KABARBURSA.COM - Dalam beberapa bulan terakhir, pasar keuangan global telah menunjukkan bagaimana ketidakpastian politik dan kebijakan ekonomi dapat memicu volatilitas dan respons berlebihan terhadap perubahan dinamika ekonomi. Salah satu contohnya adalah pergerakan dolar AS, yang terus menjadi pusat perhatian dalam diskusi pasar global.
Dolar AS saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari ketidakpastian pemilu AS hingga kebijakan moneter yang fluktuatif di berbagai negara maju.
Pada awalnya, dolar AS sempat melemah di tengah spekulasi bahwa kemenangan Donald Trump dalam pemilu 2024 akan membawa perubahan besar pada kebijakan ekonomi AS.
Kampanye Trump yang menekankan penurunan nilai dolar dan revitalisasi industri domestik, sempat menurunkan kepercayaan pasar terhadap mata uang ini. Trump dan calon wakil presiden JD Vance, mengusulkan bahwa depresiasi dolar akan mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan.
Namun, seiring mendekatnya pemilu dan meningkatnya ketidakpastian politik, narasi di pasar pun berubah. Kemenangan Trump justru dipandang sebagai potensi pendorong penguatan dolar melalui tiga dampak ekonomi utama: penumpukan utang lebih besar, peningkatan suku bunga, dan lonjakan tarif perdagangan internasional.
Kebijakan Trump yang berfokus pada reshoring produksi AS dan pengetatan peraturan perdagangan, terutama terhadap Eropa dan Jepang, diperkirakan akan meningkatkan permintaan terhadap dolar dan memperkuat posisinya di pasar global.
Kenaikan Suku Bunga dan Tekanan Inflasi
Tidak hanya pemilu AS yang mempengaruhi pasar. Kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) juga menjadi faktor kunci yang membentuk kinerja dolar AS. Setelah menaikkan suku bunga secara agresif hingga puncaknya pada Juli 2023, The Fed mulai menurunkan suku bunga secara bertahap.
Pada akhir tahun 2024, diperkirakan akan ada penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin, yang mencerminkan upaya The Fed untuk merespons pertumbuhan ekonomi AS yang masih kuat (2,8 persen pada kuartal ketiga 2023) namun dengan inflasi yang sudah terkendali.
Dengan penurunan inflasi yang signifikan, terutama diukur melalui PCE deflator yang turun dari 7,2 persen pada Juni 2022 menjadi 2,1 persen pada September 2024, kebijakan moneter yang diterapkan saat ini tampak lebih ketat daripada yang diperkirakan.
Meski begitu, tingkat suku bunga yang relatif tinggi masih mendorong investor global untuk mencari keuntungan lebih besar di pasar AS, sehingga mendukung penguatan dolar.
Selain faktor domestik, perkembangan ekonomi global turut memengaruhi pergerakan dolar AS. Di Cina, berbagai upaya untuk menstabilkan pasar properti dan ekuitas serta memperkuat keuangan pemerintah lokal terus dilakukan.
Meski konsumsi Cina telah meningkat pesat dalam satu dekade terakhir, banyak ekonom Barat masih mengkritik ketergantungan Cina pada ekspor. Namun, pada kenyataannya, ekspor Cina sebagai persentase dari PDB-nya tidak berbeda jauh dengan negara-negara maju lainnya seperti Jerman dan Jepang.
Di sisi lain, bank sentral di banyak negara G10 mulai melonggarkan kebijakan moneter seiring dengan penurunan tekanan inflasi global. Bank Sentral Eropa (ECB), misalnya, telah memangkas suku bunga pada pertemuan berturut-turut, dan spekulasi tentang pemotongan lebih lanjut terus meningkat.
Begitu pula dengan Inggris, Kanada, dan Selandia Baru yang mulai menurunkan suku bunga mereka sebagai respons terhadap perlambatan inflasi.
Namun, meski kebijakan moneter di negara-negara ini melonggar, dolar AS tetap menguat. Salah satu alasannya adalah suku bunga AS yang masih relatif lebih tinggi, menarik arus modal dari investor global yang mencari imbal hasil lebih tinggi.
Selain itu, ketidakpastian terkait dampak dari kebijakan fiskal AS, terutama dalam hal peningkatan utang dan defisit, membuat pasar mengharapkan suku bunga yang tetap tinggi di masa depan.
Walau begitu, berbagai faktor global berperan, dolar AS tetap mempertahankan kekuatannya sebagai mata uang cadangan dunia. Pemilu AS yang semakin mendekat, serta ketidakpastian mengenai arah kebijakan ekonomi setelahnya, dapat mendorong fluktuasi lebih lanjut dalam nilai dolar.
Namun, dengan suku bunga yang tetap tinggi dan tekanan inflasi yang terkendali, dolar AS saat ini berada pada posisi yang kuat.
Menguat Karena Kebijakan The Fed
Pada bulan kemarin, dolar AS terus menguat didorong oleh meningkatnya suku bunga AS dan ekspektasi pasar terkait kebijakan Federal Reserve (Fed).
Kenaikan suku bunga ini, dipicu oleh berbagai faktor termasuk laporan tenaga kerja yang kuat dan kekhawatiran mengenai peningkatan defisit serta utang negara, memperpanjang penguatan dolar yang dimulai sejak akhir September.
Namun, apa yang sebenarnya mendasari penguatan dolar ini, dan bagaimana hal ini mempengaruhi pasar global?
Selama Oktober, dolar AS mendapatkan dorongan signifikan dari kenaikan suku bunga. Suku bunga jangka pendek, khususnya obligasi AS bertenor dua tahun, melonjak lebih dari 60 basis poin sejak pertemuan FOMC terakhir.
Peningkatan ini tidak hanya didorong oleh ekspektasi bahwa Federal Reserve akan terus memangkas suku bunga di November dan mungkin Desember, tetapi juga oleh kekhawatiran pasar mengenai pasokan obligasi AS yang lebih besar di masa depan.
Dengan defisit anggaran yang terus membengkak dan potensi utang yang terus meningkat, para pelaku pasar melihat peluang inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada suku bunga untuk tetap tinggi.
Meski ekonomi AS menunjukkan pertumbuhan yang masih kuat, langkah Fed untuk memangkas suku bunga bertujuan untuk menyeimbangkan kebijakan moneter di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik.
Meskipun ada keraguan di pasar mengenai arah kebijakan Desember, pasar derivatif memperkirakan sekitar 80 persen kemungkinan adanya pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
Pemilu AS yang semakin dekat juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi pergerakan dolar. Ketidakpastian mengenai hasil pemilu, terutama dengan persaingan ketat antara kandidat, membuat pasar modal global bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebuah kemenangan Donald Trump, meskipun tidak akan mengejutkan seperti di tahun 2016, akan menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan pemberlakuan tarif besar-besaran, yang bisa berdampak pada perdagangan global. Sementara itu, kemenangan Kamala Harris mungkin dipandang lebih stabil bagi ekonomi global, yang berpotensi meningkatkan sentimen risiko di pasar.
Mata Uang Global Tertekan oleh Kekuatan Dolar
Indeks Mata Uang Dunia Bannockburn (BWCI), yang mengukur kinerja mata uang dari 12 ekonomi terbesar dunia, mencerminkan dampak dari penguatan dolar AS ini. Selama lima minggu berturut-turut di bulan Oktober, semua mata uang asing yang ada dalam indeks mengalami penurunan.
Mata uang dari negara-negara G10, yang mencakup ekonomi besar seperti Eropa dan Jepang, menunjukkan performa yang lebih lemah dibandingkan dengan mata uang pasar berkembang.
Euro, meskipun turun 2,25 persen pada bulan Oktober, tetap menjadi mata uang G10 dengan performa terbaik. Sebaliknya, yen Jepang menjadi yang terburuk dengan penurunan sebesar 5,55 persen.
Rata-rata mata uang G10 turun sekitar 3,8 persen, sedangkan rata-rata mata uang pasar berkembang dalam BWCI turun sekitar 3 persen. Menariknya, rupee India menjadi pemain terbaik, hanya turun sekitar 0,35 persen, diikuti oleh yuan Tiongkok yang turun 1,4 persen. Peso Meksiko juga menunjukkan ketahanan yang relatif baik, turun sekitar 1,75 persen.
Kenaikan suku bunga AS tidak hanya mempengaruhi pasar mata uang, tetapi juga memiliki dampak lebih luas pada ekonomi global. Dalam situasi ini, mata uang negara-negara berkembang dan maju terpukul oleh dolar yang kuat, yang bisa menambah tekanan pada pertumbuhan ekonomi mereka.
Sementara itu, kebijakan Federal Reserve yang hati-hati serta perkembangan politik di AS akan terus mempengaruhi arah pasar dalam beberapa bulan mendatang.
Dengan latar belakang yang penuh ketidakpastian ini, investor global tetap waspada terhadap potensi pergerakan besar dalam pasar mata uang, obligasi, dan saham. Suku bunga, kebijakan moneter, dan hasil pemilu AS akan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi arah dolar AS dan stabilitas ekonomi global di masa depan.(*)