Ketika dunia diguncang oleh proteksionisme Amerika Serikat dan konflik geopolitik di Asia Selatan antara India dan Pakistan, Indonesia justru mencetak sejarah penting dalam ketahanan pangan: swasembada beras. Apakah ini momen kemenangan, atau hanya narasi angka yang meninabobokan? Semoga saja realitas ini bisa menjadi pijakan kokoh menuju kemandirian pangan sejati.
Pada pengujung April 2025, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengumumkan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada beras. Dengan cadangan beras pemerintah yang mencapai tiga (3) juta ton di gudang Bulog, dan proyeksi produksi domestik menembus 34 juta ton melampaui target 32 juta ton—Indonesia secara teknis tidak perlu melakukan impor hingga setidaknya 2026.
Namun, capaian ini harus diuji lewat satu variabel yang paling menentukan: konsistensi. Surplus produksi belum tentu berbanding lurus dengan kestabilan pasokan di tingkat konsumen. Dalam praktiknya, kelebihan pasokan bisa menjadi beban jika tidak dikelola secara efisien. Persoalan distribusi, tata kelola, dan kualitas infrastruktur logistik akan menentukan apakah swasembada ini mampu menjaga stabilitas harga atau justru memicu distorsi pasar.
Efek Domino Perang Dagang
Capaian ini juga terjadi di tengah tekanan eksternal yang makin tajam. Pada 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump kembali meluncurkan kebijakan tarif impor baru variatif terhadap negara-negara dengan surplus perdagangan, termasuk Indonesia. Produk ekspor Indonesia seperti tekstil, karet, dan bahkan sebagian komoditas pertanian, terdampak langsung dengan ancaman tarif 32 persen.
Efeknya? Kinerja ekspor nasional menurun drastis. Banyak pelaku industri dalam negeri harus menghadapi penurunan permintaan dari pasar utama. Produk Indonesia yang semula kompetitif, kini tersisih oleh barang dari negara lain yang tidak terkena tarif serupa. Neraca perdagangan mengalami tekanan, sementara devisa hasil ekspor mengalami kontraksi.
Situasi ini menjadi pengingat keras bahwa ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari ketahanan ekonomi secara keseluruhan. Ketika ekspor melemah dan tekanan inflasi menguat, kebutuhan akan pasokan pangan murah dan stabil menjadi makin krusial.
Konflik India-Pakistan dan Risiko yang Mengintai
Konflik bersenjata antara India dan Pakistan turut memanaskan suhu geopolitik di kawasan Asia Selatan. Kedua negara ini menyumbang porsi besar ekspor beras dunia. Ketegangan militer, gangguan pelabuhan, serta embargo logistik berpotensi memicu kelangkaan pasokan dan melonjakkan harga beras global.
Malaysia, sebagai contoh, sangat bergantung pada beras dari India dan Pakistan. Dalam skenario terburuk, gangguan pasokan bisa memaksa negara-negara seperti Malaysia, Filipina, bahkan Afrika Timur, mencari alternatif baru. Dan Indonesia, bisa menjadi salah satunya.
Artinya, capaian swasembada bisa dikapitalisasi lebih jauh sebagai instrumen geopolitik ekonomi. Namun potensi ekspor tidak akan berarti tanpa kesiapan infrastruktur ekspor, mulai dari kualitas, standardisasi, hingga logistik pelabuhan yang efisien.
Membangun Kemandirian Sistem
Pemerintah Indonesia patut mendapat apresiasi atas berbagai kebijakan strategis yang telah dilakukan. Mulai dari pembangunan lumbung pangan provinsi, revitalisasi BUMN pangan, hingga integrasi teknologi digital dalam sektor pertanian. Platform agritech, penggunaan data satelit untuk pemantauan lahan, dan sistem irigasi cerdas adalah bagian dari transformasi yang selama ini dinanti.
Namun semua itu baru fondasi. Tanpa tata kelola yang transparan, pengawasan distribusi yang ketat, serta intervensi harga pasar yang efektif, swasembada bisa runtuh hanya dalam satu musim tanam.
Keterlibatan swasta dalam rantai pasok pangan juga harus ditata ulang. Bukan sebagai sekadar pelengkap. Lebih dari itu, sebagai mitra strategis yang memiliki tanggung jawab dan insentif jangka panjang. Model public-private partnership perlu diarahkan untuk memperkuat klaster pangan. Bukan sekadar proyek sporadis tanpa kesinambungan.
Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan. Siapa yang benar-benar diuntungkan dari swasembada beras ini?
Jika surplus produksi hanya terserap oleh gudang, tanpa memperbaiki kesejahteraan petani dan daya beli konsumen, maka swasembada hanya menjadi simbolisme kosong. Harga gabah petani harus dijaga tetap layak, namun tidak mengorbankan stabilitas harga di pasar konsumen.
Di sinilah diperlukan pendekatan kebijakan yang presisi. Dari insentif produksi, subsidi pupuk yang tepat sasaran, hingga harga pembelian pemerintah yang realistis.
Politik Pangan dan Stabilitas Nasional
Ketahanan pangan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga stabilitas sosial dan politik. Sejarah telah menunjukkan bahwa lonjakan harga pangan dapat memicu kerusuhan sosial, melemahkan legitimasi pemerintah, dan bahkan menggoyang struktur kekuasaan.
Dengan ekonomi global yang tengah mengalami perlambatan, Indonesia harus mengantisipasi gejolak dalam negeri akibat tekanan inflasi dan potensi krisis pangan di negara-negara tetangga. Dalam konteks ini, swasembada beras bukan sekadar strategi pertanian, melainkan alat pertahanan nasional yang tak kalah penting dari alutsista atau cadangan devisa.
Swasembada beras harus menjadi awal. Bukan akhir. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pangan tidak berhenti pada simbol-simbol politik. Transparansi data produksi, keterlibatan petani dalam pengambilan kebijakan, dan desentralisasi manajemen pangan menjadi syarat mutlak.
Perlu ada indikator yang lebih dari sekadar jumlah ton cadangan beras. Sejauh mana beras tersebut tersedia di pasar dengan harga terjangkau? Seberapa besar kontribusi teknologi terhadap peningkatan produktivitas? Apakah ada sistem logistik yang mampu menjangkau wilayah terpencil tanpa biaya distribusi yang membengkak?
Menjaga Momentum Mengubur Ilusi
Swasembada beras adalah capaian historis. Namun mempertahankannya dan menjadikannya alat untuk membangun kemandirian pangan berkelanjutan adalah tantangan yang lebih besar. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus berpikir jangka Panjang. Lebih tepatnya, wajib membangun sistem pangan nasional yang tahan krisis, efisien, dan adil.
Di tengah tekanan global yang makin tak terduga, Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Bukan hanya di sektor pertanian, tetapi dalam seluruh pilar ekonominya. Dalam hal ini, swasembada bukan tujuan akhir melainkan batu loncatan menuju kedaulatan ekonomi.
Indonesia tidak sendiri dalam upayanya mencapai swasembada beras. Negara-negara seperti China, India, dan Vietnam telah menempuh jalan serupa. Beijing, misalnya, mempertahankan cadangan strategis beras dalam jumlah besar sebagai penyangga krisis pangan. Bahkan jika itu berarti subsidi besar-besaran dan surplus yang menggerus efisiensi. India, dengan sistem minimum support price, juga mengorbankan sebagian fleksibilitas fiskal demi kestabilan petani.
Namun, ada pelajaran penting dari dua negara ini. Apa itu? Swasembada bukan tanpa biaya. Terlalu agresif mengintervensi pasar bisa menghasilkan distorsi. Harga terlalu tinggi memberatkan konsumen. Harga terlalu rendah mematikan semangat produksi petani. Kuncinya ada pada keseimbangan yang dinamis. Bukan kontrol harga yang kaku.
Vietnam, di sisi lain, memilih strategi yang lebih terbuka. Ia tidak memaksakan swasembada total, tetapi membangun keunggulan ekspor. Vietnam mengekspor beras kualitas premium ke pasar internasional, sembari mengandalkan efisiensi rantai pasok dan kualitas varietas untuk bersaing.
Indonesia bisa mengadopsi pendekatan hibrida. Di satu sisi menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pangan di dalam negeri, tapi juga membuka peluang ekspor terukur. Terutama ke negara-negara yang mulai terdampak konflik atau perubahan iklim.
Romantisme Swasembada Era Orde Baru
Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1984 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, capaian tersebut tidak bertahan lama. Penurunan investasi pertanian, degradasi lahan, dan lemahnya insentif produksi menyebabkan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.
Apa pelajaran dari sejarah itu? Pertama, swasembada harus dibangun dengan struktur yang berkelanjutan, bukan dengan mobilisasi sesaat. Kedua, tanpa reformasi kelembagaan dan dukungan terhadap petani kecil, ketahanan pangan akan cepat rapuh saat krisis datang.
Kini, di era desentralisasi dan globalisasi, tantangannya lebih kompleks. Koordinasi antara pusat dan daerah, kemampuan fiskal terbatas, dan tekanan perubahan iklim membuat pencapaian swasembada jauh lebih sulit dibandingkan empat dekade lalu. Maka capaian 2025 harus dilindungi dengan sistem yang fleksibel namun kokoh.
Produksi Pangan dan Ancaman Perubahan Iklim
Satu faktor besar yang jarang dibicarakan dalam wacana swasembada adalah ancaman perubahan iklim. Curah hujan yang tak menentu, musim tanam yang bergeser, dan meningkatnya risiko banjir dan kekeringan adalah realitas yang tak bisa dihindari. Studi menunjukkan bahwa produksi padi nasional berpotensi turun 10–15 persen per dekade jika mitigasi iklim tidak dilakukan secara sistematis.
Artinya, strategi swasembada harus beriringan dengan agenda iklim. Pengembangan varietas tahan kekeringan, sistem irigasi berbasis teknologi cerdas, serta insentif untuk praktik pertanian ramah lingkungan perlu dimasukkan dalam kebijakan utama, bukan sekadar program tambahan.
Tanpa itu, swasembada beras akan menjadi sandcastle yang runtuh saat gelombang krisis iklim datang.
Logistik, Infrastruktur, dan “Bottleneck” yang Menghantui
Produksi memang penting. Tapi logistik menentukan apakah hasil panen bisa sampai ke masyarakat. Indonesia masih bergelut dengan persoalan klasik berupa biaya distribusi tinggi, akses pasar yang terbatas di wilayah terluar, serta minimnya sistem cold storage dan gudang berstandar.
Harga beras di Papua atau Maluku bisa dua kali lipat dari harga di Pulau Jawa. Bukan karena produksi rendah, tapi karena distribusi yang mahal. Di sinilah urgensi reformasi logistik pangan nasional. Pemerintah harus mengalihkan sebagian anggaran infrastruktur dari proyek mercusuar ke infrastruktur penyangga pangan seperti jalan desa, irigasi lokal, dermaga perintis, hingga fasilitas penyimpanan yang layak.
Swasembada tanpa pemerataan distribusi, sama saja dengan memperbesar ketimpangan antarwilayah. Kita tidak bisa bicara ketahanan pangan nasional jika sebagian wilayah Indonesia masih mengandalkan pasokan dari luar pulau. Maka, rencana pemerintah mewujudkan Koperasi Desa Merah Putih Juli mendatang, yang salah satu tugasnya adalah menampung produksi petani, patut ditunggu realisasi nyatanya.
Modernisasi Sistem Informasi dan Peran Teknologi
Transformasi digital di sektor pertanian bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Penggunaan teknologi satelit, big data untuk proyeksi produksi, serta platform digital yang menghubungkan petani dengan pasar, akan menentukan efisiensi dan akurasi kebijakan.
Sayangnya, adopsi teknologi ini masih minim di tingkat petani kecil. Banyak dari mereka tidak memiliki akses terhadap pelatihan, pembiayaan, atau bahkan jaringan internet yang memadai. Jika tidak ditangani serius, digitalisasi pertanian hanya akan menjadi jargon elite yang tak menyentuh realitas di lapangan.
Pemerintah perlu membangun ekosistem agritech yang inklusif: memperluas akses internet di sentra pertanian, melibatkan koperasi digital sebagai aggregator, dan menyediakan kredit teknologi dengan skema risiko rendah.
Apa yang Harus Diperkuat Selanjutnya?
Untuk menjaga momentum swasembada, Indonesia perlu melakukan penguatan di lima sektor utama:
- Kebijakan Harga yang Berimbang: Menjaga keseimbangan antara insentif petani dan daya beli masyarakat melalui skema harga pembelian pemerintah yang adaptif.
- Reformasi Bulog dan BUMN Pangan: Transformasi manajemen Bulog agar lebih efisien, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik, bukan sekadar penyalur bantuan pangan.
- Pendalaman Rantai Nilai: Mendorong pengolahan hasil tani dan hilirisasi pangan agar menciptakan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat industri nasional.
- Keamanan Pangan Terintegrasi: Membangun sistem pengawasan kualitas, keamanan, dan keterlacakan produk pangan dari hulu ke hilir.
- Desentralisasi Produksi: Mengembangkan pusat produksi baru di luar Jawa dengan dukungan infrastruktur dan investasi agribisnis yang terarah.
Swasembada Harus Menjadi Pilar Ketahanan Nasional
Swasembada beras tahun 2025 adalah prestasi. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah memastikan bahwa prestasi ini bukan sebuah puncak, melainkan fondasi menuju transformasi sistem pangan nasional.
Kemandirian pangan adalah komponen strategis dari kedaulatan ekonomi dan stabilitas sosial. Dunia sedang menuju masa depan yang lebih tidak pasti: krisis iklim, konflik geopolitik, volatilitas harga komoditas, dan disrupsi logistik akan menjadi norma baru.
Indonesia harus membangun sistem pangan yang tangguh menghadapi masa depan. Bukan hanya dengan merayakan produksi beras yang melimpah, tetapi dengan membangun jaringan distribusi yang efisien, teknologi yang inklusif, kebijakan yang adil, dan petani yang sejahtera.
Swasembada bukan sekadar angka di laporan tahunan. Ia adalah bentuk nyata dari keberanian negara menjaga perut rakyatnya. (*)