KABARBURSA.COM – Terlepas dari ancaman tarif Presiden Donald Trump, pelemahan belanja konsumen, hingga turbulensi di Timur Tengah, indeks S&P 500 justru menembus rekor tertinggi pada Jumat pekan lalu. Sebenarnya apa yang membuat pasar begitu percaya diri?
Pelaku pasar sesungguhnya tidak melihat perekonomian sedang melesat. Namun mereka lega skenario terburuk yang sempat menghantui—mulai inflasi melonjak hingga ancaman resesi—belum terjadi. Tarif impor, gelombang deportasi, dan penyusutan birokrasi federal memang menekan, tetapi belum sampai “mematahkan” ekonomi.
Sejak titik puncak Februari, indeks S&P 500 sempat ambles 19 persen hingga posisi terendah tahun ini pada 8 April. Kala itu, pasar dihantui rencana Trump mengenakan tarif hingga 145 persen pada produk asal Cina dan 50 persen untuk mitra dagang utama lain. Investor khawatir ongkos impor bakal melejit, inflasi melonjak, suku bunga naik, kepercayaan bisnis dan konsumen luntur, lalu resesi pun datang.
Kenyataannya, tarif final yang diberlakukan jauh lebih lunak ketimbang ancaman awal. Bea masuk memang naik sejak Februari untuk barang asal Cina, Kanada, Meksiko, juga pada otomotif, baja, dan aluminium. Tetapi dampaknya terhadap inflasi hingga kini lebih ringan ketimbang yang diperkirakan. Harga minyak memang sempat terbang setelah Israel dan Amerika Serikat menyerang Iran, namun sudah kembali turun.
Keyakinan pelaku usaha sempat menurun, tetapi belum sampai menggerus investasi. Korporasi tetap menambah belanja mesin, pabrik, dan teknologi—serta merekrut tenaga kerja, meski lebih lambat dibanding tahun lalu.
“Makroekonomi berjalan cukup baik,” kata ekonom Harvard sekaligus mantan penasihat Presiden Barack Obama, Jason Furman, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025. Ia menilai pasar kini lebih percaya bahwa “Trump akan mundur jika memang diperlukan.”
Menurut Furman, pada April lalu pelaku pasar khawatir presiden akan tetap maju tanpa kompromi, tetapi kini melihat batas realitas yang tak akan dilampaui.
Sentimen konsumen juga mulai pulih. Indeks keyakinan konsumen dari Universitas Michigan naik 16 persen pada Juni dibanding Mei, meskipun masih 18 persen lebih rendah dibandingkan posisi Desember tahun lalu. Joanne Hsu, Direktur Survei Konsumen di lembaga tersebut, mencatat bahwa publik belum sepenuhnya merasa tenang.
“Konsumen tidak merasa kita sudah sepenuhnya aman, tapi mereka tidak lagi terlalu khawatir dengan skenario terburuk," kata Furman.
Meski tak anjlok, data terbaru menunjukkan belanja rumah tangga memang melemah. Pasar tenaga kerja pun mulai menunjukkan sinyal perlambatan. S&P Global Market Intelligence memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto tahunan rata-rata hanya 0,8 persen pada paruh pertama 2025, jauh di bawah 2,5 persen pada 2024.
Pasar saham bukan cerminan langsung perekonomian, tetapi menjadi barometer ekspektasi investor terhadap laba korporasi, suku bunga, dan risiko. Laporan keuangan terbaru mencatat kinerja lebih baik dari taksiran analis, menurut FactSet.
Di sisi lain, lanskap kebijakan terasa lebih dapat diprediksi: RUU pajak dan belanja versi Partai Republik memang masih mengambang, namun risiko itu terasa familiar ketimbang drama tarif dan wacana pemangkasan birokrasi ekstrem ala Departemen Efisiensi Pemerintah yang digagas Elon Musk beberapa bulan sebelumnya.
Menurut Furman, ekonomi Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh tarif impor dan kebijakan mendadak soal Department of Government Efficiency (DOGE. “Kalau kita lihat awal tahun ini, dua hal utama secara ekonomi adalah tarif dan DOGE, dan keduanya sangat dramatis, sangat cepat, dan status hukumnya diperdebatkan,” kata Furman.(*)