KABARBURSA.COM - Bank Sentral China (PBOC) menurunkan suku bunga pada akhir September 2024 lalu. Pemerintah China kemudian memangkas suku bunga pinjaman satu tahun sebesar 20 basis poin dari 3,35 persen menjadi 3,10 persen. Kebijakan moneter yang dilakukan Pemerintah China ini dinilai menjadi katalis positif bagi emiten yang berkutat di sektor energi kendati hanya bersifat sementara.
PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), misalnya, mencatat peningkatan ekspor komoditas batubara ke China. Hingga kuartal I 2024, ADRO mencatat peningkatan ekspor batubara ke China sebesar 15 persen. Sementara per semester I tahun 2024, ekspor batu bara ke negeri Tirai Bambu itu meningkat 18 persen. “Hingga kuartal 1 2024, ekspor penjualan batubara Adaro ke China sebesar 15 persen dan pada semester I 2024 penjualan batubara Adaro ke China naik menjadi 18 persen,” kata Head of Communication Adaro, Febriati Nadira, kepada KabarBursa.com, Senin, 28 Oktober 2024.
Febri mengatakan perseroan akan terus menjaga peluang yang ada seiring kebijakan moneter China yang berupaya meningkatkan likuiditas domestik. ADRO, kata dia, berkomitmen memenuhi permintaan pelanggan dengan kontrak jangka panjang. Ia menambahkan, panduan penjualan ADRO pada 2024 ditargetkan mencapai 65 juta hingga 67 juta ton, terdiri dari 61 juta hingga 62 juta ton batubara termal, dan 4,9 juta hingga 5,4 juta ton batubara metalurgi dari PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR).
Febri menjelaskan perubahan kebijakan di China berpotensi memengaruhi harga komoditas global. Setiap kebijakan baru di China yang memengaruhi permintaan energi dapat menyebabkan fluktuasi harga komoditas, termasuk batubara. Meski begitu, menurut Febri, harga batubara adalah faktor di luar kendali. ADRO pun akan tetap fokus pada aspek yang bisa dikontrol, seperti operasional perusahaan untuk memastikan pencapaian target dan efisiensi biaya.
"ADROjuga terus berupaya mengembangkan dan mendiversifikasi bisnis untuk meningkatkan kontribusi dari bidang non batubara termal dengan terus berperan aktif dalam proyek mineral dan energi terbarukan," kata Febri.
Menanti Durian Runtuh Kebijakan Moneter China
Head of Research PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menyebut kebijakan tersebut dapat menguntungkan Indonesia, yang menjadi salah satu eksportir utama energi ke China. Pada 2023, Indonesia mengekspor sekitar 43 persen batu bara termalnya ke Tiongkok atau mencapai 502,9 juta metrik ton. Ini menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama untuk kebutuhan energi di negara itu.
Sukarno mengatakan kebijakan penurunan suku bunga China bisa berdampak positif bagi Indonesia meski tidak terjadi secara langsung. “(Ini) berpeluang akan meningkatkan permintaan energi, yang nantinya ekspor kita bisa meningkat ke China dari sisi komoditasnya,” kata Sukarno kepada KabarBursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Meski kebijakan pemangkasan suku bunga membuat China tampak lebih prospektif bagi investor asing, Sukarno menilai peralihan dana ke China hanya bersifat sementara. “Dampak outflow sepertinya hanya jangka pendek,” kata dia.
Sukarno menilai, kebijakan pemangkasan suku bunga pinjaman oleh China bertujuan untuk memperbaiki pertumbuhan ekonominya yang tengah melambat. Potensi pemulihan ini bisa menjadi katalis positif bagi pasar modal domestik. Namun, ia juga mengingatkan investor untuk berhati-hati dan mencermati emiten yang memiliki kemitraan dengan pasar China, mengingat berbagai faktor risiko yang bisa mempengaruhi kinerja mereka.
“Investor bisa mencermati emiten yang bermitra dagang ke China seperti emiten basis ekspor komoditas coals (batu bara),” katanya.
Hanya Sementara
Senior Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan pemangkasan suku bunga pinjaman China dilakukan tak lain sebagai langkah stimulus yang diberikan PBOC. Di sisi lain, PBOC juga berupaya mengembalikan gairah likuiditas di bidang kredit.
“Langkah stimulus yang diberikan oleh Bank Sentral Tiongkok untuk menggairahkan likuiditas di bidang kredit, juga mendorong pertumbuhan kredit karena sebenarnya Tiongkok juga menghadapi kendala dalam hal perlambatan pertumbuhan kredit,” kata Nafan saat dihubungi KabarBursa.com, Jumat, 25 Oktober 2024.
Nafan menyebut perlambatan ekonomi China juga terlihat dari sektor properti yang mengalami perlambatan. Ia pun menilai kebijakan stimulus yang diberikan pemerintah China tidak bersifat berkelanjutan. Kebijakan ini hanya sebatas untuk mewujudkan recovery perekonomian domestiknya sebagaimana yang diramal International Monetary Fund (IMF).
“Kalau hemat saya, ini bersifat sementara dan cenderung menarik arus keluar dana (outflow) dari negara-negara emerging markets (pasar negara berkembang) ke pasar Tiongkok. Sekali lagi, ini hanya sementara,” ujarnya.
Ia menambahkan, investor asing biasanya lebih memilih pasar dengan perekonomian stabil, seperti Indonesia. IMF dalam laporan Policy Pivot, Rising Threats memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen pada 2025, yang dianggap sebagai sinyal positif bagi investor.
Di sisi lain, Nafan menyarankan para investor menanti katalis positif bukan hanya dari kinerja laporan keuangan kuartal III emiten, melainkan juga data ekonomi domestik yang hasilnya sesuai atau bahkan di atas ekspektasi. “Itu akan bagus untuk mengarahkan pasar modal kita. Itu juga bisa menantikan terkait bagaimana pergerakannya tukar rupiah mulai mengalami penguatan. Jadi biasanya kalau rupiah menguat ada tanda-tanda terjadi inflow karena pasar obligasi kita juga menguatkan,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.