Logo
>

Rusia Usulkan Agenda Iklim Sendiri, Tak Mau Ikuti Barat

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Rusia Usulkan Agenda Iklim Sendiri, Tak Mau Ikuti Barat

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Wakil Menteri Energi Rusia, Pavel Sorokin, mengatakan negaranya berencana menjalankan agenda perubahan iklim yang berbeda dari Barat dan siap mengajukan proposal alternatif untuk menanggulangi pemanasan global.

    Pernyataan ini muncul menjelang potensi perdebatan pada Konferensi Iklim COP29 PBB yang akan diadakan pada November mendatang di Azerbaijan.

    Hubungan antara Rusia dan Barat, yang telah memburuk akibat konflik Ukraina, merembet hingga ke persoalan kebijakan mengatasi peribahan iklim. Kedua pihak memiliki pandangan berbeda dalam banyak hal, termasuk dalam penanganan krisis iklim.

    Rusia, sebagai pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia, tengah menyusun strategi energi baru hingga tahun 2050.

    "Strategi energi kami akan mempertimbangkan langkah-langkah terkait iklim yang tidak akan memberikan tekanan besar pada potensi pengembangan kami. Kami juga akan mendorong negara-negara sahabat untuk mengikuti langkah serupa," ujar Sorokin, dikutip dari Reuters, Selasa, 1 Oktober 2024.

    Sorokin menilai efisiensi energi sebagai salah satu solusi penting dalam menangani krisis iklim. Menurutnya, Rusia memiliki potensi penghematan energi yang mencapai 20 hingga 30 persen.

    "Ini adalah cara yang konstruktif untuk mengurangi emisi, tanpa harus menutup semuanya dengan turbin angin dan panel surya," kata Sorokin. "Langkah realistis lainnya adalah dengan memanfaatkan sumber daya bersih yang kami miliki, seperti gas, nuklir, dan tenaga air."

    Rusia secara konsisten menyatakan penggunaan gas alam sejalan dengan tujuan global dalam memerangi perubahan iklim dan menegaskan bahwa gas alam harus tetap menjadi elemen penting dalam konsumsi energi.

    Namun, beberapa ilmuwan iklim memperingatkan peningkatan produksi gas alam, terutama metana, menjadi salah satu pemicu terbesar perubahan iklim. Rencana ekspansi industri ini, menurut mereka, berpotensi menghambat upaya global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

    Tekad Barat Atasi Krisis Iklim

    Di tengah krisis perubahan iklim global, negara-negara Barat telah mengambil langkah-langkah besar untuk mengurangi dampak pemanasan global. Perubahan iklim, secara singkat, adalah pergeseran suhu rata-rata Bumi dan kondisi cuaca yang semakin ekstrem. Sepanjang dekade terakhir, suhu global meningkat sekitar 1,2 derajat Celsius dibandingkan akhir abad ke-19. Bahkan, dari Februari 2023 hingga Januari 2024, suhu global telah meningkat 1,5 derajat Celsius, menjadikan tahun 2023 sebagai tahun terpanas dalam sejarah.

    Lalu, mengapa peningkatan suhu ini dianggap masalah?

    Ini bukan sekadar soal matahari yang lebih terik, melainkan disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran bahan-bahan ini menghasilkan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), yang memerangkap panas di permukaan Bumi dan menyebabkan pemanasan global.

    Dampak dari aktivitas ini jauh lebih besar daripada sekadar membuat manusia merasa lebih panas. Peningkatan suhu ini mengancam kesehatan, memicu kelangkaan pangan, memperburuk cuaca ekstrem, dan bahkan mengancam keanekaragaman hayati.

    Langkah Eropa Atasi Perubahan Iklim

    Salah satu langkah penting yang diambil Eropa adalah penerapan Undang-Undang Iklim Eropa pada Juli 2021. Dilansir dari Youth Europa, Undang-undang ini menetapkan target nol emisi karbon bersih pada tahun 2050. Institusi Uni Eropa dan negara-negara anggotanya wajib mengikuti target ini dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

    Ini merupakan kelanjutan dari deklarasi "darurat iklim" yang diresmikan pada 2019, ketika tokoh muda seperti Greta Thunberg menginspirasi gerakan global. Pada Agustus 2018, Greta memulai aksi "mogok sekolah untuk iklim" di depan parlemen Swedia, dan aksi ini memicu demonstrasi iklim global pada 20 September 2019, yang diikuti oleh 4 juta orang di seluruh dunia.

    Selain itu, pada Desember 2015, Uni Eropa bersama 194 negara menandatangani Kesepakatan Paris, yang berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius. Tiap negara diharapkan untuk mengajukan rencana aksi nasional yang diperbarui secara berkala untuk menangani perubahan iklim. Sebuah alat pemantauan independen, CCPI (Climate Change Performance Index), digunakan untuk melacak kinerja negara-negara dalam menjalankan kesepakatan ini.

    Pandangan Warga Eropa Terhadap Krisis Iklim

    Survei tahun 2023 menunjukkan kesadaran akan perubahan iklim sangat tinggi di Eropa. Sebanyak 93 persen warga Uni Eropa melihat perubahan iklim sebagai masalah serius dan telah mengambil langkah-langkah untuk menanganinya. Sekitar 88 persen dari mereka setuju bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca sangat penting untuk mencapai netralitas iklim Uni Eropa pada tahun 2050.

    Namun, lebih dari separuh responden percaya pemerintah nasional dan Uni Eropa bertanggung jawab untuk menangani krisis iklim. Menariknya, 67 persen merasa pemerintah nasional mereka belum cukup melakukan tindakan.

    Dalam hal solusi energi, warga Eropa lebih memilih memperkenalkan energi terbarukan (29 persen), bantuan keuangan langsung (16 persen), investasi dalam efisiensi energi (15 persen), dan diversifikasi impor bahan bakar fosil (6 persen) sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi dari krisis energi.

    Respons Lokal, Malta dan Aksi Iklim

    Sebagai bagian dari upaya kolektif di Eropa, negara Malta juga terlibat dalam menangani krisis iklim. Pada 30 Januari 2024, anggota parlemen Malta berkumpul untuk membahas pembentukan badan pemerintah di bawah Otoritas Aksi Iklim. Menteri Lingkungan Hidup Malta, Miriam Dalli, menekankan urgensi dari krisis iklim global. “Ketika kita memahami bagaimana fenomena ini perlahan mengubah lingkungan, kita mengerti betapa pentingnya aksi kolektif,” katanya.

    Partai Hijau Malta, yang dikenal sebagai AD+PD, juga aktif dalam mendorong langkah-langkah untuk mengatasi perubahan iklim di tingkat internasional dan lokal. Ketua partai, Sandra Gauci, mengatakan perlu ada tindakan nyata di semua level, baik Eropa, internasional, nasional, maupun lokal.

    Menurut Gauci, Malta perlu mengurangi jumlah mobil di jalan dan lebih mengutamakan infrastruktur multimoda. Dia juga menekankan pentingnya menciptakan ruang hijau di setiap kota dan mengusulkan kebijakan visa iklim untuk memberikan suaka bagi mereka yang terdampak perubahan iklim.

    Melalui gerakan-gerakan lokal ini, Malta dan negara-negara Eropa lainnya terus mendorong upaya nyata dalam mengatasi krisis iklim, meskipun tantangan global masih terus menghadang.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).