Logo
>

Efek Tarif Trump, Pabrik China Mulai Pindah ke Asia Tenggara

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Efek Tarif Trump, Pabrik China Mulai Pindah ke Asia Tenggara
Ilustrasi: Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden China Xi Jinping. Foto: Malay Mail.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pagi yang tenang di Xiamen, China, tiba-tiba berubah kacau bagi Cui Shu. Pengacara bisnis itu dibanjiri panggilan dan pesan dari klien yang panik setelah Presiden Donald Trump mengumumkan lewat media sosial rencana menaikkan tarif impor barang dari China sebesar 10 persen lagi.

    Seorang kliennya, produsen transformator listrik, sudah mulai mengalihkan produksi ke Malaysia. Sementara itu, klien lain yang bergerak di industri suku cadang otomotif sedang merancang kepindahan ke Thailand. Keduanya hanya punya satu pertanyaan: bisakah proses ini dipercepat?

    “Perusahaan-perusahaan sedang panik dan mencari jalan keluar,” kata Cui, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Sabtu, 1 Maret 2025.

    Sebelumnya, banyak manufaktur China berpikir mereka masih bisa bertahan menghadapi tarif tambahan 10 persen yang diberlakukan AS awal Februari. Namun, dengan kenaikan baru ini—yang akan berlaku Selasa pekan depan—bebannya menjadi dua kali lipat dan bisa jadi hanya awal dari lebih banyak tekanan ke depan.

    Produsen yang berencana menurunkan harga agar pelanggan mereka bisa menyerap lonjakan tarif kini dihadapkan pada pajak yang lebih besar lagi. Bagi perusahaan dengan margin keuntungan tipis, ini bisa jadi pukulan telak.

    Produksi Bergeser ke Asia Tenggara

    Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim bertemu dengan mitranya dari China, Perdano Menter Li Qiang di The Grand Halls di Shanghai, 4 November 2024. Foto: Bernama.

    Kebijakan Trump ini makin mempercepat langkah manufaktur China untuk mengalihkan produksi ke luar negeri, khususnya Asia Tenggara. Dengan memproduksi barang di negara lain, importir AS bisa menghindari tarif tinggi. Tapi, kalau Trump makin agresif dan memperluas targetnya ke negara-negara lain, strategi ini bisa jadi sia-sia.

    Saat Trump pertama kali menaikkan tarif pada periode pertamanya, banyak perusahaan mengadopsi strategi “China plus one”, yakni mempertahankan produksi di China sambil mencari alternatif di negara lain. Vietnam jadi salah satu pemenang besar dalam pergeseran ini. Menurut analisis International Trade Centre atas data Biro Sensus AS, tahun lalu, produk asal Vietnam menyumbang lebih dari 4 persen dari total impor barang AS, naik dari sekitar 2 persen pada 2017.

    Namun, periode kedua Trump kali ini tidak hanya menargetkan China. Pemerintahannya tengah menggodok tarif untuk Kanada dan Meksiko serta merancang kebijakan tarif balasan yang bisa menaikkan pajak impor dari berbagai negara. Selain itu, Gedung Putih juga berencana membatasi investasi China di AS.

    Bagi Xue Feng, pemilik Shanghai Jefa Machinery, kabar kenaikan tarif ini justru membuatnya lebih hati-hati. Perusahaannya memproduksi katup untuk pengeboran minyak dan menjual sebagian besar produknya ke pelanggan di AS.

    Sebelumnya, Xue mempertimbangkan memindahkan sebagian produksi ke AS untuk menghindari tarif yang lebih tinggi sekaligus memanfaatkan pertumbuhan permintaan katup di bawah kebijakan Trump yang mendorong eksplorasi minyak domestik. Tapi sekarang, dia mulai ragu.

    “Dengan semua perubahan ini, ketidakpastian makin besar. Kalau kita gegabah dan salah langkah, akibatnya bisa fatal,” ujar Xue.

    Saat ini, ia masih bisa menahan kenaikan tarif karena produknya jauh lebih murah dibandingkan pesaing Amerika, bahkan bisa setengah atau sepertiga dari harga barang serupa di AS.

    China Siap Balas

    Kementerian Perdagangan China langsung merespons pengumuman Trump dengan sikap keras. Dalam pernyataan resminya, mereka menegaskan menolak tarif sepihak dan mendesak AS untuk berdialog. Mereka pun menyatakan siap melakukan tindakan balasan jika diperlukan.

    Trump sendiri mengaitkan kenaikan tarif ini dengan peran China dalam rantai pasokan fentanil, zat opioid yang jadi penyebab utama krisis narkoba di AS. Namun, juru bicara Kementerian Perdagangan China menyebut langkah ini sebagai “strategi lempar batu sembunyi tangan.”

    Bagi pabrik-pabrik besar di China, mungkin masih ada cara untuk menghindari tarif baru AS. Tapi bagi manufaktur kecil dengan sumber daya terbatas, kondisi ini justru jadi bencana.

    Ken Huo, konsultan manufaktur di kota industri Foshan, China selatan, mengungkapkan banyak bisnis kecil yang tidak punya cukup modal untuk berinvestasi besar-besaran, seperti membuka fasilitas baru di Asia Tenggara.

    Di Foshan, yang dikenal sebagai pusat industri furnitur, para pengusaha lokal panik. Grup WeChat Huo pun mendadak riuh dengan pesan-pesan yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Yang paling parah, kita benar-benar tidak tahu apa langkah selanjutnya dari pemerintahan Trump soal tarif ini,” ujar Huo.

    Sementara itu, Presiden China Xi Jinping tak terlalu tertarik bernegosiasi hanya untuk urusan fentanil, isu yang kerap disinggung Trump dalam kebijakan tarifnya. Sebaliknya, Beijing ingin menyusun kesepakatan lebih luas yang bisa menentukan arah hubungan AS-China ke depan.

    Namun, terlepas dari strategi China, dampak tarif ini mulai dirasakan langsung oleh konsumen AS. Tarif yang lebih tinggi berarti harga barang naik dan banyak perusahaan sudah mulai menyesuaikan strategi mereka.

    CEO produsen sepatu Steve Madden, Edward Rosenfeld, mengonfirmasi perusahaannya akan menaikkan harga secara selektif mulai musim gugur nanti untuk menutupi dampak tarif baru ini. Perusahaan ini juga terus mengurangi ketergantungan pada China. Jika tahun lalu 71 persen barang impornya berasal dari China, tahun ini angka itu turun drastis menjadi 58 persen.

    Strategi Selamat dari Tarif Trump

    Bagi Cui Shu, pengacara bisnis yang menangani banyak perusahaan manufaktur China, hanya ada dua jalan keluar dari masalah ini.

    Pertama, diversifikasi pasar. Jangan hanya bergantung pada pelanggan di AS, tapi cari negara lain yang bisa menyerap produksi. Kedua, pindahkan produksi ke luar China untuk mengurangi risiko tarif.

    Dengan perang dagang yang makin panas, pabrik-pabrik China dipaksa bergerak cepat agar tidak terhimpit di antara kebijakan Trump dan ketidakpastian global.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).