KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka mendesak Kementerian Perdagangan untuk segera memberikan strategi untuk menghadapi tarif timbal balik dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
"Mohon segera ada respons, khususnya dari Menteri Perdagangan, strategi apa yang sudah disiapkan hadapi tarif timbal balik Amerika," tegas Diah kepada media di Jakarta, Sabtu, 5 April 2025.
Ia juga menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari “Perang Dagang Trump” yang akan menimbulkan efek domino serius terhadap perekonomian nasional.
“Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar negara penyumbang defisit perdagangan Amerika. Nilai impornya dari Indonesia dinilai lebih tinggi sekitar USD 18 miliar dibanding ekspor mereka ke kita. Maka, kita tak bisa anggap enteng kebijakan tarif 32 persen ini,” ujar Rieke.
Adapun ekspor utama Indonesia ke AS saat ini didominasi oleh komoditas padat karya dan strategis, seperti tekstil dan rajutan (termasuk jersey), alas kaki, minyak sawit, udang, ikan, serta peralatan elektrik. Menurut Rieke, sektor-sektor ini sangat rentan terdampak kebijakan proteksionis AS dan membutuhkan perlindungan serta strategi penyesuaian yang konkret dari pemerintah.
Politisi PDI Perjuangan itu juga memperingatkan bahwa kebijakan dagang AS akan melahirkan efek berantai kenaikan tarif masuk barang akan meningkatkan harga jual, menekan daya beli konsumen AS, dan pada akhirnya berdampak pada penurunan permintaan ekspor dari Indonesia.
“Kalau permintaan dari pasar AS turun, maka produksi dalam negeri juga akan ikut turun. Ini mengancam industri, lapangan kerja, dan pendapatan buruh kita,” tambah Rieke.
Ia menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, pelaku industri, dan parlemen dalam menyusun langkah strategis nasional untuk melindungi kepentingan ekonomi rakyat Indonesia di tengah gejolak dagang global.
“Kita butuh keberpihakan nyata terhadap industri dalam negeri. Jangan biarkan tekanan global membuat ekonomi kita goyah,” katanya.
Waspadai Efek Domino PHK
Lanjutanya Rieke, mengingatkan pemerintah agar mewaspadai dampak lanjutan dari gejolak ekonomi global, khususnya kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat, yang dapat memperburuk kondisi industri nasional dan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Pengangguran meningkat sejak akhir tahun 2024 hingga Maret 2025. PHK tidak hanya berdampak pada pekerja, tapi juga menekan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya memicu anomali deflasi dan meningkatkan risiko fiskal di kuartal IV 2025,” kata Rieke
Ia menyatakan dukungannya terhadap langkah Presiden Prabowo yang mendorong tim ekonomi pemerintah untuk merumuskan kebijakan inovatif berbasis kepentingan dan keselamatan nasional.
“Saya yakin Presiden Prabowo sangat memahami bahwa devisa negara harus ditingkatkan melalui ekspor komoditas barang dan jasa. Tapi strategi peningkatan devisa harus sejalan dengan penguatan industri nasional, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri, dan penyiapan tenaga kerja formal,” pungkas Rieke.
Asia Tenggara Diguncang Tarif Trump
Indonesia memang tidak sendirian. Di saat negeri ini masih merumuskan langkah menghadapi tarif Trump, sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara sudah lebih dulu terguncang oleh keputusan sepihak dari Washington. Indeks saham di berbagai negara langsung memerah pada Kamis, 3 April 2025. Indeks acuan Vietnam sempat longsor hingga 6,7 persen, sementara saham-saham di Thailand turun 1,4 persen. Bursa Malaysia hanya melemah 0,5 persen, sedangkan pasar Indonesia tengah libur.
Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang menjadi simpul penting dalam rantai pasok global—resmi masuk daftar “aktor nakal” versi Washington dengan beban tarif resiprokal mulai dari 24 persen hingga 46 persen.
AS akan mengenakan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor, plus tambahan tarif spesifik untuk negara-negara yang dianggap bermasalah dalam perdagangan. Dalam daftar itu, Vietnam dibebani tarif tertinggi 46 persen, disusul Thailand 36 persen, Indonesia 32 persen, dan Malaysia 24 persen.
Para analis dibuat kaget oleh besarnya lonjakan tarif ini. Langkah Trump tersebut dinilai akan menjadi tantangan berat bagi kawasan yang selama ini sangat bergantung pada ekspor. “Dengan AS menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor kawasan, lonjakan tarif sebesar 20 hingga 35 persen jelas jadi penghambat pertumbuhan yang signifikan, terutama untuk negara-negara yang sangat terbuka terhadap perdagangan,” ujar Kepala Strategi Makro Pasar Berkembang T. Rowe Price, Chris Kushlis, dikutip dari The Wall Street Journal.
Dalam catatan resminya, analis dan ekonom Barclays menambahkan, “Dalam jangka pendek, tarif-tarif ini kemungkinan akan mengerem ekspor kawasan secara keseluruhan.”
Namun efeknya tak hanya datang dari tarif langsung. China—mitra dagang terbesar ASEAN—juga terkena tarif resiprokal sebesar 34 persen di luar tarif sebelumnya. Jika eksportir China mengalihkan barang ke pasar Asia Tenggara sebagai pelarian, itu bisa membanjiri pabrikan lokal dan memicu tekanan deflasi.
Ekonom Maybank, Erica Tay, menyatakan, “Tarif yang lebih tinggi bisa memangkas ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.” Ia juga memperingatkan soal kemungkinan barang-barang asal China berpindah ke Thailand dan Indonesia yang bisa menciptakan guncangan harga.(*)