KABARBURSA.COM - Dolar Amerika Serikat kembali melemah pada penutupan perdagangan Rabu waktu setempat, 13 Agustus 2025, melanjutkan penurunan untuk hari kedua berturut-turut.
Pelemahan ini terjadi sehari setelah data inflasi AS yang relatif jinak memperkuat keyakinan pasar bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada September. Tekanan terhadap greenback kian besar setelah Presiden Donald Trump kembali mendesak agar biaya pinjaman diturunkan, bahkan lebih agresif.
Indeks Dolar (DXY), yang membandingkan kinerja dolar terhadap enam mata uang utama, turun 0,2 persen ke level 97,856, terendah sejak 28 Juli, setelah sehari sebelumnya jatuh 0,5 persen.
Data inflasi konsumen yang dirilis Selasa, 12 Agustus 2025, menunjukkan kenaikan harga pada Juli sesuai perkiraan, sementara dampak tarif impor yang diberlakukan Trump masih belum signifikan terhadap harga barang.
Situasi ini membuat pelaku pasar hampir sepenuhnya memperhitungkan penurunan suku bunga bulan depan, dengan peluang pemangkasan 50 basis poin seperti yang diusulkan Menteri Keuangan Scott Bessent.
Trump sendiri semakin vokal menekan The Fed. Ia bahkan dikabarkan mempertimbangkan langkah hukum terhadap Ketua The Fed Jerome Powell, terkait pengelolaan renovasi kantor pusat bank sentral di Washington. Kondisi ini menjadi sebuah langkah yang memicu kekhawatiran akan independensi lembaga tersebut.
Shaun Osborne dari Scotiabank menilai tekanan politik terhadap The Fed saat ini cukup kuat, sementara Michael Pfister dari Commerzbank mengingatkan bahwa perkembangan semacam ini mengingatkan pada praktik di negara-negara otokratis, meski ia menekankan situasi AS belum sampai pada titik itu.
Tak hanya itu, Trump juga menargetkan kritik pada CEO Goldman Sachs, David Solomon, yang dinilainya keliru memprediksi dampak tarif terhadap perekonomian AS. Sementara itu, komentar dari pejabat The Fed sendiri memberikan nuansa hati-hati.
Raphael Bostic dari Fed Atlanta mengatakan pasar tenaga kerja yang nyaris penuh memberi ruang bagi The Fed untuk tidak terburu-buru mengubah kebijakan. Austan Goolsbee dari Fed Chicago menambahkan, pihaknya masih mempelajari apakah pengaruh tarif terhadap inflasi akan bersifat sementara atau berkepanjangan.
Pelemahan dolar menjadi peluang bagi mata uang utama lain untuk menguat. Euro naik 0,2 persen ke USD 1,1698, poundsterling menguat 0,5 persen ke USD 1,3567, keduanya sempat menyentuh level tertinggi dalam beberapa pekan.
Dolar Australia dan dolar Selandia Baru pun naik, masing-masing 0,2 persen dan 0,3 persen. Sentimen di pasar Australia turut dipengaruhi langkah Reserve Bank of Australia yang memangkas suku bunga sesuai perkiraan dan memberi sinyal pelonggaran lanjutan mungkin dibutuhkan untuk mendorong inflasi dan lapangan kerja di tengah pelemahan ekonomi.
Dengan tren penurunan yang masih membayangi sejak awal tahun, dolar AS menghadapi tantangan berat untuk membalikkan arah. Tekanan politik di dalam negeri, prospek pelonggaran kebijakan moneter, dan penguatan mata uang pesaing membuat jalan menuju pemulihan nilai dolar menjadi semakin sempit.(*)