KABARBURSA.COM – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah semakin memicu kekhawatiran pelaku pasar global, dengan potensi skenario terburuk yang bisa menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 6.000–6.200.
Bahkan ancaman blokade Selat Hormuz oleh Iran disebut-sebut menjadi risiko terbesar yang dapat mengguncang pasar energi, mempercepat inflasi global, dan menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang resesi.
Analis pasar modal dari Traderindo Wahyu Laksono, memperingatkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Iran-Israel memperburuk situasi dan membuat investor semakin menghindari aset-aset berisiko seperti saham.
“Kalau situasi memburuk, IHSG bisa jatuh ke kisaran 6.000–6.200,” ujar Wahyu dikutip Selasa, 24 Juni 2025.
Skenario terburuk, menurutnya, bukan hanya akan menekan indeks saham secara teknikal, tetapi juga menciptakan tekanan sistemik terhadap stabilitas keuangan Indonesia.
Jika Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz, jalur utama pengiriman minyak dunia, harga minyak mentah global dapat melesat hingga menembus 100 dolar AS per barel. Imbasnya, inflasi dunia akan melonjak, mendorong bank sentral di berbagai negara untuk kembali menaikkan suku bunga secara agresif.
“Penutupan Selat Hormuz sangat berisiko bagi semua pihak, termasuk Iran sendiri,” kata Wahyu.
Selain dampak pada energi, disrupsi rantai pasok global juga menjadi ancaman nyata. Konflik yang meluas akan meningkatkan biaya logistik dan menekan sektor manufaktur di berbagai negara. Tekanan terhadap harga barang-barang impor juga akan menambah beban inflasi domestik, terlebih bagi negara net importir seperti Indonesia.
Risiko Larinya Modal Asing
Wahyu juga menyoroti potensi pelarian modal asing dalam skala besar jika situasi tak kunjung mereda. Investor global akan mengalihkan dananya ke aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS, dan meninggalkan pasar negara berkembang.
“Keterlibatan AS memperparah ketidakpastian global, memicu aksi jual oleh investor yang cenderung risk-off,” jelasnya.
Sentimen negatif ini tercermin dalam kinerja IHSG pada perdagangan Senin, 23 Juni 2025. IHSG dibuka langsung tertekan lebih dari 2 persen dan ditutup melemah 124,05 poin atau 1,8 persen ke level 6.783,09. Tekanan jual mendominasi sejak awal perdagangan, seiring pasar merespons peningkatan eskalasi konflik.
“IHSG kembali tertekan. Sepertinya isu geopolitik menjadi bagian fundamental utama penekannya,” ujar Wahyu.
Selain tekanan dari sisi geopolitik, konflik ini juga memicu kekhawatiran akan lonjakan inflasi dan perlambatan ekonomi global.
Jika harga minyak dunia terus naik akibat gangguan pasokan, bank sentral, termasuk The Fed, diperkirakan akan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi atau bahkan menaikkannya kembali. Hal ini dapat menekan profitabilitas korporasi serta mempersempit ruang ekspansi usaha.
Wahyu memprediksi sektor teknologi dan barang konsumen siklikal akan menjadi yang paling terdampak dalam skenario ini, sedangkan sektor energi dan komoditas seperti batu bara dan CPO berpotensi menjadi penopang pasar di tengah naiknya harga global.
“Sektor energi dan komoditas bisa jadi primadona jika harga terus naik,” katanya.
Rupiah Semakin Terpukul
Dari sisi nilai tukar, Rupiah juga diperkirakan akan mengalami tekanan karena investor cenderung menghindari risiko di pasar negara berkembang. Pelemahan Rupiah akan memukul perusahaan-perusahaan dengan eksposur utang valas atau impor bahan baku.
Di tengah tekanan ini, pelaku pasar juga mencermati rilis data ekonomi Amerika Serikat seperti inflasi PCE dan estimasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025, serta pidato Jerome Powell sebagai petunjuk arah kebijakan moneter The Fed.
Meskipun saat ini situasi masih dalam batas rasional, Wahyu menilai eskalasi konflik tetap harus diwaspadai dengan serius oleh pelaku pasar.
“Sementara ini semua masih dalam kondisi rasional dan masih terukur,” kata dia.
Pemerintah Indonesia dan otoritas pasar keuangan diharapkan terus memantau perkembangan situasi serta mengambil langkah mitigasi yang diperlukan untuk menjaga stabilitas pasar.
Namun jika konflik berlanjut dan melibatkan kekuatan besar lain seperti Rusia atau China, dampaknya diperkirakan akan jauh lebih luas dan berpotensi menciptakan krisis global yang lebih dalam.(*)