Logo
>

Daftar Negara Paling Terdampak Tarif Trump

China, Vietnam, hingga Indonesia masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif tinggi oleh Presiden AS Donald Trump. Kebijakan tarif resiprokal ini dihitung berdasarkan defisit dagang dan dianggap sebagai upaya mengembalikan keadilan perdagangan.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Daftar Negara Paling Terdampak Tarif Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memperlihatkan daftar tarif resiprokal untuk negara-negara mitra dagang utama dalam konferensi pers di Gedung Putih. Foto diunggah melalui akun resmi @POTUS di Instagram.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak panggung ekonomi global. Kali ini bukan lewat perang kata-kata, melainkan lewat daftar panjang tarif baru yang disodorkan ke dunia. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.

    Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidato yang mengundang tepuk tangan sebagian pendukungnya, namun juga kritik keras dari sejumlah ekonom dan anggota parlemen.

    Menurut data resmi yang diunggah akun Instagram @potus, tarif baru diberlakukan berdasarkan besarnya defisit perdagangan bilateral AS dengan negara mitranya. China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen.

    Daftar ini bukan asal tunjuk. Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) bahkan menyusun perhitungan matematis untuk menetapkan tarif resiprokal tersebut. Rumusnya adalah:

    Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)


    Artinya, besaran perubahan tarif ditentukan oleh selisih antara ekspor dan impor masing-masing negara terhadap AS, dikalikan dengan dua parameter teknis, yakni elastisitas permintaan impor (ε) dan tingkat pengaruh tarif terhadap harga (φ). Jika suatu negara memiliki surplus besar terhadap AS, maka tarifnya akan tinggi, karena dianggap mengambil keuntungan lebih banyak dari pasar AS.

    Menurut ringkasan dokumen USTR, parameter ε ditetapkan sebesar 4, sedangkan φ sebesar 0,25. Data ekspor dan impor digunakan dari statistik tahun 2024. Dengan pendekatan ini, tarif resiprokal yang ditetapkan bervariasi antara 10 persen hingga 99 persen. Rata-rata tarif secara global mencapai 41 persen bila dihitung berdasarkan volume impor.

    Lantas, siapa saja yang paling terdampak?

    China jelas jadi sasaran utama, dengan tarif yang mencapai 34 persen. Tarif ini disebut “diskon” karena nilai awal perhitungan mencapai 67 persen. Vietnam yang selama ini dipandang sebagai alternatif bagi banyak investor yang keluar dari China, ternyata kena lebih besar, yakni 46 persen dari semula 90 persen. Indonesia, yang dianggap memiliki hambatan dagang non-tarif cukup tinggi, juga masuk daftar dengan angka 32 persen, turun dari hitungan mentah sebesar 64 persen.

    Beberapa negara tetangga juga tak lepas dari jeratan. Malaysia dikenai tarif 24 persen, Thailand 36 persen, sementara Singapura tetap mendapat tarif minimal 10 persen. Negara-negara seperti Bangladesh (37 persen), Kamboja (49 persen), dan Sri Lanka (44 persen) juga masuk kategori “dijatuhi tarif tinggi”.

    Grafik perbandingan tarif perdagangan antara negara-negara Asia Tenggara dan China terhadap Amerika Serikat.

    Adapun Uni Eropa, blok dagang yang selama ini punya hubungan dagang kuat dengan AS, dikenai tarif 20 persen. Jepang dan Korea Selatan masing-masing kena tarif 24 persen dan 25 persen. Bahkan negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Inggris sekalipun, tetap dikenai tarif dasar sebesar 10 persen.

    Menariknya, sebagian besar negara kecil tetap mendapat tarif minimum 10 persen, termasuk negara-negara Afrika, Karibia, dan kawasan Pasifik Selatan. Hal ini bisa dibaca sebagai upaya Trump menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara yang secara ekonomi kecil tapi secara geopolitik bisa strategis.

    Namun bukan tanpa risiko. Para ekonom menilai kebijakan ini bisa memicu perang dagang skala penuh. Scott Lincicome dari Cato Institute mengingatkan tarif AS saat ini sudah mendekati level Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930 yang sempat memperparah Depresi Besar. “Jika tarif seperti ini diterapkan dalam jangka panjang, banyak negara akan masuk jurang resesi,” katanya, dikutip dari AP di Jakarta, Kamis, 3 April 2025.

    Kepala Riset Ekonomi AS dari Fitch Ratings, Olu Sonola, memperkirakan rata-rata tarif AS akan melonjak dari 2,5 persen pada 2024 menjadi 22 persen pada 2025. Imbasnya bukan hanya harga-harga yang melonjak, tapi juga potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia akibat friksi perdagangan yang melebar ke banyak negara.

    Di dalam negeri AS, kritik juga mulai terdengar. Anggota DPR dari Partai Demokrat, Suzan DelBene, menyebut tarif ini sebagai “kenaikan pajak besar-besaran terhadap keluarga Amerika” karena dilakukan tanpa persetujuan kongres. “Trump janji akan menurunkan biaya hidup. Tapi sekarang dia justru bilang tak peduli jika harga-harga naik,” ucapnya.

    Meski demikian, Trump bergeming. Ia bersikeras bahwa tarif adalah jalan tercepat untuk menghidupkan kembali industri manufaktur AS dan membawa kembali pekerjaan yang selama ini dianggap “diimpor” keluar negeri. “Wajib pajak telah dirampok selama lebih dari 50 tahun. Tapi itu tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.

    Dengan daftar yang sudah lengkap, kita bisa lihat dengan jelas bahwa arah kebijakan dagang Trump tidak hanya agresif, tapi juga penuh kalkulasi. Bagi negara-negara seperti Indonesia, langkah ini harus dibaca bukan hanya sebagai tantangan, tapi juga sebagai sinyal bahwa ketergantungan pada pasar ekspor tunggal seperti AS sangat berisiko.

    Berikut adalah daftar negara-negara yang terkena dampak tarif respirokal AS:

    (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).