KABARBURSA.COM - Sopir angkutan logistik terus menjadi korban dari masalah Over Dimension Over Loading (ODOL). Selama ini dalam penindakan masalah ODOL, sopir selalu menjadi sasaran razia dan penindakan. Padahal, di sisi lain, sopir menjadi pihak paling rentan secara ekonomi dan sosial dari praktik ODOL.
Pemerhati Transportasi, Muhammad Akbar mengatakan, dalam praktik di lapangan, sopir tidak memiliki kuasa menentukan dimensi bak kendaraan maupun jumlah muatan yang harus dibawa. Keputusan tersebut berasal dari pemilik barang dan pemilik armada.
Menurutnya, menolak perintah untuk mengangkut muatan berlebih kerap berujung ancaman kehilangan pekerjaan. Akibatnya, sopir berada pada posisi dilematis, antara menjalankan instruksi atasan atau kehilangan mata pencaharian.
Beban kerentanan itu semakin berat karena sistem upah dan jam kerja sopir sering kali tidak manusiawi. Efisiensi biaya yang dikejar pemilik usaha membuat sopir harus bekerja lebih lama dengan imbalan yang tidak sebanding.
Dalam kondisi seperti ini, ODOL bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi menjadi “jalan pintas” yang dipaksakan, sementara risiko keselamatan ditanggung penuh oleh sopir di jalan.
Situasi semakin rumit ketika penegakan hukum lebih sering menyasar sopir ketimbang pemilik usaha. Razia di jalan raya menimbulkan stigma bahwa sopir adalah aktor utama pelanggaran ODOL. Padahal, mereka hanyalah pelaksana perintah dalam sistem logistik yang tidak adil.
“Padahal, sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa. Sering kali, mereka bahkan tak punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Menolak berarti kehilangan pekerjaan,” kata Muhammad Akbar dalam keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Kerentanan sosial sopir juga tergambar dari aksi demo yang marak belakangan ini. Aksi tersebut bukan sekadar penolakan terhadap aturan, melainkan seruan keadilan agar penegakan hukum tidak hanya tajam ke bawah.
“Demo sopir bukan bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan: jangan hanya menghukum yang menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan,” lanjut Akbar.
Tanpa perubahan pendekatan, sopir akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan. Risiko kecelakaan akibat ODOL, ancaman kehilangan pekerjaan, stigma hukum, hingga penghasilan yang ditekan habis-habisan, semuanya ditanggung oleh mereka.
Menjawab Aspirasi Pengemudi Logistik
Menanggapi persoalan keluhan pengemudi logistik, Kapoksi Komisi V DPR RI Fraksi Gerindra, Danang Wicaksana Sulistya mengatakan, pihaknya dari Fraksi Gerindra siap mengawal aspirasi pengemudi logistik.
Danang menilai, berbagai keluhan pengemudi logistik perlu diselesaikan dengan adanya uji kompetensi dan pelatihan bagi pengemudi logistik. Selain masalah peningkatan kompetensi, lanjut dia, pengemudi logistik perlu perlindungan khusus dalam hal jam kerja dan advokasi ketika terjadi masalah.
“Banyak saudara-saudara kita yang bekerja sebagai pengemudi logistik. Mereka berharap perlu kehadiran pemerintah dan regulasi yang memperkuat posisi mereka,” kata Danang usai pertemuan pimpinan DPR RI bersama Komisi V DPR RI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Sekrertaris Negara dan Asosiasi Pengemudi Independen (API) dan Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Danang menuturkan, pihaknya akan mengkonsultasikan lebih lanjut berbagai aspirasi pengemudi logistik ke pimpinan di Fraksi Gerindra.
“Aspirasi teman-teman sejalan dengan perhatian bapak Presiden RI Prabowo Subianto terkait penguatan sistem logistik nasional yang efisien dan kompetitif,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut, Sufmi Dasco Ahmad mendorong perlunya tim kecil untuk membahas secara mendalam terkait aspirasi pengemudi logistik.
Rencananya Tim kecil terdiri dari Kementerian Perhubungan, dengan menggandeng sejumlah Kementerian atau Lembaga terkait dan stakeholder lainnya. (*)