KABARBURSA.COM - Selama beberapa pekan terakhir, para insinyur di China berkumpul di pabrik salah satu merek mobil listrik mewah. Mereka mengetes teknologi yang disebut-sebut bakal jadi senjata utama Negeri Tirai Bambu dalam persaingannya melawan Amerika Serikat: robot humanoid berbasis kecerdasan buatan.
Robot-robot ini diklaim tak cuma bisa kerja bareng robot lain, tapi juga belajar sendiri bagaimana cara menyelesaikan tugas mereka dengan lebih baik. Jadi, bukan cuma disuruh, merek juga harus bisa mikir dan berimprovisasi.
Para ahli bilang, cuma AS dan China yang lagi adu cepat di garis depan pengembangan robot humanoid pintar. Siapa yang duluan berhasil bikin robot humanoid, punya peluang gede buat menguasai berbagai industri yang selama ini boros tenaga kerja.
“Sudah saatnya era robot dimulai,” kata Jensen Huang, CEO Nvidia—perusahaan chip AI terbesar di dunia—dalam konferensi bulan Maret lalu, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 2 April 2025. “Semua orang harus memperhatikan. Ini bisa jadi industri terbesar dari semuanya.”
Selama ini, robot humanoid cuma nongol di film atau demo lucu-lucuan. Salah satu maskot kegagalan paling terkenal adalah Asimo-nya Honda itu—robot putih empuk kayak marshmallow yang terkenal karena jatuh pas coba naik tangga. Proyeknya pun dihentikan pada 2018.
Tapi sekarang, ambisinya beda. Robot-robot humanoid yang baru ini tak lagi sekadar bisa melambaikan tangan. Mereka menggabungkan teknik mesin, chip komputer super canggih, dan algoritma AI secanggih ChatGPT. Orang-orang di bidang ini menyebutnya sebagai “AI berbadan” atau embodied AI.
Masalahnya, untuk saat ini, robot-robot ini masih kikuk. Kalau dijadikan rekan kerja manusia, malah bisa jadi bahaya. Tapi para pendukungnya yakin, nantinya mereka bakal revolusioner—dari pabrik, pertambangan, perawatan lansia, sampai jadi tentara perang. Karena mereka punya mata, telinga, tangan, kaki—jadi bisa langsung terjun ke lingkungan manusia tanpa perlu ubah setting.
“Pabrik, gudang, rumah—semuanya tak perlu diubah. Humanoid bisa langsung kerja di sana. Itu janji masa depan,” kata Presiden Asosiasi Otomasi AS, Jeff Burnstein.
Pemerintah China punya ambisi besar. Mereka ingin jadi pemimpin dunia dalam urusan robot humanoid pada 2027. Mereka bahkan memasukkan ini ke dalam daftar prioritas pendanaan senilai USD138 miliar (Rp2.249,4 triliun) buat mendorong investor dan perusahaan swasta ikut terjun.
Dunia sudah tahu ceritanya bakal seperti apa. Dulu mobil listrik, panel surya, sampai kapal laut—semuanya dikebut pakai subsidi dan regulasi ramah negara. Hasilnya? Dunia penuh barang buatan China. “Perusahaan mereka lebih banyak yang bikin robot humanoid. Dukungan pemerintahnya juga paling besar. Jadi, sekarang mungkin mereka ada di posisi unggul,” kata Burnstein.
Amerika Serikat memang masih unggul di bidang semikonduktor, perangkat lunak, dan komponen presisi tertentu. Nvidia misalnya, masih jadi raja chip otak robot. Tapi di sisi lain, perusahaan China juga punya satu keunggulan besar, mereka punya banyak pabrik. Itu jadi laboratorium hidup buat uji coba robot. “China bisa maju cepat karena langsung tersambung ke penggunaan nyata dan cepat literasi di lapangan,” kata Cheng Yuhang dari Deep Robotics. “Ini yang Amerika tak bisa tandingi.”
Di China, robot humanoid sudah diajak tampil di acara Spring Festival Gala—semacam pertunjukan tahun baru nasional. Robot-robot dari Unitree Robotics menari bareng penari manusia sambil berputar-putar menyapu tangan di depan ratusan juta penonton TV.
Tapi, di balik layar tetap saja repot. Engineer Unitree mengaku butuh tiga bulan buat latihan. Jika segmennya lebih dari beberapa menit, robot-robot itu bisa jatuh atau kehabisan baterai.
April nanti, Beijing Marathon bakal jadi tuan rumah lomba maraton robot humanoid pertama di dunia. Kalau robotnya ngos-ngosan, boleh ganti baterai atau bahkan ganti robot sekalian—asal kena penalti 10 menit. Karena memang, robot ini cuma sanggup lari dua jam, itu pun belum tentu finish.
Tesla juga sempat pamer robot humanoid Optimus. Tapi robot ini dikendalikan manusia dari balik layar. Dalam unggahannya di X, eksekutif Tesla jujur bilang itu cuma “demo buat menampilkan visi masa depan yang keren”.
Bikin robot bisa jalan dan pegang barang itu ternyata jauh lebih rumit daripada bikin chatbot menulis esai Shakespeare. AI fisik butuh data tiga dimensi soal gravitasi, bentuk, dan ruang. Dan data itu tak bisa dicomot dari internet, harus dikumpulkan dari nol. Nah, pabrik-pabrik China—yang jumlahnya seabrek itu—jadi sumber data lapangan buat para robot ini belajar. Kata para ahli, ini adalah alasan kenapa China bisa lebih kencang.
Tapi ini baru awal. Robot humanoid masih jauh dari kata siap kerja bareng manusia. Kalau bisa tembus, mereka bakal jadi tenaga kerja yang tak protes gaji, tak minta cuti, dan tak mengeluh capek. Masalahnya, kalau robotnya bisa mikir terlalu jauh, jangan-jangan manusia yang akhirnya digantikan.
Belajar Langsung di Lapangan
Perusahaan rintisan asal China, UBTech, tengah melatih robot humanoid agar bisa memilah dan membawa suku cadang mobil. Mereka tak bekerja sendirian—UBTech telah menjalin kerja sama dengan sejumlah pabrikan otomotif besar, termasuk Geely.
Di sebuah pabrik di Provinsi Zhejiang, China Timur, para robot sedang dilatih untuk membantu perakitan mobil listrik mewah merek Zeekr milik Geely. Menurut keterangan dari internal perusahaan, proses belajar robot justru berlangsung lebih cepat ketika langsung terjun ke lapangan.
Ibarat siswa SMA yang belajar bahasa Prancis langsung di Paris, kemampuan para robot meningkat pesat ketika menghadapi situasi nyata—seperti membawa kontainer suku cadang yang beratnya tak merata. Masalah seperti ini tak bisa direkayasa di dalam laboratorium.
“Sebuah masalah mungkin bisa diselesaikan dalam sebulan di laboratorium, tapi di lingkungan nyata, bisa jadi hanya butuh beberapa hari,” ujar seorang manajer UBTech.
Saat ini, dibutuhkan dua robot untuk mengangkat satu kontainer ke atas truk dalam waktu sekitar 12 detik. Bandingkan dengan tenaga kerja manusia yang bisa melakukannya dalam tiga detik. Tapi UBTech yakin kecepatannya akan meningkat seiring waktu—dan tak seperti manusia, robot bisa bekerja tanpa henti 24 jam sehari.
Pihak Zeekr menjelaskan pengujian ini masih dilakukan di area non-produksi karena pengembangan robot humanoid masih berada di tahap awal.
Sementara itu, beberapa pengembang robot humanoid di Amerika Serikat juga mulai menjajal kemampuan robot mereka di lingkungan industri. Agility Robotics, startup yang didukung Amazon.com, telah menguji coba robot humanoid mereka sejak 2023 untuk memilah dan memindahkan paket di gudang-gudang Amazon.
Pada Februari lalu, Figure, perusahaan rintisan dari Sunnyvale, California, merilis video dua robot yang bekerja sama untuk mengenali barang dan menyusunnya di dalam lemari es. Robot humanoid mulai menjalankan tugas-tugas rumah tangga secara mandiri, meski tentu belum sempurna.
Keunggulan Biaya dan Skala Produksi
Menurut analis Bank of America, Ming Hsun Lee, kemampuan manufaktur China bisa membuat robot lokal jauh lebih murah dibanding robot buatan negara lain—bahkan bisa separuh harga saja. Ia membandingkannya dengan industri mobil listrik China yang kini menyumbang sekitar 70 persen dari produksi global.
“Saya rasa robot humanoid akan menjadi industri mobil listrik berikutnya bagi China,” katanya.
Robot andalan UBTech, Walker S, saat ini masih dibanderol ratusan ribu dolar AS per unit, termasuk perangkat lunaknya. Namun perusahaan berencana mengirimkan 500 hingga 1.000 unit Walker S tahun ini ke berbagai klien, seperti Foxconn, pemasok utama Apple. Target jangka menengahnya, lebih dari 10.000 unit per tahun pada 2027.
Saat ini, hanya segelintir perusahaan di luar China yang benar-benar sudah menjual robot humanoid berbasis AI.
Para pelaku industri memperkirakan persaingan ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan karena tantangan robot humanoid semakin rumit—seperti saat harus beroperasi di rumah tangga. “Masih akan ada proses yang sangat panjang sebelum robot benar-benar bisa menggantikan manusia—terutama dalam hal koordinasi antara tangan dan otak,” kata pendiri Geely, Eric Li.(*)