INVESTASI iklim tak lagi sekadar urusan lingkungan: ini menyangkut kelangsungan ekonomi dunia. Di panggung Konferensi Para Pihak ke-29 tentang Perubahan Iklim atau COP29, isu transisi energi dan pendanaan iklim menjadi pusat perhatian. Negara-negara maju didesak menyuntikkan dana hingga USD300 miliar setiap tahun hingga 2035. Meski angka itu masih jauh dari cukup untuk menanggulangi krisis iklim, langkah ini setidaknya menandai keseriusan dunia memandang perubahan iklim sebagai tantangan kolektif. Apa kaitannya dengan Indonesia? Jawabannya, amat signifikan.
Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, menurut laporan Our World in Data (2022), Indonesia menghadapi tanggung jawab besar. Emisi ini didominasi oleh sektor energi dan deforestasi, dua bidang yang erat kaitannya dengan roda ekonomi. Dalam komitmen Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan hingga 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisius, tetapi tanpa suntikan dana besar-besaran, target ini sulit terealisasi.
[caption id="attachment_104130" align="alignnone" width="3400"] Grafik menunjukkan peningkatan signifikan emisi karbon dioksida Indonesia per kapita dari bahan bakar fosil dan industri sejak tahun 1980-an hingga 2023. Hal ini menandakan ketergantungan tinggi pada energi fosil di tengah upaya global mengurangi jejak karbon. Sumber: Our World in Data[/caption]
Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia begitu melimpah. Data Kementerian ESDM mencatat kapasitas energi terbarukan Indonesia mencapai 3.687 GW, mencakup tenaga surya, angin, hingga air. Namun, hingga 2023 kapasitas yang terpasang baru 13.155 MW atau hanya 0,4 persen dari total potensinya. Untuk 2024, Indonesia menargetkan pemanfaatannya sebesar 13.886 MW. Ironisnya, ketergantungan Indonesia pada batu bara masih tinggi, yakni menopang lebih dari 60 persen kebutuhan listrik nasional.
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Arief Rosadi, mengatakan untuk mempercepat transisi energi, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD20-40 miliar per tahun hingga 2050.
"Namun, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah USD2 miliar per tahun pada periode 2017-2023. Pada 2022, pembiayaan dari sektor swasta meningkat hingga Rp26 triliun (sekitar USD1,7 miliar)," kata Arief dalam Media Briefing COP-29 pada Selasa, 3 Desember 2024.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai hasil pertemuan COP29 di Azerbaijan mengecewakan banyak pihak dan menggerus kepercayaan terhadap mekanisme multilateral. Padahal, kata Fabby, membatasi kenaikan suhu bumi pada 1,5 derajat Celcius adalah tantangan global yang hanya bisa diatasi melalui kolaborasi internasional yang erat.
“Dukungan pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk negara berkembang dari negara maju menjadi faktor penting bagi peningkatan dan pencapaian aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang ambisius di negara berkembang. COP29 seharusnya dapat menjamin tersedianya pendanaan yang memadai dan efektif bagi negara berkembang, seperti Indonesia,” kata Fabby.
Di tengah semua itu, COP29 membawa secercah peluang lewat mekanisme perdagangan karbon global. Kesepakatan ini membuka peluang bagi negara-negara penghasil emisi terbesar, seperti Jerman dan Jepang, untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka dengan membeli penghapusan dan pengurangan emisi dari negara-negara berkembang. Skema seperti proyek energi terbarukan, konservasi hutan hujan, atau program penanaman pohon menjadi opsi yang lebih terjangkau bagi mereka. Perdagangan karbon ini diharapkan mulai berjalan paling cepat pada 2025, setelah badan-badan teknis menyelesaikan rincian operasionalnya.
Jika diimplementasikan dengan baik, mekanisme pasar karbon ini dapat membantu mendanai upaya mitigasi iklim yang lebih terjangkau, sekaligus memastikan emisi global tetap sesuai jalur kesepakatan Paris. Ketertarikan pada penghapusan karbon sangat tinggi, terutama dari perusahaan teknologi besar yang aktif membeli kredit karbon dan mendorong pertumbuhan pasar. Setelah kegagalan di masa lalu, para negosiator COP29 dan pengamat menyebut inisiatif ini sebagai kesempatan terakhir untuk menjalankan sistem tersebut dengan benar.
“Pasar karbon internasional telah anjlok dua kali dalam dua dekade terakhir akibat hilangnya kredibilitas,” kata Pakar Pasar Karbon dari Universitas Zurich, Axel Michaelowa, dikutip dari The Guardian.
Michaelowa menambahkan, di Baku, implementasi perdagangan karbon internasional di bawah payung Perjanjian Paris dapat mencegah kehancuran ketiga yang akan sangat fatal. “Pasar karbon adalah alat yang sangat efektif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah karbon di seluruh dunia. Pasar karbon Paris kini dijadwalkan mulai beroperasi pada 2025. Mekanisme ini berpotensi mempercepat mitigasi dan membantu menutup kesenjangan emisi besar yang menghambat pencapaian target 1,5 derajat Celsius,” katanya.
Indonesia memiliki potensi besar, terutama dari proyek dekarbonisasi dan konservasi hutan tropisnya. Namun, regulasi dan pasar karbon domestik masih perlu dibenahi agar menarik minat investor. Artinya, lebih dari sekadar dana, Indonesia memerlukan ekosistem investasi yang kondusif untuk mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan yang dimilikinya.
Apa yang Terjadi Setelah COP29?
COP29 menetapkan komitmen pendanaan iklim global sebesar USD300 miliar per tahun hingga 2035. Meskipun angka ini terkesan wah, sebenarnya masih jauh dari cukup. Negara-negara berkembang sebelumnya mengajukan target USD1,3 triliun per tahun untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Bahkan, menurut laporan Climate Policy Initiative (CPI), dunia seharusnya membutuhkan investasi antara USD5,4 triliun hingga USD11,7 triliun per tahun sampai 2030 untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius. Setelah itu, kebutuhan pendanaan diperkirakan meningkat menjadi USD9,3 triliun hingga USD12,2 triliun per tahun selama dua dekade berikutnya.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, biaya sosial dan ekonomi akibat pemanasan global dalam skenario business-as-usual akan jauh lebih besar. CPI memprediksi biaya ini bisa mencapai USD1.266 triliun setiap tahun—angka yang akan terus membengkak jika tindakan mitigasi terus ditunda. Dengan kata lain, investasi besar-besaran saat ini bukan hanya pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menghindari kerugian yang jauh lebih besar di masa depan.
[caption id="attachment_104131" align="alignnone" width="1928"] Grafik menunjukkan kebutuhan pendanaan iklim kumulatif untuk menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius hingga 2050 sebesar USD266 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim pada skenario business-as-usual yang diproyeksikan mencapai USD2.328 triliun hingga 2100. Sumber: Climate Policy Initiative.[/caption]
Melihat kebutuhan pembiayaan iklim yang tinggi, komitmen yang disepakati di COP29 hanya mencakup sebagian kecil dari kebutuhan global. Ini menciptakan kesenjangan yang signifikan terutama bagi negara-negara berkembang yang bergantung pada pendanaan internasional.
Bagi Indonesia, tantangan ini semakin terasa. Target NDC Indonesia yang ambisius penurunan emisi 31,89 persen secara mandiri dan hingga 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030 bisa sulit dicapai tanpa dukungan keuangan yang cukup. Proyek-proyek besar seperti pensiun dini PLTU batu bara, pengembangan PLTS skala besar, atau implementasi pasar karbon domestik membutuhkan dukungan internasional, baik dalam bentuk dana maupun transfer teknologi.
Di Mana Indonesia Bisa Mencari Jalan Keluar?
Di tengah tantangan global yang besar, COP29 juga membuka peluang baru bagi Indonesia melalui mekanisme perdagangan karbon internasional. Salah satu terobosan utama adalah Paris Agreement Crediting Mechanism (PACM), mekanisme kredit karbon berintegritas tinggi yang diatur di bawah Pasal 6 Perjanjian Paris. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara untuk mentransfer kredit karbon yang dihasilkan dari pengurangan emisi gas rumah kaca, membantu negara-negara lain mencapai target iklim mereka.
Indonesia belum secara resmi mengimplementasikan PACM, tetapi telah memiliki pengalaman serupa melalui Joint Crediting Mechanism (JCM) yang dijalankan bersama Jepang sejak 2013. Dilansir dari laman Kementerian Koordinator Perekonomian, JCM telah mendukung 54 proyek di berbagai wilayah Indonesia. Terbaru, Indonesia baru saja mengambil langkah penting dengan memulai penerapan Mutual Recognition Arrangement (MRA) bersama Negeri Sakura. Kesepakatan yang diumumkan pada COP29 di Baku, Azerbaijan, ini menjadi tonggak baru dalam perdagangan karbon bilateral. Bahkan, MRA ini tercatat sebagai model pertama di dunia untuk kerja sama antarnegara di bawah kerangka Perjanjian Paris, khususnya Pasal 6.2.
Melalui MRA, sistem kredit karbon Indonesia kini diakui oleh otoritas Jepang. Hal ini mencakup berbagai aspek penting, mulai dari metodologi mitigasi, penghitungan pengurangan emisi, hingga sertifikasi dan pemantauan. Kredit karbon yang dihasilkan lewat Joint Crediting Mechanism (JCM) antara kedua negara kini wajib tercatat dalam Sistem Registri Nasional Indonesia dan menggunakan Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI). Ini adalah langkah besar yang memperkuat transparansi dan kredibilitas sistem kredit karbon domestik Indonesia.
Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk COP29, Hashim S. Djojohadikusumo, mengatakan penerapan MRA adalah bukti nyata komitmen Indonesia untuk memperkuat kerja sama global dalam mencapai net zero emission. “Melalui MRA, kami akan mengembangkan proyek-proyek konkret untuk mengurangi emisi di Indonesia. Proyek ini juga akan berkontribusi pada pengurangan emisi global,” ujar Vice Minister for Global Environment Affairs Jepang, Matsuzawa, seperti disiarkan di laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kesepakatan ini memberikan keuntungan besar bagi Indonesia. Sertifikat kredit karbon yang dihasilkan dari proyek mitigasi di tanah air kini memiliki nilai yang setara dengan sistem yang berlaku di Jepang. Semua proyek mitigasi yang didukung sumber daya Jepang juga harus mematuhi peraturan lingkungan Indonesia dan mengikuti sistem SPEI. Dengan mekanisme ini, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya dalam perdagangan karbon global, tetapi juga memanfaatkan kolaborasi internasional untuk mendukung pencapaian target NDC dan mempercepat transisi energi bersih.
Selain JCM, pada Juni 2024, Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman dengan Korea Selatan untuk mengimplementasikan Artikel 6 Perjanjian Paris. Kerja sama ini mendorong perusahaan dari kedua negara mengembangkan proyek penurunan emisi karbon di Indonesia, dengan dukungan subsidi dari Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan (MOTIE). Dalam proyek ini, kedua negara akan memperoleh kredit karbon melalui Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMO) dari proyek-proyek terpilih. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia semakin siap mengadopsi PACM di masa depan.
Potensi Indonesia untuk memanfaatkan PACM sangat besar, terutama melalui proyek konservasi hutan tropis, reboisasi, dan dekarbonisasi. Hutan hujan Indonesia, yang sering disebut sebagai “paru-paru dunia,” dapat menjadi aset utama dalam menarik investasi karbon internasional. Proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di wilayah terpencil juga bisa menjadi kandidat kuat untuk program ini.
Namun, untuk benar-benar memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu memastikan regulasi pasar karbon domestiknya sejalan dengan standar internasional. Sistem yang transparan dan dapat diverifikasi adalah kunci untuk menarik minat investor global.
Blended Finance: Solusi Menutup Kesenjangan Pendanaan Iklim
Di tengah tantangan besar untuk mendanai transisi energi pasca COP29, Indonesia sebenarnya sudah memiliki sejumlah instrumen strategis yang dapat dimanfaatkan. Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah blended finance. Skema ini menggabungkan modal konsesi, yang sering kali berasal dari pemerintah atau lembaga filantropi, dengan modal komersial dari investor swasta. Modal konsesi bertindak sebagai pendorong untuk membuka peluang bagi modal komersial masuk ke proyek-proyek berkelanjutan.
Sejumlah langkah konkret sudah dilakukan Indonesia untuk mendorong blended finance, salah satunya melalui Tri Hita Karana (THK) Forum. Forum ini menjadi platform untuk menggalang kolaborasi internasional guna mendukung proyek-proyek berkelanjutan di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Sejak 2022, THK Forum menetapkan target penggalangan dana hingga USD30 miliar.
Selain itu, roadmap Taksonomi Hijau Indonesia (THI), yang telah diperbarui menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada awal 2024, menjadi tonggak penting lain dalam transisi energi hijau. Dalam pembaruan ini, pembangkit listrik berbasis energi fosil dikategorikan sebagai aktivitas berbahaya (kategori merah), sementara kegiatan penutupan PLTU batu bara dengan batas waktu tertentu masuk dalam kategori hijau dan transisi. Menurut Koordinator Keuangan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda, hal ini memberikan sinyal kuat bagi investor dan lembaga keuangan untuk mendukung transisi energi.
Indonesia juga menunjukkan kemajuan dalam penerapan blended finance melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Hingga akhir 2023, PT SMI telah berhasil memobilisasi pendanaan sebesar USD355 juta melalui platform SDG Indonesia One, yang mendukung total 115 proyek berbasis blended finance. Proyek-proyek ini mencakup inisiatif energi terbarukan, transportasi publik ramah lingkungan, hingga pengelolaan limbah, yang semuanya berkontribusi langsung pada target pembangunan berkelanjutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Dalam konteks energi terbarukan, PT SMI berkomitmen untuk mendorong pembiayaan proyek-proyek strategis yang memiliki dampak besar terhadap pengurangan emisi. Proyek-proyek ini diproyeksikan mampu menghindari emisi gas rumah kaca hingga 6,8 juta ton CO2e per tahun. Pendekatan ini melibatkan berbagai instrumen pembiayaan, seperti green bonds, sustainability-linked loans, dan kerjasama dengan mitra internasional.
"Kami telah membiayai berbagai proyek sektor EBT dengan komitmen total sebesar Rp11,6 triliun, di mana potensi emisi gas rumah kaca (GRK) yang terhindarkan dapat mencapai 6,8 juta ton CO2e," tulis laporan PT SMI dalam dokumen Memimpin Menuju Masa Depan yang Tangguh dan Berkelanjutan.
[caption id="attachment_104132" align="alignnone" width="1979"] Penerbitan Green Bond oleh sejumlah institusi di Indonesia terus meningkat seiring dengan komitmen mendukung pembangunan berkelanjutan. Bank Mandiri, BNI, BRI, dan PT SMI menjadi pemain utama dalam menerbitkan obligasi hijau dengan total emisi mencapai triliunan rupiah.[/caption]
Tidak hanya itu, PT Bank Mandiri (BMRI) juga berkontribusi untuk pendanaan hijau melalui penerbitan green bond senilai Rp 5 triliun pada Juli 2023. Obligasi ini bahkan mencatat kelebihan permintaan (oversubscribed) sebesar 3,7 kali. Senior Vice President ESG Bank Mandiri, Citra Amelya Pane, mengatakan tren pembiayaan hijau semakin maju seiring dengan meningkatnya pemahaman pelaku pasar. “Saat ini green financing pasar Indonesia, 30 persen Bank Mandiri yang biayai," katanya dalam diskusi Green Economy Expo 2024 di Jakarta, Kamis, 4 Juli 2024, lalu.
Melalui berbagai langkah ini, blended finance bisa menjadi solusi strategis untuk menutup kesenjangan pendanaan transisi energi. Dengan dukungan roadmap yang jelas seperti TKBI, kolaborasi internasional melalui forum seperti THK, dan inovasi domestik dari sektor swasta, Indonesia memiliki peluang besar untuk mempercepat transisi energi bersih dan mencapai target net zero emission.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.