KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan paling lambat lima tahun mendatang. Hal itu ia tegaskan dalam pidatonya usai mengikuti prosesi pengambilan sumpah jabatan sebagai presiden periode 2024-2029 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai swasembada pangan yang ditargetkan Prabowo dapat diwujudkan dalam waktu lima tahun dengan catatan bauran kebijakan bisa segera dibenahi. Pasalnya, kata Eliza, kebijakan pemerintah saat ini masih berfokus pada peningkatan produksi.
“Dalam lima tahun bisa saja tercapai swasembada asal bauran kebijakannya dibenahi, tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi saja melainkan juga ke kesejahteraan petaninya,” kata Eliza saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 21 Oktober 2024.
Beberapa program pemerintah dinilai tidak langsung menyejahterakan petani namun menelan anggaran yang sangat besar. Menurut Eliza, program semacam ini sebaiknya diarahkan kepada hal-hal yang menunjang peningkatan produktivitas padi petani melalui pembangunan infrastruktur, seperti irigasi, Rice Milling Unit (RMU), jalan usaha tani, hingga teknologi untuk mekanisasi pertanian.
Ihwal swasembada pangan, Eliza mengacu pada mengacu pada definisi Food Agriculture Organization (FAO), di mana suatu negara dapat dikatakan swasembada jika produksi dalam negeri dapat memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Jika mengacu pada definisi tersebut, beberapa komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, cabai, bawang merah, ayam, dan telur berada dalam kondisi swasembada.
Akan tetapi, kondisi ini tidak dapat dipastikan keberlanjutannya. Pasalnya, kata Eliza, saat ini tingkat produktivitas beberapa tanaman seperti padi terus mengalami penurunan. Sementara demand masyarakat, kata dia, terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. “Jika penurunan produktivitas terus terjadi, sementara demand terus meningkat, tentu hal ini akan memperbesar porsi impor yang dapat menjadikan Indonesia tak lagi swasembada,” ungkapnya.
Di sisi lain, komoditas seperti kedelai hingga saat ini telah mencapai angka 90 persen berasal dari impor. Kedelai sendiri, sulit mencapai swasembada karena dianggap tidak ada keseriusan pemerintah dalam pengembangan kedelai. “kedelai kita kalah dari segi kualitas dan harga dibandingkan kedelai dari Argentina dan Brazil,” ujarnya.
Begitu juga dengan nasib bawang putih, yang diketahui lebih 95 persen berasal dari impor. Selain itu, daging sapi dan kerbau 54 persen adalah impor. Pun gula pasir hampir 60 persen kebutuhan dipenuhi dari impor. Eliza mengatakan ketergantungan impor pada komoditas tersebut terjadi akibat rendahnya produktivitas lantaran penerapan teknologi yang terjadi missing middle. Kondisi ini merupakan kesenjangan inovasi di tingkat penelitian dan penerapan praktis di lapangan serta kurangnya infrastruktur yang memadai.
Eliza mengungkapkan kondisi pangan Indonesia akan tetap dalam keadaan carut-marut seandainya paradigma pembangunan yang diterapkan pemerintah saat ini masih sama dengan kepemimpinan terdahulu. Dia mengatakan kepemimpinan Prabowo Subianto mesti mengubah orientasi dan arah kebijakan pangan dalam menetapkan regulasi.
“Pemerintah harus reorientasi arah kebijakan pangan, ini bermula dari paradigmanya. Karena bagaimanapun paradigma ini akan menentukan pilihan-pilihan kebijakan,” katanya.
Eliza menuturkan, kebijakan belanja pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) di sektor pertanian lebih banyak untuk belanja barang habis pakai. Sementara belanja pegawai Kementan sebesar 15 persen, belanja barang (habis pakai) 81 persen, sedangkan belanja modal (infrastruktur dasar) hanya 4 persen.
Eliza menilai, bantuan-bantuan yang digelontorkan pemerintah dengan sifat personal seperti pompa, benih, traktor terasa percuma jika tidak didukung infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan usaha, cold storage dan kebijakan harga. Sementara belanja dana alokasi khusus (DAK) fisik pada 2024 untuk irigasi hanya sekitar Rp1,68 triliun seluruh Indonesia.
“Sudah pasti nggak cukup untuk merevitalisasi kondisi irigasi yang sudah rusak secara sistemik akibat lamanya pembiaran. Pemerintah perlu memprioritaskan belanjanya untuk membangun infrastruktur pertanian secara serius,” kata dia.
Sementara itu, Eliza menyebut ada beberapa pos belanja yang dilakukan dengan minim efektivitas, seperti DAK fisik untuk jalan tematik food estate yang menelan Rp1,1 triliun. Menurutnya, DAK fisik ini mestinya bisa diprioritaskan untuk irigasi se-Indonesia. Ia pun menilai pembiayaan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini kurang memadai. Ini yang menjadi penyebab kurang produktifnya sektor pertanian, ditambah lagi infrastruktur dasarnya yang tidak memadai.
Selain itu, dari sisi penggunaan benih dengan kualitas high yielding, climate resilience, dan pest resilience juga dinilai masih kurang optimal. Menurut Eliza, hal tersebut mengganggu produktivitas petani dalam negeri relatif rendah. “Ini terjadi karena kurangnya ekosistem inovasi riset yang memadai sehingga ada gap antara yang melakukan R&D dan petani di lapangan. Para petani kita masih banyak yang menggunakan benih atau bibit yang sudah lama dan produktivitasnya yang relatif rendah,” ungkapnya.
Sayangnya, dari sisi regulasi belum ada yang mengatur kolaborasi riset dan memasifkan produk riset untuk dapat diterapkan secara luas oleh para petani dalam negeri. Pada titik tertentu, kata Eliza, belanja pemerintah yang berkutat pada bantuan personal sangat rentan terjadi penyelewengan dan mark up yang berujung pada inefisiensi.
Eliza menegaskan pilihan kebijakan mestinya tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, melainkan juga perlu memperhatikan peningkatan kesejahteraan para petani. Apalagi petani menjadi ujung tombak peningkatan produksi pangan dalam negeri.
“Kalau pemerintah banyak melibatkan korporasi ini petani akan tetap jadi buruh di negeri sendiri. Selain itu, korporasi ini pun dikhawatirkan memonopoli pangan yang dapat mematikan pengusaha kecil. Selain itu juga pemerintah semakin sulit melakukan intervensi harga jika dimonopoli perusahaan besar,” tegasnya.
Eliza lantas menilai jika nanti pemerintah kembali menggarap food estate, proyek itu akan kembali menuai kegagalan jika penerapannya masih tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Hal itu terbukti dari era pemerintahan sebelumnya, terhitung sejak kepemimpinan Presiden ke-2 Soeharto food estate Proyek Lahan Gambut (PLG), Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Ketapang dan Bulungan, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) melalui program MIFEE dan food estate di Kalimantan Tengah dan Humbang Hasundutan.
“Pemerintah semestinya menjalankan program yang sesuai kaidah ilmiah dan jelas penyusunan teknisnya sesuai kajian. Jangan banyak trial and error karena kapasitas fiskal kita terbatas. Maka harus bijak dalam membelanjakan untuk menjalankan program,” katanya.
Utopia Swasembada Pangan Era Jokowi
Selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), Indonesia masih kesulitan mencapai swasembada pangan. Alih-alih mengurangi ketergantungan, impor pangan justru semakin meningkat. Pertanyaannya, bagaimana masa depan produksi dan impor pangan Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan?
Beras dan gula konsumsi menjadi fokus utama upaya swasembada. Pada Januari 2015, hanya tiga bulan setelah menjabat, Jokowi menyatakan keyakinannya bahwa swasembada beras bisa terwujud dalam 2-3 tahun, yaitu antara 2017 atau 2018.
Namun, harapan itu tak sepenuhnya tercapai. Indonesia malah mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton pada 2016 dan 2,2 juta ton di 2018. Sementara pada 2017 dan 2019, impor lebih terbatas untuk beras khusus yang digunakan di hotel, restoran, dan kafe dengan volume sekitar 300.000 hingga 450.000 ton. Tren serupa berlanjut pada 2020-2023 dengan impor beras khusus berkisar antara 350.000 sampai 430.000 ton.
Pada 2022, pemerintah mengklaim kesuksesan swasembada beras lewat penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). Penghargaan itu mengakui keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada beras antara 2019-2021 berkat penerapan teknologi pertanian yang inovatif. Meski begitu, kenyataan di lapangan berubah pada 2023 dan 2024 ketika produksi beras menurun drastis akibat dampak El Nino.
Akibatnya, impor beras melonjak, dengan kuota impor tahun 2023 mencapai 3,5 juta ton dan realisasi 3,06 juta ton. Pada 2024, kuota impor dinaikkan menjadi 3,6 juta ton, dengan realisasi hingga Mei 2024 sebanyak 2,2 juta ton.
Kondisi berbeda terjadi pada gula konsumsi. Target swasembada minimal untuk mencukupi kebutuhan bulanan sebanyak 2,8 juta ton tak pernah tercapai dari 2014 hingga 2024. Produksi gula nasional hanya berkisar 2,1 juta hingga 2,3 juta ton per tahun, masih kurang 500.000 hingga 700.000 ton untuk mencapai target. Akibat kegagalan mencapai swasembada gula konsumsi, pemerintah sampai dua kali mengubah target. Awalnya, target swasembada dipasang untuk 2018, lalu diundur ke 2023, dan kini diproyeksikan pada 2028.
Belum lagi bicara tentang gula rafinasi yang dibutuhkan industri. Kebutuhan gula rafinasi Indonesia mencapai 3,2 juta hingga 3,4 juta ton per tahun, yang dipenuhi dengan impor gula mentah sekitar 3,4 juta hingga 3,6 juta ton per tahun.
Selain beras dan gula, Indonesia juga mengimpor berbagai bahan pangan lainnya, seperti gandum, kedelai, dan bawang putih. Dalam lima tahun terakhir, impor gandum berkisar antara 9 juta hingga 11 juta ton, kedelai mencapai 2,1 juta hingga 2,6 juta ton, dan bawang putih sebanyak 470.000 hingga 650.000 ton.(*)