KABARBURSA.COM - Indonesia kembali menghadapi ujian berat dalam perekonomian. Dua tekanan global penundaan pelonggaran suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) dan lonjakan harga minyak dunia mempersempit ruang gerak ekonomi domestik. Kombinasi ini berpotensi menekan stabilitas nilai tukar, meningkatkan inflasi energi, serta membebani keseimbangan fiskal.
Federal Reserve menegaskan sikap hati-hati dalam menurunkan suku bunga, sebagaimana disampaikan oleh Presiden Fed New York, John Williams. Aliran dana global pun cenderung bertahan pada aset berbasis dolar, meningkatkan risiko arus modal keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Di sisi lain, harga minyak dunia meroket. Brent naik ke USD72,16 per barel dan WTI ke USD68,28, dipicu oleh sanksi baru AS terhadap ekspor minyak Iran serta kebijakan pemangkasan produksi oleh OPEC+. Bagi Indonesia yang merupakan negara net importir energi, situasi ini berpotensi meningkatkan beban subsidi energi, memperburuk inflasi, dan menekan neraca transaksi berjalan.
Pakar ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa Indonesia perlu merespons kondisi ini dengan kebijakan yang lebih strategis dan terkoordinasi. Menurutnya, dampak dari kebijakan The Fed terhadap rupiah sangat nyata, terutama bagi pelaku usaha yang bergantung pada pembiayaan luar negeri.
"Kita melihat capital outflow cukup deras. Investor asing menarik dana mereka karena yield obligasi AS lebih menarik. Tekanan terhadap rupiah pun meningkat, dan ini bisa berdampak pada kenaikan harga impor serta beban utang luar negeri," jelas Syafruddin kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu 23 Maret 2025
Ia juga menyoroti lonjakan harga minyak sebagai faktor yang semakin memperumit kondisi ekonomi domestik.
"Pemerintah harus segera menyiapkan langkah mitigasi. Harga minyak yang naik akan menekan APBN melalui subsidi energi yang membengkak. Inflasi energi juga bisa meningkat, yang pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat," tambahnya.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Syafruddin, stabilitas nilai tukar rupiah harus menjadi prioritas, tetapi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
"Bank Indonesia tidak bisa hanya fokus pada intervensi pasar valas. Kebijakan suku bunga juga harus diperhitungkan dengan cermat agar tidak terlalu menekan sektor riil. Sementara itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap fleksibel dan adaptif terhadap gejolak eksternal," ujarnya.
Lebih lanjut, Syafruddin menekankan pentingnya transisi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak. "Ini saat yang tepat bagi Indonesia untuk mempercepat pengembangan energi alternatif. Krisis ini harus menjadi momentum untuk mendorong ketahanan energi nasional," tambahnya.
Menurutnya, tanpa strategi yang jelas dan koordinasi yang solid antara pemerintah dan otoritas moneter, risiko perlambatan ekonomi semakin besar.
"Kita butuh kebijakan yang tegas dan proaktif. Jangan sampai kita hanya reaktif terhadap gejolak global. Indonesia harus membangun ketahanan ekonomi yang lebih baik, bukan hanya mengandalkan pertumbuhan jangka pendek," pungkasnya.
Program Prabowo Berbiaya Tinggi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, menilai anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada selasa kemarin disebabkan oleh faktor fiskal dan kebijakan yang menjadikan investor kehilangan kepercayaan.
Ia juga mengungkap adanya penurunan peringkat investasi Indonesia oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs menjadi pukulan berat bagi pasar. Kedua lembaga ini menggarisbawahi potensi rasio utang terhadap PDB yang semakin membengkak, diperburuk oleh rencana program berbiaya tinggi dari pemerintahan Prabowo.
"Program Prabowo yang berbiaya tinggi bisa membuat utang pemerintah akan membengkak. Akibatnya, ada panic selling investor, terutama investor dari luar negeri. Mereka menahan investasinya sembari wait and see kebijakan Pemerintah," ujar Nailul kepda KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 22 Maret 2025.
Lanjutnya, Nailul menyoroti faktor lainnya seperti revisi Undang-Undang TNI yang dinilai membebani sentimen pasar. Kebijakan yang memperluas alokasi jabatan sipil untuk militer dianggap menciptakan ketidakpastian bagi investor.
"Penambahan “alokasi” jabatan sipil bisa membuat investor enggan bersaing dengan BUMN berisikan militer. Contohnya BULOG yang diisi oleh militer aktif yang tidak perlu," jelasnya.
"Investor akan khawatir keberlangsungan usaha ketika militer lebih terlibat aktif di kegiatan ekonomi dan sipil," tambahnya.
Tak hanya itu, rencana Prabowo yang melibatkan bank BUMN dalam pembiayaan proyek-proyek besar juga menimbulkan skeptisisme. Program seperti pembangunan 3 juta rumah, koperasi Merah Putih, dan holding Danantara dinilai memiliki risiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik.
"Terakhir, ada kekhawatiran dari pasar (termasuk asing) untuk program Prabowo yang akan memberikan tugas kepada bank plat merah," ungkapnya
Akibatnya, saham bank pelat merah seperti Bank Mandiri (BMRI) mengalami penurunan tajam, mencerminkan kekhawatiran pasar akan keberlanjutan proyek tersebut.
"Publik masih khawatir akan adanya kegagalan program. Saham Bank Mandiri (BMRI) ikut terjun bebas," pungkas Nailul.(*)