KABARBURSA.COM - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyarankan agar Indonesia menerapkan pajak kekayaan sebagai langkah untuk mendanai berbagai program sosial seperti penyediaan makan siang gratis dan beasiswa bagi kalangan yang membutuhkan.
Dalam laporan bertajuk Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin, Celios memaparkan data dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, yang menyoroti adanya ketimpangan besar antara kaum kaya dan masyarakat kurang mampu.
Celios mencatat harta 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta warga lainnya. Oleh karena itu, penerapan pajak kekayaan diusulkan untuk mengurangi ketimpangan ini agar tidak semakin parah.
Menurut studi Celios, pajak kekayaan bisa memberikan sumbangan besar bagi pembiayaan program pembangunan. Pajak dari 50 orang terkaya saja diperkirakan bisa menghasilkan Rp81,6 triliun per tahun. Dana tersebut cukup untuk membiayai berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti memberi makan siang gratis kepada 15 juta masyarakat sepanjang tahun dengan asumsi harga Rp15.000 per paket makan.
Selain itu, dana dari pajak kekayaan ini bisa digunakan untuk membangun 339 ribu rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, membiayai lebih dari 558 juta paket bantuan beras dengan asumsi 10 liter per paket, serta membangun lebih dari 4 juta rumah susun bagi masyarakat miskin.
Pajak kekayaan sebesar 2 persen dari harta 50 orang terkaya juga berpotensi membiayai kuliah 18,5 juta mahasiswa per tahun, membangun 877 pusat pelayanan kesehatan jiwa, serta masih banyak lagi program lainnya yang bisa didanai.
Director of Fiscal Justice Celios, Media Wahyudi Askar, menyebut meskipun ekonomi Indonesia telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir, ketimpangan ekonomi semakin melebar. Ia menekankan pentingnya memastikan manfaat pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Fokus yang berlebihan pada angka-angka makroekonomi seringkali melupakan makna pembangunan yang sebenarnya, yaitu agar pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat," ujar Media Wahyudi dalam laporan Celios yang dirilis pada Kamis, 26 September 2024.
Tiga Pendekatan Pajak Kekayaan
Dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) berjudul *How to Tax Wealth (2024)*, terdapat tiga pendekatan umum dalam penerapan pajak kekayaan. Pajak tersebut bisa dikenakan berdasarkan nilai harta (pajak progresif), dari transfer kekayaan seperti warisan, atau dari tarif aset-aset seperti saham.
IMF mencatat, pajak kekayaan sudah diterapkan di berbagai negara, khususnya di Eropa dan Amerika Latin. Negara-negara seperti Norwegia, Belanda, Spanyol, Argentina, Bolivia, dan Venezuela memiliki kebijakan pajak kekayaan, meskipun dengan dasar perhitungan yang berbeda-beda.
Di Indonesia, sebenarnya sudah ada jenis pajak yang berkaitan dengan kekayaan, meski tidak murni berdasarkan nilai harta. Contohnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Kendaraan Bermotor. Namun, pajak ini berlaku untuk semua masyarakat, bukan hanya untuk kalangan super kaya.
Pajak khusus bagi mereka yang berpenghasilan tinggi di Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dengan tarif progresif 35 persen bagi penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ketimpangan Ekonomi di Indonesia Menurun
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat ketimpangan di Indonesia, yang diukur melalui rasio gini, menunjukkan penurunan. Pada Maret 2024, rasio gini tercatat sebesar 0,379, lebih rendah dibandingkan Maret 2023 yang mencapai 0,388. Penurunan ini membawa kabar positif di tengah situasi ekonomi global yang belum stabil.
Plt Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, menjelaskan angka rasio gini ini menjadi yang terendah sejak September 2017 hingga Maret 2024. "Tingkat ketimpangan yang diukur menggunakan rasio gini pada Maret 2024 sebesar 0,379, menurun dibandingkan Maret tahun sebelumnya," kata Imam di Jakarta, Senin, 8 Juli 2024, lalu.
Selama pandemi Covid-19, rasio gini sempat mengalami fluktuasi dan mencapai puncaknya pada 0,388 di Maret 2023. Penurunan rasio ini menandakan adanya perbaikan dalam pengeluaran masyarakat Indonesia, dengan ketimpangan yang terus berkurang sekitar 0,027 poin dalam 10 tahun terakhir.
Rasio gini di perkotaan tercatat lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Pada Maret 2024, rasio gini di perkotaan sebesar 0,399, turun 0,01 poin dari tahun sebelumnya. Sementara itu, di perdesaan, rasio gini berada di angka 0,306, turun 0,007 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan wilayah, Yogyakarta mencatat rasio gini tertinggi, yaitu sebesar 0,435, sementara Kepulauan Bangka Belitung memiliki rasio gini terendah dengan angka 0,244. Terdapat tujuh provinsi yang rasio gininya lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni Yogyakarta (0,435), DKI Jakarta (0,423), Jawa Barat (0,421), Gorontalo (0,414), Papua Selatan (0,404), Papua Barat (0,389), dan Papua Tengah (0,381).
Selain rasio gini, BPS juga menggunakan ukuran lain yaitu persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah, yang dikenal sebagai ukuran Bank Dunia. Pada Maret 2024, persentase pengeluaran kelompok ini tercatat sebesar 18,40 persen, naik 0,36 persen poin dari Maret 2023 yang sebesar 18,04 persen.
Di daerah perkotaan, persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah naik menjadi 17,41 persen, meningkat 0,42 persen poin dibandingkan Maret 2023. Sementara itu, di perdesaan, angka tersebut naik menjadi 21,39 persen, naik 0,21 persen poin dari Maret 2023 yang sebesar 21,18 persen.(*)