Logo
>

Airlangga Bicara Soal Dampak Pemilu AS terhadap Perekonomian Indonesia

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Airlangga Bicara Soal Dampak Pemilu AS terhadap Perekonomian Indonesia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sedang memantai perkembangan global, termasuk Pemilu Amerika Serikat (AS) yang hari ini, Selasa, 5 November 2024, akan melakukan pemungutan suara Pemilihan Presiden.

    Kata Airlangga, hasil Pemilu AS akan berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia, juga kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

    Menurut Airlangga, dinamika politik dan ekonomi AS sangat penting, mengingat Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mengandalkan tingkat konsumsi yang kuat dari Eropa, China, dan AS, sebagai salah satu pasar utama.

    Dia mengungkapkan, hingga kini perekonomian dunia belum sepenuhnya pulih ke level pra pandemi COVID-19, di mana pertumbuhan ekonomi global saat itu berada di kisaran 6 persen.

    “Sekarang pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 3 persen, menandakan kondisi global belum stabil,” kata Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 5 November 2024.

    Mengenai anggapan yang menyebutkan hasil Pemilu AS berpotensi dapat merubah kebijakan negara tersebut sehingga mempengaruhi ekonomi global, Airlangga berpendapat, setiap terjadi perubahan kepemimpinan di AS biasanya memunculkan kebijakan baru dan pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Salah satu yang disorot Airlangga adalah menurunnya jumlah kelas menengah di negara Paman Sam tersebut.

    Kata Airlangga, penurunan ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada daya beli masyarakat AS terhadap barang dan jasa dari negara lain, termasuk dari Indonesia.

    “Karena itu, pekerjaan rumah Presiden AS terpilih adalah mengangkat kelas menengah. Bagi Indonesia, penurunan kelas menengah AS akan mengurangi demand terhadap produk-produk Indonesia yang diekspor ke negara itu,” tuturnya.

    Dia juga menyoroti soal kebijakan pemerintah AS saat ini di bawah kepemimpin Presiden Joe Biden, yang berupaya membawa kembali sektor manufaktur dalam negeri, setelah sebelumnya banyak industri yang tersebar di berbagai negara di benua Asia.

    Airlangga menilai, langkah ini diambil AS karena tidak ingin semakin bergantung pada negara-negara Asia, terutama China yang terus memperkuat sektor teknologinya.

    “Mereka (AS) merasa perkembangan teknologi di Asia, terutama China semakin tinggi. Mereka tidak ingin bergantung terhadap negara-negara di Asia,” ucap Airlangga.

    Kebijakan Biden diwujudkan melalui Inflation REduction Act (IRA) yang bertujuan untuk menekan inflasi dan sekaligus membatasi impor komoditas tertentu, khususnya dari China.

    Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini menyatakan, IRA juga berdampak pada ekspor miniral Indonesia, terutama nikel yang menjadi komoditas penting bagi industri kendaraan listrik.

    Untuk mengatasi hambatan ini, pemerintah Indonesia telah melakukan pendekatan diplomatik dengan AS, dengan harapan ekspor produk mineral olahan dari Indonesia bisa tetap berjalan lancar.

    “Makanya mereka keluarkan yang namanya Inflation Reduction Act (IRA) termasuk di dalamnya untuk critical mineral. Nah bagi Indonesia kita sudah mulai berbicara dengan Amerika untuk critical mineral. Karena kita adalah the largest producer dari nikel dan EV ecosystem termasuk anodanya,” jelas Airlangga.

    Lebih lanjut, Airlangga menguraikan bahwa perubahan kepemimpinan di AS juga mempengaruhi harga minyak global, terutama ketika ada ketegangan di Timur Tengah, seperti konflik antara Israel dan Iran. Ia menegaskan bahwa posisi AS dalam konflik-konflik internasional, termasuk di Ukraina dan Israel, akan sangat berdampak pada stabilitas harga energi dunia.

    “Tentu siapa pemimpin (presiden) Amerika Serikat nanti akan sangat berpengaruh terhadap, baik itu perang di Ukraina maupun perang di Israel,” pungkasnya.

    The Fed Bersiapkan Turunkan Suku Bunga lagi

    Selain Pemilu AS, bank sentral As, The Federal Reserve ( The Fed) juga menjadi sorotan minggu ini. Pasar sepenuhnya memperkirakan pemotongan sebesar 25 basis poin (bp), yang akan membawa target suku bunga menjadi 4,50 persen-4,75 persen.

    Pemilu tampaknya tidak akan mempengaruhi keputusan ini. Sebenarnya, jika Fed tidak melakukan pemotongan, terutama setelah pemotongan 50 bp pada pertemuan September 2024, hal ini akan mengejutkan pasar dan mungkin membuat investor bertanya-tanya, apakah Fed membuat kesalahan dengan mengambil langkah “50” pada bulan September?

    Investor juga memperkirakan ada kemungkinan pemotongan 25bp lainnya pada pertemuan Desember (dengan 20 bps pemotongan saat ini sudah dihargakan).

    Meskipun hasil pemilu AS bisa mempengaruhi sentimen pasar, sebagian besar analis tidak memperkirakan adanya perubahan besar dalam keputusan suku bunga dari Fed. Yang menjadi perhatian adalah apakah Fed akan terus melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter yang agresif, atau mulai berhati-hati jika inflasi menunjukkan tanda-tanda peningkatan lebih lanjut.

    Ekonomi AS sendiri menunjukkan ketahanan yang solid, meskipun ada tantangan. Data terbaru menunjukkan bahwa inflasi AS mereda menjadi 2,4 persen pada September, setelah sebelumnya 2,5 persen pada Agustus.

    Ini adalah level inflasi terendah sejak awal 2021, meskipun inflasi inti sedikit meningkat menjadi 3,3 persen. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, PDB AS tumbuh sebesar 2,8 persen pada kuartal ketiga, meskipun sedikit lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 3,1 persen.

    Namun, angka lapangan kerja pada Oktober menunjukkan pertumbuhan yang sangat rendah, dengan hanya 12.000 pekerjaan yang tercipta, jauh dari ekspektasi pasar yang mengantisipasi 113.000 pekerjaan baru. Meskipun begitu, angka ini dipengaruhi oleh cuaca buruk dan pemogokan, sehingga banyak analis menganggapnya sebagai fenomena sementara yang tidak akan mempengaruhi kebijakan Fed secara signifikan.

    Sementara itu, meskipun dolar AS (USD) telah bergerak fluktuatif sepanjang tahun 2023, dalam jangka panjang arah pergerakan USD masih belum jelas. Dari sudut pandang teknikal, USD sedang berada di tengah kisaran perdagangan antara 100,82 dan 107,35, dengan pergerakan harga yang terlihat cukup stagnan. Namun, ada potensi untuk pelemahan lebih lanjut pada USD jika hasil pemilu atau keputusan Fed tidak sesuai harapan pasar.

    Pada kerangka waktu harian, USD baru-baru ini diperdagangkan di bawah rata-rata bergerak 200-hari, sebuah indikator yang menunjukkan potensi pelemahan lebih lanjut menuju level dukungan di sekitar 102,78. Jika ada ketidakpastian besar pasca-pemilu, seperti penghitungan ulang suara atau litigasi, volatilitas pasar dapat meningkat dan mempengaruhi lebih lanjut pergerakan dolar. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.