KABARBURSA.COM - Kalau China bersin, Indonesia bisa pilek seminggu. Begitulah kira-kira hubungan ekonomi kedua negara yang sudah seperti pasangan ekspor-impor yang terlalu lengket. Bayangkan saja: hampir seperempat dari total barang yang Indonesia jual ke luar negeri—tepatnya 23,84 persen—mendarat di pelabuhan-pelabuhan China.
Dari batu bara, nikel, sampai minyak sawit, semuanya mengandalkan satu pasar utama. Maka ketika kabar datang bahwa permintaan dari Negeri Tirai Bambu mulai melambat, bukan cuma neraca perdagangan yang bergidik, tapi juga pasar modal dan pabrik-pabrik yang bergantung pada ekspor. Ketika China menekan rem produksinya, Indonesia tak hanya kehilangan pembeli, tapi juga arah angin ekonomi.
Kalau bicara soal ekspor, posisi China buat Indonesia bisa dibilang bukan sekadar mitra dagang—ia adalah pasar utama. Berdasarkan catatan D’Origin Advisory, pada Maret 2025, sekitar 23,84 persen ekspor Indonesia mengalir ke Negeri Tirai Bambu. Sementara menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia ke China tercatat sebesar USD5,20 miliar (setara sekitar Rp85,8 triliun) atau menyumbang 22,37 persen dari total ekspor nonmigas nasional.
Angka ini nyaris dua kali lipat dari nilai ekspor ke Amerika Serikat, yang hanya sekitar 12 persen. Artinya, dari setiap seratus kontainer yang dikirim keluar negeri, hampir seperempatnya diarahkan ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok. Dan barang-barangnya bukan sembarang barang—mayoritas adalah komoditas ekspor unggulan seperti batu bara, nikel, besi baja, dan minyak sawit.
Ketika China menunjukkan gejala pelambatan—entah akibat perang dagang dengan AS, tekanan stok industri, atau kebijakan fiskal dalam negeri—maka Indonesia pun harus bersiap menahan napas. Analis Riset D’Origin Advisory, Dandhi Nur Prastiyo, mengatakan ketergantungan ekspor Indonesia terhadap China membuat dinamika ekonomi Negeri Tirai Bambu punya daya getar yang besar.
“Dampaknya perang dagang terhadap perekonomian lebih terasa melalui ekspor ke China dibandingkan dengan AS,” tulis Dandhi dalam laporan riset mingguannya, Senin, 19 Mei 2025.
Hal ini bukan alarm yang bisa diabaikan begitu saja, sebab dari ekspor inilah neraca dagang, pertumbuhan industri, hingga laba emiten di bursa bisa bergantung.
Apa yang Terjadi di China?
Secara kasat mata, ekonomi China masih menunjukkan denyut pertumbuhan. Pada Maret 2025, produksi industrinya meningkat 7,7 persen secara tahunan—angka yang secara statistik masih impresif. Namun pertumbuhan itu terjadi dalam suasana penuh kecemasan. Banyak pelaku industri di China mempercepat laju produksi menjelang tenggat pemberlakuan tarif baru dari Amerika Serikat dan membuat output melonjak sebelum waktunya.
Berdasarkan Biro Statistik Nasional Tiongkok (NBS), pertumbuhan produksi industri China pada April 2025 mencapai 6,1 persen secara tahunan, menurun dari 7,7 persen pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, penjualan ritel tumbuh 5,1 persen, juga melambat dibandingkan pertumbuhan 5,9 persen pada Maret.
Dandhi menjelaskan kondisi ini telah mulai membebani ekspansi industri. “Percepatan produksi menimbulkan peningkatan stok produksi yang tinggi pada bulan Maret, namun tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan, menyebabkan penurunan laju ekspansi pada industri,” kata Dandhi.
Fenomena ini menciptakan risiko klasik dalam perdagangan global. Ketika pasokan meluap tanpa disambut permintaan, maka negara-negara pemasok seperti Indonesia harus siap menghadapi pengurangan order, fluktuasi harga komoditas, dan tekanan pada neraca dagang yang bisa datang sewaktu-waktu.
Komoditas Terpukul
Bagi Indonesia, sinyal melemahnya permintaan dari China bukan cuma alarm dagang biasa. Ini bisa berarti harga yang longsor, kontrak ekspor yang dipangkas, atau jadwal pengiriman yang tiba-tiba tertunda. Sebagai negara yang menggantungkan sebagian besar ekspor pada komoditas mentah, perlambatan dari Negeri Tirai Bambu cepat atau lambat akan membuat sektor riil dalam negeri ikut megap-megap.
Yang paling pertama merasakan tekanan biasanya sektor energi dan tambang. Batu bara termal, misalnya, sempat menjadi primadona ekspor Indonesia ke China. Tapi kini, kabarnya mulai turun panggung. Menurut riset D’Origin, sepanjang Januari hingga April 2025, impor batu bara termal oleh China turun 13,1 persen secara tahunan, menjadi 91,5 juta ton. Ini bukan angka kecil. Penurunan sebesar itu bisa dengan mudah menggoyang stabilitas harga, apalagi saat pasar sedang dihantui stok energi domestik yang melimpah dan cuaca musim dingin yang lebih hangat dari biasanya.
Harga batu bara global pun ikut terpengaruh. Harga acuan ICE Newcastle sempat bergerak stagnan di kisaran USD99 per ton (sekitar Rp1,63 juta), bahkan sempat terkoreksi lebih dari 20 persen sejak awal tahun. Untuk perusahaan tambang seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), fluktuasi semacam ini bisa jadi soal sensitif karena margin keuntungan mereka sangat tergantung pada stabilitas harga jual ekspor.
Di sisi lain, harga minyak sawit mentah (CPO) juga tak luput dari tekanan. Kenaikan stok di negara-negara produsen seperti Malaysia dan Indonesia, ditambah ekspektasi panen yang membaik, bikin harga tertahan. “Sentimen pasar memburuk seiring meningkatnya ekspektasi bahwa stok dapat meningkat lebih lanjut,” tulis Dandhi.
Bagi emiten seperti PT Astra Agro Lestrai Tbk (AALI), PT PP London Sumatra Tbk (LSIP), atau PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), situasi ini bisa berarti revisi target pendapatan atau setidaknya pengetatan arus kas dalam beberapa kuartal ke depan.
Nikel dan besi baja pun ikut masuk radar. Sektor ini sempat disorot sebagai harapan baru hilirisasi, tapi tetap saja bergantung pada permintaan industri manufaktur China yang kini sedang berkalkulasi ulang akibat overproduksi. Kalau pabrik-pabrik di sana menunda pembelian bahan baku, smelter dan eksportir logam di Indonesia ikut menunggu dalam ketidakpastian.
Melihat arah angin ekspor yang makin bergantung pada satu negara, Indonesia perlu cepat menyiapkan peta jalur baru. Ketika China mulai memperlambat belanja, bukan waktunya terus menunggu giliran dikunjungi pembeli lama. Pemerintah perlu mempercepat langkah diversifikasi pasar ekspor dan menyasar kawasan yang permintaannya sedang tumbuh, seperti India, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika.
Pasar domestik juga tak boleh luput dari perhatian. Di tengah tekanan global, stabilisasi harga komoditas dalam negeri harus dijaga, entah melalui intervensi terbatas, insentif fiskal, atau perlindungan sementara untuk produsen hulu. Tujuannya bukan proteksi membabi buta, tapi menjaga napas industri strategis agar tidak langsung kolaps ketika pasar ekspor tersendat.
Dorongan hilirisasi juga makin mendesak. Indonesia tidak bisa selamanya mengandalkan ekspor mentah tanpa nilai tambah. Produk turunan seperti CPO olahan, nikel baterai, atau batu bara gasifikasi harus masuk prioritas jika ingin menambah daya tawar di pasar global. Jika tak bisa mengontrol permintaan, maka satu-satunya jalan adalah mengontrol nilai ekspor.
Dari sisi investor, ini saatnya membaca ulang arah rotasi sektor. Dalam situasi seperti sekarang, sektor konsumsi domestik dan perbankan bisa lebih stabil dibanding sektor komoditas yang bergantung pada permintaan luar negeri. Sentimen China tetap jadi indikator penting, tapi bukan satu-satunya penentu.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.