KABARBURSA.COM - Juru Kampanye Greenpeace Indonesia untuk Kehutanan Arie Rompas menilai, perdagangan karbon tidak menyelesaikan akar masalah penyebab utama emisi, seperti penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi.
“Perdagangan karbon hanya memberikan ilusi solusi. Faktanya, entitas penghasil emisi tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa upaya signifikan untuk mengurangi emisi. Sebaliknya, mereka menggunakan skema ini untuk melakukan ‘clean washing’ dan bahkan menjadikannya peluang ekonomi,” kata Arie kepada kabarbursa.com melalui telepon pada Selasa, 28 Januari 2025.
Greenpeace juga mengkritik perdagangan karbon yang sering kali menyasar wilayah-wilayah masyarakat adat. Menurutnya, aktivitas ini berpotensi melanggar hak-hak mereka dan memperburuk ketimpangan sosial.
“Wilayah karbon trading berada di tanah adat. Ini meningkatkan risiko kehilangan tanah dan mata pencaharian masyarakat adat,” ucap dia.
Menurut dia, kekhawatiran utama Greenpeace adalah keberlanjutan krisis iklim akibat kegagalan menekan sumber emisi utama.
Perusahaan besar penghasil emisi disebut mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut, sementara dampak negatifnya dirasakan oleh masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan.
Terkait pengawasan perdagangan karbon, Greenpeace menegaskan posisinya sebagai organisasi kampanye yang menentang kebijakan tersebut. Melalui publikasi dan penelitian, Greenpeace berkomitmen untuk terus menyuarakan kritik dan menyerukan solusi nyata yang fokus pada penghentian emisi karbon dari sektor energi dan industri.
Sebagai solusi, Greenpeace mendesak pemerintah dan perusahaan besar untuk serius menghentikan emisi karbon dengan langkah konkret, seperti transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, serta penghentian komoditas yang berkontribusi terhadap deforestasi.
“Upaya serius diperlukan untuk memastikan transisi energi dilakukan dan produksi dari bahan bakar fosil dihentikan. Selain itu, komoditas yang menyebabkan deforestasi harus segera dihentikan, terutama di Indonesia,” ujar Arie.
Emisi Karbon Tak Buat Perubahan
Hal serupa juga disampaikan Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia, Asep Komarudin. Menurutnya, perdagangan karbon sering kali digunakan sebagai cara bagi perusahaan besar untuk membeli izin mencemari tanpa benar-benar mengurangi emisi mereka.
“Perdagangan karbon mengalihkan tanggung jawab pengurangan emisi. Perusahaan hanya membayar untuk terus mencemari, bukan membuat perubahan substantif dalam operasionalnya,” ujarnya kepada kabarbursa.com.
Selain itu, Asep menyoroti kelemahan sistemik dalam pasar karbon yang kerap kali tidak transparan dan rawan penyalahgunaan. “Banyak kasus di mana jumlah karbon yang diserap oleh proyek-proyek yang didukung kredit karbon dilebih-lebihkan, sehingga efektivitas mekanisme ini dalam menekan emisi global diragukan,” ujarnya.
Greenpeace juga menilai perdagangan karbon dapat mengalihkan fokus dari solusi nyata, seperti transisi langsung menuju energi terbarukan dan penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
Asep menegaskan, Ketimbang bergantung pada mekanisme seperti perdagangan karbon, langkah-langkah langsung seperti investasi besar-besaran dalam energi bersih dan efisiensi energi jauh lebih mendesak untuk dilakukan.
Keberlanjutan proyek yang didanai melalui perdagangan karbon juga menjadi perhatian Greenpeace. Dalam beberapa kasus, proyek kompensasi karbon justru dinilai merugikan komunitas lokal, seperti melalui eksploitasi lahan dan perusakan ekosistem.
Sebagai alternatif, Greenpeace mendorong langkah-langkah konkret yang langsung berdampak pada pengurangan emisi.
“Investasi dalam energi bersih, perlindungan hutan, kebijakan tegas yang membatasi emisi tanpa celah untuk penghindaran melalui mekanisme pasar adalah langkah yang lebih efektif untuk mengatasi krisis iklim,” kata Asep.
Butuh Kontribusi Semua Pihak
Sementara itu, Country Director Greenpeace, Leonard Simanjuntak mengatakan, krisis iklim adalah persoalan mendesak yang membutuhkan semua pihak untuk berkontribusi secara langsung dan nyata dalam mengurangi emisi karbon.
"Kami tidak percaya bahwa mekanisme perdagangan karbon, baik melalui kredit karbon domestik maupun internasional, dapat menjadi solusi yang efektif,” ucap dia kepada kabarbursa.com.
Greenpeace mengkritik mekanisme perdagangan karbon karena dianggap membuka peluang bagi entitas bisnis atau pihak-pihak yang tidak bersedia mengurangi emisi karbon secara langsung untuk tetap mencemari lingkungan dengan dalih membeli kredit karbon.
“Ini adalah cara untuk menciptakan ilusi kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon, padahal pada kenyataannya tidak ada perubahan nyata,” tambahnya.
Leonard juga menyoroti tanggung jawab lebih besar yang harus diemban oleh negara-negara maju dan industri fosil global dalam mengatasi krisis iklim.
Ia menekankan bahwa negara-negara utara serta perusahaan multinasional memiliki kewajiban tidak hanya untuk mengurangi emisi mereka sendiri, tetapi juga untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang dalam upaya pengurangan emisi karbon. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.