Logo
>

Daya Beli Lemah, DPR Usul Reformasi dan Deregulasi Ekonomi

Ditulis oleh Dian Finka
Daya Beli Lemah, DPR Usul Reformasi dan Deregulasi Ekonomi
Marwan Cik Asan menyoroti urgensi reformasi fiskal dan perlindungan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi global, termasuk imbas kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan menyoroti urgensi reformasi fiskal dan perlindungan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi global, termasuk imbas kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump.

    Dalam diskusi The Yudhoyono Institute bertajuk “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global”, Marwan menyampaikan bahwa meskipun dampak langsung dari tarif tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia relatif kecil, yakni sekitar 2,2 persen, efek tidak langsungnya patut diwaspadai.

    “Kita semua tahu ekonomi kita memang sedang tidak fit. Kalau tubuh lagi batuk-pilek, lalu datang badai, itu bisa fatal. Jadi, concern kita adalah efek tidak langsungnya terhadap ekonomi secara keseluruhan,” ujar Marwan di Jakarta, Minggu, 13 April 2025.

    Ia menyatakan bahwa reformasi dan deregulasi menjadi solusi strategis untuk menavigasi tekanan global ini. Namun, menurutnya, tantangan utama ada pada terbatasnya ruang fiskal yang hanya berkisar 20-30 persen dari total belanja negara yang bisa dialokasikan fleksibel.

    “Selebihnya dari APBN kita sudah ada tagging-nya. Untuk kesehatan, pendidikan, subsidi, dan seterusnya. Jadi kalau kita bicara kebijakan yang bisa langsung menyentuh daya beli masyarakat, hanya 20 sampai 30 persen yang bisa digerakkan secara efektif,” jelasnya.

    Marwan juga menyoroti perlambatan penerimaan negara, termasuk tidak tercapainya target penerimaan pada Maret 2025. Ia mengingatkan bahwa fleksibilitas anggaran bisa menjadi opsi jika situasi memburuk, seperti yang dilakukan saat pandemi COVID-19 dengan memperlebar defisit anggaran.

    “Saya ingin bertanya kepada para panelis, apakah kita harus kembali mempertimbangkan perluasan defisit seperti saat pandemi? Dalam RAPBN kita sekarang, range defisit masih di 2,53 persen. Artinya masih ada ruang sedikit yang mungkin bisa digunakan,” ungkap politisi Partai Demokrat itu.

    Ia menekankan bahwa menjaga daya beli harus menjadi prioritas, tidak hanya sebagai kebijakan sosial, tetapi juga instrumen menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mencegah perlambatan yang lebih dalam.

    “Kita tidak sedang dalam kondisi normal. Jadi responsnya juga harus tidak biasa. Kita perlu langkah luar biasa, cepat, dan tepat sasaran,” tutupnya.

    Kebijakan Fiskal Baru Dorong Ekonomi Capai 5,3 Persen di 2025

    Ekonom Ibrahim Assuaibi menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di level 5,2 persen hingga akhir 2024 dan mencapai 5,3 persen pada tahun 2025.

    Proyeksi tersebut, kata Ibrahim, didorong oleh kebijakan fiskal yang strategis, tepat sasaran, dan pendalaman sektor keuangan di tengah tantangan global yang semakin meningkat.

    "Pemerintahan baru mendatang oleh Prabowo-Gibran nantinya dapat menerapkan kebijakan fiskal yang berdampak besar, di antaranya berfokus pada infrastruktur, hilirisasi, dan sektor teknologi untuk mendorong pertumbuhan yang lebih kuat dan berkelanjutan," jelas Ibrahim

    Karena menurutnya, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih didorong oleh konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar 50 persen dari produk domestik bruto (PDB). 

    Meskipun demikian, para ekonom optimis bahwa Indonesia memiliki peluang pertumbuhan yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, terutama melalui investasi bernilai tambah dan kebijakan fiskal yang strategis.

    Ibrahim mencatat bahwa aliran investasi asing langsung (FDI) yang stabil dan surplus perdagangan yang kuat sejak tahun 2020 akan semakin memperkuat pertumbuhan dan memperluas basis ekonomi nasional. Hal ini menciptakan landasan yang kuat untuk pertumbuhan jangka panjang.

    "Dari sisi eksternal, aliran investasi asing langsung (FDI) yang stabil dan surplus perdagangan yang kuat sejak tahun 2020 akan semakin mendorong pertumbuhan dan memperluas basis ekonomi," ujarnya.

    Ekonomi Bisa Tumbuh 5 Persen

    Ekonom Senior dari INDEF, Aviliani, mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan masih bisa berada di atas angka 5 persen. Ia menyoroti potensi tekanan yang bisa muncul akibat perang dagang yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang bisa berdampak pada kinerja ekonomi nasional.

    Merujuk pada laporan Reuters, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi nasional berisiko mengalami penurunan hingga 0,5 persen akibat diberlakukannya tarif balasan sebesar 32 persen.

    Menanggapi hal tersebut, Aviliani menyampaikan bahwa jika ekonomi Indonesia tetap tumbuh di atas 5 persen, bukan berarti pertumbuhan itu mencerminkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menjadi perhatian khusus, terlebih bila arah kebijakan fiskal belum menyentuh kelompok masyarakat paling rentan.

    “Pertumbuhan ekonomi sih bisa saja 5 persen, tapi persoalannya adalah pertumbuhan itu menjadi tidak berkualitas karena tidak merata kepada semua masyarakat,” kata Aviliani dalam diskusi bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat, 11 April 2025.

    Ia menuturkan, porsi konsumsi dalam negeri saat ini masih lebih banyak disumbang oleh kelompok masyarakat menengah atas hingga kelas atas, yang menyumbang sekitar 65 persen dari total konsumsi nasional. Dalam situasi sulit seperti sekarang, kelompok ini justru masih memiliki kemampuan belanja karena memanfaatkan tingginya tingkat suku bunga.

    “Harusnya kontribusi belanja mereka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas menengah bawah dan juga orang miskin. Karena kalau miskin itu dapat Bantuan Langsung Tunai (BLT), tapi menengah bawah ini yang cenderung tidak mendapat BLT, mereka harus bertahan hidup sendiri. Nah, inilah PR pemerintah itu sebenarnya ada di sini,” ujarnya.

    Aviliani juga menekankan pentingnya pengalihan alokasi subsidi negara, seperti subsidi bahan bakar, agar lebih tepat sasaran kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan, yakni kelas menengah bawah yang selama ini belum banyak menerima perlindungan melalui kebijakan fiskal.

    “Kita sudah tahu dari zaman dulu yang menikmati (subsidi) siapa sih. Nah ini mungkin perlu realokasi di dalam subsidi, realokasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan,” tegasnya.

    Ia turut mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan program bantuan sosial tanpa diiringi dengan langkah pemberdayaan ekonomi masyarakat.

    “Kalau kita arahnya lebih banyak ke sosial tapi tidak ada pemberdayaan, ini akan berbahaya juga. Karena otomatis orang yang harusnya bisa menciptakan demand jadi tidak menambah demand,” tambahnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.