KABARBURSA.COM – Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menyoroti pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kerugian negara mencapai Rp 700 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Adapun kerugian fantastis ini, yang mencapai 33,3 persen dari total anggaran proyek sebesar Rp 2,1 triliun, dinilainya sebagai bukti kegagalan tata kelola governance dan pengawasan internal di salah satu bank BUMN terbesar Indonesia.
"Kasus ini bukan sekadar tindak pidana korupsi. Ini adalah cermin retaknya sistem tata kelola dan pengawasan di BRI, dengan implikasi serius bagi kesehatan sektor perbankan dan kepercayaan publik," kata Amin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025.
Amin menekankan besarnya kerugian mengindikasikan ambruknya prinsip transparansi, akuntabilitas, dan nilai uang (value for money) dalam proyek tersebut.
"Gagalnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan audit internal BRI dalam mendeteksi atau mencegah penyimpangan sebesar ini sangat memprihatinkan," ujarnya.
Ia juga menyoroti kelemahan fatal dalam manajemen risiko operasional BRI, khususnya terkait risiko penyelewengan fraud dan reputasi, yang memungkinkan terjadinya kerugian sangat signifikan.
Politisi PKS ini mempertanyakan peran Dewan Komisaris dan Direksi BRI. "Mereka harus mempertanggungjawabkan kelemahan pengawasan ini. Apakah ada laporan internal yang diabaikan atau sistem sengaja dibiarkan rentan?" tanyanya.
Meski BRI dikenal sebagai bank besar dengan aset jumbo, Amin menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut bukan perkara sepele karena langsung berdampak terhadap fundamental keuangan bank pelat merah itu.
“Berdasarkan kinerja Q1 2025, kerugian ini setara dengan hampir 5 persen dari laba bersih BRI yang sekitar Rp15 triliun. Ini berpotensi memengaruhi penilaian kesehatan bank (RGEC) oleh OJK, terutama pada aspek Tata Kelola (G) dan Rentabilitas (E),” paparnya,
Menurut Amin, kerugian itu tidak hanya menggerus modal dan berimplikasi terhadap indikator profitabilitas seperti Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE), tetapi juga menimbulkan kekhawatiran lebih besar di sektor reputasi.
“BRI adalah tulang punggung pelayanan UMKM dan masyarakat luas. Skandal semacam ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan nasabah dan investor, tidak hanya terhadap BRI tetapi juga perbankan BUMN secara keseluruhan. Kepercayaan adalah fondasi utama perbankan,” tegasnya.
Amin mengingatkan, sebagai bank dengan status systemically important bank (SIB), insiden sebesar ini bisa berisiko mengguncang stabilitas jika tidak ditangani secara transparan dan cepat. Ia pun mempertanyakan ketatnya pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama terkait proyek-proyek non-kredit seperti pengadaan teknologi yang menjadi titik rawan kecurangan.
“Apakah mekanisme pengawasan OJK, seperti laporan GCG atau pemeriksaan khusus, cukup mendalam untuk mengidentifikasi kecurangan dalam proyek non-kredit besar seperti pengadaan teknologi? Ini perlu evaluasi mendesak,” pungkasnya
Lebih lanjut, ia mendesak OJK untuk segera mengevaluasi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dan manajemen risiko operasional di lingkungan BRI, serta memperkuat koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menelusuri potensi pelanggaran lebih lanjut.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.