KABARBURSA.COM - Di tengah tekanan global yang belum juga reda, Bank Indonesia (BI) menggelontorkan ratusan triliun rupiah ke sistem perbankan. Bukan tanpa alasan, langkah ini diambil untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional yang dikhawatirkan tersendat.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa bank sentral kini mengandalkan pelonggaran kebijakan makroprudensial sebagai tumpuan utama. Lewat skema insentif likuiditas, BI berharap bank-bank lebih leluasa menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas.
“Insentif likuiditas makroprudensial ditingkatkan dari paling besar 4 persen menjadi sampai dengan 5 persen dari dana pihak ketiga. Hingga minggu ke-2 April 2025 Bank Indonesia telah memberikan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial dengan jumlah sebesar Rp370,6 triliun. Jumlah itu meningkat sebesar Rp78,3 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 yang sebesar Rp292,3 triliun,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Kamis, 24 April 2025.
Salah satu fokus utama pelonggaran ini adalah sektor perumahan, yang menurut BI perlu dorongan ekstra. Namun, kebijakan ini juga sekaligus membuka pertanyaan: apakah dorongan moneter saja cukup ketika problem struktural di sektor perumahan masih menumpuk?
“Khusus sektor perumahan, insentif kebijakan likuiditas makroprudensial meningkat sebesar Rp84 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 seiring dengan implementasi penguatan kebijakan likuiditas makroprudensial pada 1 April 2025,” jelas Perry.
Insentif yang diberikan BI disebar ke berbagai kelompok bank: bank BUMN menerima Rp161,7 triliun, bank swasta nasional Rp167,4 triliun, Bank Pembangunan Daerah Rp35,7 triliun, dan bank asing Rp5,8 triliun. Tapi publik patut bertanya: bagaimana efektivitas distribusi ini dalam mendorong ekonomi riil?
Sektor yang jadi target antara lain pertanian, real estate, perdagangan, manufaktur, transportasi, ekonomi kreatif, hingga UMKM ultra mikro. Tapi tak sedikit yang menilai kebijakan ini belum cukup menjawab persoalan ketimpangan distribusi kredit dan pembiayaan yang masih timpang di lapangan.
Dari sisi aturan, BI juga melonggarkan sejumlah rasio penting. Pendekatannya sangat permisif, dengan rasio penyangga modal 0 persen, uang muka properti dan kendaraan bermotor 0 persen, hingga kelonggaran intermediasi kredit.
“Kedua, di bidang kebijakan makroprudensial Bank Indonesia juga mempertahankan rasio countercyclical capital buffer sebesar 0 persen, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84–94 persen, rasio loan to value financing to value ratio atau yang sering disebut kebijakan uang muka, kredit pembiayaan properti yaitu tetap uang mukanya 0 persen, dan uang muka kredit pembiayaan kendaraan bermotor 0 persen,” papar Perry.
“Pemberlakunya diperpanjang efektif 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2025 dan pada waktunya kami akan tetap review terus,” imbuhnya.
Kelonggaran ini diperkuat dengan rasio penyangga likuiditas (PLM) tetap di angka 5 persen, serta versi syariahnya di angka 3,5 persen. Fleksibilitas diberikan lewat mekanisme repo dan RIPO.
BI juga mulai melirik pendanaan dari luar negeri sebagai alternatif sumber likuiditas. Tapi ini juga mengandung risiko baru, terutama di tengah volatilitas global dan ketergantungan terhadap modal asing.
“Dengan implementasi kebijakan ini, pendanaan perbankan dapat diperluas tidak hanya pada dana pihak ketiga, tetapi juga sumber-sumber lain termasuk penerbitan sekuritas maupun dari pinjaman luar negeri,” kata Perry.
Tak berhenti di sana, BI turut memperluas transparansi data suku bunga kredit dasar (SPDK) berdasarkan sektor prioritas. Namun, sejauh mana kebijakan ini berdampak langsung pada penurunan suku bunga kredit bagi pelaku usaha kecil, masih belum terlihat jelas.
Di bidang sistem pembayaran, BI juga terus mendorong digitalisasi. Salah satu gebrakannya adalah peluncuran QRIS Tap yang diklaim akan memudahkan transaksi digital. Tapi tetap saja, keberhasilan digitalisasi belum tentu menyentuh sektor informal yang minim akses teknologi.
“Dalam mendukung layanan publik dan transaksi retail secara digital, Bank Indonesia meluncurkan QRIS tanpa pindai, QRIS Tap pada 14 Maret 2025 sebagai perluasan alternatif pembayaran yang cepat mudah murah aman dan andal bagi masyarakat,” terang Perry.
Jumlah Instrumen Penyerap
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa kecenderungan kebijakan moneter BI selama lebih dari dua dekade terakhir memang lebih banyak didominasi oleh pendekatan yang menyerap likuiditas.
Ia menilai bahwa hal ini tercermin dari nilai neto operasi moneter yang terus bersifat absorptif, serta jumlah instrumen penyerap yang lebih banyak dibandingkan dengan yang bersifat injeksi.
"Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi," terang dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 16 April 2025.
Ia mencatat bahwa tren tersebut tidak hanya terjadi dalam jangka panjang, tetapi juga semakin menguat dalam lima tahun terakhir. Pada akhir 2019, posisi operasi moneter yang menyerap likuiditas tercatat sebesar Rp297,49 triliun.
Namun angka ini melonjak hampir tiga kali lipat menjadi Rp945,56 triliun di akhir 2024. Hingga 31 Maret 2025, posisinya tetap tinggi, yakni Rp922,58 triliun.
"Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp922,58 triliun per 31 Maret 2025," tambahnya.
Dia mengatakan sejumlah instrumen moneter yang dulu digunakan kini tidak lagi beroperasi atau memiliki nilai yang sangat kecil. Di sisi lain, instrumen seperti SRBI justru tumbuh menjadi tumpuan utama kebijakan moneter BI. Popularitas SRBI pun meningkat, bahkan berhasil menarik minat investor asing yang kini menguasai sekitar 25 persen dari total kepemilikan.
SRBI sendiri merupakan surat berharga jangka pendek berdenominasi rupiah yang diterbitkan BI dengan underlying asset berupa surat berharga milik BI. Saat ini SRBI beredar dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan.
Namun, meskipun SRBI dinilai cukup efektif dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Awalil menilai ada risiko jika BI terlalu bertumpu pada strategi absorpsi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan moneter seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya stabilisasi, tetapi juga harus mampu menjadi motor penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan menginjeksi likuiditas sangat penting dijaga agar fungsi moneter tetap relevan dalam menjawab tantangan perekonomian ke depan.
Ia menyebut bahwa BI perlu mengkaji ulang orientasi kebijakan yang terlalu menekankan pada stabilitas, agar tidak mengorbankan peluang untuk memperkuat sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.
“Bank Indonesia semestinya tetap menjaga keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan yang menginjeksi likuiditas, agar fungsi moneter tidak hanya stabilisasi, tapi juga mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi,” terangnya Awalil.(*)