergantung pada pasokan komponen dari China kini berlomba-lomba mencari alternatif, meskipun biaya dan waktu transisi tidak sedikit. Di sisi lain, Tiongkok juga mempercepat kemandirian rantai pasok dalam negeri, misalnya lewat proyek besar pabrik chip independen dan ekosistem mobil listrik lokal.
Konsekuensi dari fragmentasi ini adalah inflasi harga barang global akibat peningkatan biaya produksi, ketidakpastian investasi lintas negara, dan potensi “decoupling” ekonomi AS dan China yang sebelumnya sangat terkoneksi. Dunia pun harus bersiap menghadapi era bipolarisasi ekonomi global.
Pemenang dan Pecundang Sementara
Dalam jangka pendek, tidak mudah menunjuk siapa pemenang dan pecundang dari konflik ini. Dari sisi AS, sektor-sektor seperti baja dan aluminium memang mendapat perlindungan dari tarif impor, namun konsumen Amerika membayar harga lebih mahal. Sektor pertanian AS—yang banyak mengekspor ke China—bahkan mengalami pukulan berat akibat pembalasan tarif Beijing. Pemerintah AS pun akhirnya harus menggelontorkan subsidi miliaran dolar untuk meredam dampaknya terhadap petani.
Sementara itu, ekonomi Beijing juga tidak kebal dari guncangan. Ketergantungan terhadap pasar AS sebagai tujuan ekspor utama membuat sektor manufaktur China terguncang. Namun kemampuan Xi Jinping untuk mengalihkan ekspor ke kawasan Asia, Eropa, dan Afrika cukup efektif menjaga stabilitas ekspor mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, ekspor China justru meningkat di sektor yang berhasil menghindari blokade AS, misalnya energi terbarukan dan komponen kendaraan listrik.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, bisa jadi termasuk yang memperoleh “keuntungan tak langsung” dari pertarungan ini. Investor asing mulai melirik negara-negara di luar China sebagai basis produksi baru. Namun, tanpa kesiapan infrastruktur, insentif fiskal, dan stabilitas hukum, peluang ini bisa dengan cepat berpindah ke negara pesaing seperti Vietnam dan India.
Dampak Makroekonomi
Efek lanjutan dari perang tarif ini adalah tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2025, dengan alasan utama ketegangan dagang AS-China dan ketidakpastian geopolitik. Perusahaan-perusahaan besar menahan belanja modal mereka, sementara pasar keuangan bergerak liar mengikuti pernyataan-pernyataan pejabat Washington dan Beijing.
Bursa saham di AS dan Asia menunjukkan volatilitas tinggi setiap kali terjadi pembaruan kebijakan tarif. Mata uang negara-negara berkembang pun ikut tertekan karena ketidakpastian arus perdagangan dan modal. Bahkan harga komoditas seperti minyak dan logam ikut berfluktuasi karena perubahan pola ekspor-impor kedua negara raksasa ini.
Dominasi atau Disrupsi
Salah satu medan pertempuran paling intens dalam perang ini adalah sektor teknologi. Pemerintahan Trump memperketat ekspor teknologi tinggi ke China, membatasi akses perusahaan seperti Huawei dan SMIC terhadap chip canggih buatan AS atau sekutunya. Trump juga mendorong pemutusan rantai pasok teknologi antara perusahaan AS dan China.
China merespons dengan program nasionalisasi teknologi melalui “Made in China 2025” dan peningkatan pendanaan untuk startup teknologi domestik. Pertarungan ini telah membentuk lanskap baru dalam industri teknologi dunia, di mana dua ekosistem digital besar—Amerika dan China—berkembang secara paralel namun terpisah, dengan aturan, perangkat keras, dan platform yang berbeda. Hal ini bukan hanya berimplikasi pada sektor teknologi, tapi juga pada kedaulatan digital, privasi data, hingga keamanan siber global.
Implikasi Jangka Panjang
Jika tren ini terus berlanjut, dunia bisa memasuki dekade baru di mana dua blok ekonomi terbentuk—blok Barat yang dipimpin AS dan blok Timur yang dipimpin China. Fenomena ini disebut sebagai “economic decoupling”, yaitu pemisahan sistem ekonomi, keuangan, dan teknologi antara dua kekuatan utama dunia. Akibatnya, negara-negara di kawasan netral seperti ASEAN, Afrika, dan Amerika Latin akan dipaksa memilih orientasi mereka terhadap salah satu blok. Negara-negara yang tidak memiliki ikatan erat dengan salah satu pihak—termasuk Indonesia—perlu menyeimbangkan kebijakan ekonomi mereka agar tidak terperangkap dalam sengketa geopolitik yang semakin tajam.
Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara memiliki peluang besar untuk memanfaatkan situasi ini. Sebagai anggota G20 dan negara ASEAN yang berkomitmen terhadap ekonomi terbuka, Indonesia perlu memperkuat negosiasi dengan kedua belah pihak, memperkuat infrastruktur industri dalam negeri, dan menjadi pemain penting dalam rantai pasok regional yang baru. Di sisi lain, Indonesia harus tetap waspada terhadap ketidakpastian global yang dapat mengguncang ketahanan ekonomi domestik dalam jangka panjang. Sanggupkah? (*)