Logo
>

Dampak Generative AI terhadap Transformasi Pasar Modal

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Dampak Generative AI terhadap Transformasi Pasar Modal
Generative AI mengubah cara kerja pasar modal global. Teknologi ini membawa efisiensi sekaligus risiko baru yang harus dicermati investor dan regulator. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Tidak semua teknologi datang dengan dentuman. Beberapa justru menjalar pelan, menyusup ke sistem-sistem paling mapan, lalu menumbuhkan perubahan dari dalam. Begitulah cara kecerdasan buatan—terutama Generative AI—mengubah wajah pasar modal global hari ini.

Kalau dulu teknologi hanya mendampingi analis, kini ia mulai menulis laporan keuangan, merancang portofolio, bahkan menyusun strategi perdagangan dengan tingkat presisi yang bikin manusia gelagapan mengejar. Dan perubahan ini bukan isapan jempol.

IMF dalam laporan Global Financial Stability Report (Oktober 2024) berjudul Advances ini Artificial Intelligence: Implications for Capital Market Activities, menyebut bahwa “Generative AI didukung oleh foundation models yang dilatih menggunakan data dalam jumlah masif seperti teks dan gambar.” Teknologi ini, menurut IMF, “telah memungkinkan mesin untuk menghasilkan konten dan jawaban prediktif yang menyerupai kecerdasan manusia.”

Di dunia keuangan, foundation models seperti ChatGPT atau Gemini bukan lagi sekadar alat tulis pintar. Mereka sudah dipakai untuk membaca laporan keuangan, menganalisis sentimen pasar dari media sosial, sampai mengawasi anomali pergerakan harga secara real-time. Dengan kata lain, AI kini menjadi mitra aktif di lantai bursa—bukan cuma asisten teknis.

Peran AI di pasar modal juga makin besar seiring meningkatnya adopsi teknologi di lembaga keuangan besar. Laporan IMF mencatat bahwa adopsi AI di sektor keuangan meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir karena didorong oleh turunnya biaya komputasi dan semakin kuatnya model algoritmik.

“Meski biaya satuan pelatihan AI turun, model terkemuka justru makin kompleks dan mahal secara keseluruhan,” tulis IMF, merujuk pada lonjakan investasi di teknologi large language model (LLM).

Tapi yang membuatnya relevan bukan hanya kecanggihannya. AI—terutama Generative AI dalam analisis investasi—mampu memroses informasi dalam volume dan kecepatan yang tak mungkin ditandingi analis manusia. Di sinilah daya tariknya bagi investor institusi dan ritel, AI memiliki sistem rekomendasi saham otomatis, peringatan dini risiko, hingga pembuatan skenario makroekonomi dalam hitungan detik.

Meski begitu, penggunaan AI dalam investasi masih menempatkan manusia sebagai penentu akhir. “Selama tiga hingga lima tahun ke depan, pendekatan human-in-the-loop kemungkinan besar tetap digunakan,” kata IMF. Artinya, algoritma dan manusia akan tetap berdampingan, setidaknya sampai pasar benar-benar siap menyerahkan kendali.

Namun bukan tanpa konsekuensi. Ketergantungan pasar terhadap sistem berbasis AI ini juga membuka celah baru, antara lain risiko herding, manipulasi algoritmik, dan konsentrasi kekuatan di tangan sedikit penyedia model. Di satu sisi, ia mendemokratisasi informasi. Tapi di sisi lain, bisa menciptakan ketimpangan baru dalam kecepatan dan akses.

Hari ini, AI di pasar modal belum menjadi pusat perhatian publik seperti halnya harga emas atau suku bunga. Tapi dalam diam, ia tengah menata ulang cara keputusan finansial dibuat. Dan ketika proses berubah, hasil pun ikut berubah—baik bagi investor maupun sistem keuangan global.


Risiko-Risiko Baru dari AI: Flash Crash, Manipulasi, dan Ketergantungan Teknologi


Pasar modal memang menyukai kecepatan. Tapi ketika kecepatan datang tanpa kendali, bukan keuntungan yang dihasilkan—melainkan keruntuhan. Di situlah risiko penggunaan AI di pasar modal mulai mengemuka, dari potensi manipulasi tersembunyi, flash crash, hingga ketergantungan struktural terhadap segelintir penyedia teknologi.

Laporan IMF tersebut dapat memperkuat efisiensi pasar, tetapi juga dapat menciptakan risiko baru, seperti disfungsi pasar yang ekstrem dan transmisi guncangan sistemik secara cepat. Artinya, teknologi yang mempercepat keputusan pasar ini juga bisa mempercepat kerusakan ketika sistem kehilangan arah.

Salah satu contoh yang sering disebut IMF adalah potensi flash crash, fenomena saat harga aset runtuh dalam hitungan detik tanpa sebab fundamental. Dalam lingkungan yang makin dikendalikan oleh model algoritma, transaksi bisa saling memicu, menciptakan spiral penjualan otomatis yang tak sempat diproses secara manusiawi. AI dalam perdagangan saham tidak hanya membaca data, tapi juga merespons tindakan algoritma lain—membentuk ekosistem yang saling melipatgandakan sinyal.

Dalam laporan yang sama, IMF juga menyoroti apa yang disebut sebagai tacit collusion, sebuah skenario yang awalnya dibahas dalam riset Dou, Liu, dan Luo (2024). Mereka menemukan bahwa algoritma pricing yang dilatih menggunakan reinforcement learning bisa—tanpa komunikasi eksplisit—mencapai hasil yang mirip dengan kartel. “Ini seperti pasar yang secara tak sadar sepakat untuk tidak bersaing,” tulis IMF, mengutip studi tersebut.

Dalam dunia nyata, hal ini bisa terjadi pada ETF, derivatif, atau sekuritas yang perdagangannya sepenuhnya dikuasai oleh sistem AI yang belajar dari satu sama lain. Masalahnya bukan hanya kecepatan atau algoritma yang cerdas. Pasar modal global saat ini mulai terlalu bergantung pada model dan platform yang dikembangkan oleh segelintir raksasa teknologi, seperti penyedia foundation model dan layanan komputasi awan.

Jika satu sistem terganggu—karena kegagalan teknis, kesalahan parameter, atau serangan siber—implikasinya bisa menular ke pasar finansial secara keseluruhan.
IMF mencatat, “Ketergantungan yang tinggi pada penyedia teknologi tertentu dapat menciptakan kerentanan sistemik, terutama jika risiko operasional tidak ditangani secara kolektif oleh pelaku pasar dan regulator.”

Lebih jauh, ada pula risiko opaqueness atau ketidakjelasan keputusan. Ketika AI merekomendasikan untuk menjual atau membeli dalam jumlah besar, siapa yang bisa memastikan bahwa itu bukan hasil dari bias data atau kesalahan pelatihan model? Transparansi menjadi barang mahal dalam dunia yang digerakkan oleh mesin-mesin belajar ini.

Secara makro, penggunaan AI dalam investasi memang membawa efisiensi. Tapi kalau tidak diawasi, sistem ini bisa menciptakan struktur pasar yang rapuh: cepat, tapi mudah retak. Ketika algoritma berdialog dengan algoritma, siapa yang masih tahu apa yang benar-benar terjadi di balik layar?

Karena itu, sementara dunia keuangan berlari mengejar potensi Generative AI di pasar modal, pertanyaannya bukan hanya soal seberapa jauh teknologi bisa melaju, tetapi juga: siapa yang akan mengerem jika semua orang memilih untuk mempercepat?


Regulasi dan Tantangan Etika: Apakah Kita Siap?

Di dunia yang makin dikendalikan oleh kecerdasan buatan, pertanyaan terbesar bukan hanya soal apa yang bisa dilakukan AI, tetapi siapa yang mengendalikannya. Di pasar modal, di mana setiap keputusan punya konsekuensi triliunan rupiah, keberadaan AI tanpa pengawasan yang jelas bisa menciptakan jurang antara efisiensi dan dominasi.

Laporan IMF dalam Global Financial Stability Report Oktober 2024 mengingatkan bahwa seiring dengan adopsi luas teknologi AI oleh pelaku pasar, dibutuhkan regulasi yang adaptif dan lintas yurisdiksi. “Pengawasan terhadap penggunaan AI perlu dilakukan secara kolaboratif antara otoritas keuangan, lembaga teknis, dan pelaku pasar,” tulis IMF. Ini bukan wacana kosong: algoritma tidak mengenal batas negara, tapi kebijakan finansial masih terkungkung wilayah.

Tanpa regulasi yang jelas, pasar bisa dikuasai oleh segelintir penyedia model AI besar yang mengendalikan data, infrastruktur, hingga hasil prediksi. Ketika informasi pasar ditentukan oleh satu algoritma dominan, apa bedanya dengan monopoli?

Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya lebih fundamentalnya apakah OJK dan BEI sudah siap dengan sistem pengawasan yang memahami cara kerja algoritma AI? Apakah ada kebijakan yang mengatur akuntabilitas jika sebuah model AI membuat kesalahan besar yang memicu kepanikan pasar?

Di sisi lain, ada persoalan etika kecerdasan buatan dalam investasi. Model AI—apalagi yang generatif—bekerja seperti kotak hitam. Rekomendasi yang dihasilkannya bisa sangat meyakinkan, tapi tak selalu bisa dijelaskan. Dalam pasar yang makin bergantung pada AI di pasar modal, transparansi menjadi barang langka.

Sementara itu, regulasi AI di pasar modal dunia masih dalam tahap eksperimen. Uni Eropa melalui AI Act-nya mulai menyusun kategori risiko, sementara Amerika Serikat menyerahkan banyak hal kepada sektor swasta. Indonesia sendiri belum punya peta jalan yang spesifik terkait pemanfaatan AI dalam aktivitas pasar modal.

Risiko etika juga muncul saat algoritma digunakan untuk menyusun profil risiko investor. Apakah sistem tersebut mempertimbangkan bias data? Apakah investor dilatih untuk memahami keputusan AI, atau hanya menerima hasilnya mentah-mentah?
IMF memperingatkan, “Kebutuhan akan tata kelola AI di sektor keuangan bukan hanya soal stabilitas pasar, tapi juga kepercayaan publik.” Karena itu, tantangan regulasi bukan sekadar mengawasi teknologi, tapi juga memastikan agar manusia tetap punya peran dalam ekosistem yang makin otomatis.

AI mungkin menjanjikan efisiensi dan presisi. Tapi tanpa regulasi dan etika yang memadai, pasar bisa tergelincir menjadi ladang eksperimen algoritma—di mana investor adalah kelinci percobaannya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).