KABARBURSA.COM - Harga emas kembali menorehkan rekor, dengan reli yang mengantarkannya pada kenaikan bulanan terbesar dalam hampir 16 tahun terakhir. Pada Selasa, 30 september 2025, emas spot diperdagangkan di level USD3.854,41 per ons, setelah sempat menembus USD3.870,14 di awal sesi.
Sementara itu, kontrak berjangka emas AS untuk pengiriman Desember menguat ke USD3.880,60 per ons. Lonjakan ini tidak hanya mendorong kepercayaan investor terhadap logam mulia sebagai aset lindung nilai, tetapi juga memberi dorongan signifikan pada instrumen investasi turunan seperti ETF penambang emas, termasuk GDX (VanEck Gold Miners ETF) dan GDXJ (VanEck Junior Gold Miners), yang kinerjanya sepanjang tahun ini jauh melampaui harga emas itu sendiri.
Riset Indo Premier Sekuritas menyoroti bahwa GDX dan GDXJ masing-masing mencatat imbal hasil +115 persen dan +120 persen year-to-date, jauh di atas performa emas yang “hanya” naik +43 persen YTD. Keduanya menguasai pasar sebagai ETF utama bagi penambang emas global, dengan AUM GDX mencapai USD21 miliar dan GDXJ USD8 miliar.
Lonjakan tajam ini tidak lepas dari kombinasi faktor, seperti ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, ketidakpastian politik akibat ancaman shutdown pemerintah AS, hingga meningkatnya arus masuk ke aset safe haven.
Bahkan, analis KCM Trade Tim Waterer, menegaskan bahwa target USD4.000 per ons kini terlihat realistis menjelang akhir tahun, dengan dukungan dari suku bunga rendah dan tensi geopolitik.
Perhatikan AMMN, BUMI, ARCI, EMAS
Bagi emiten penambang emas Indonesia, efek domino dari reli emas ini semakin terasa. Indo Premier menyoroti masuknya AMMN (Amman Mineral Internasional) dan BRMS (Bumi Resources Minerals) ke dalam indeks GDX, yang sebelumnya mengganti patokan ke MarketVector Global Gold Miners Index.
BRMS juga sekaligus tercatat di GDXJ. Dampaknya instan: saat rebalancing indeks 19 September lalu, BRMS menguat +16 persen akibat arus dana masuk sekitar USD170 juta, sementara AMMN menerima aliran dana USD160 juta meski harga sahamnya sempat terkoreksi -5 persen pada hari tersebut.
Fenomena ini menegaskan bahwa inklusi ke dalam indeks global bukan hanya prestise, melainkan juga katalis kuat bagi likuiditas dan valuasi saham.
Indo Premier juga menggarisbawahi potensi masuknya emiten emas lain ke indeks tersebut. ARCI (Archi Indonesia) diperkirakan akan masuk ke GDXJ pada review Maret 2026, sementara EMAS (Merdeka Gold Resources) yang baru IPO berpeluang menyusul pada Agustus 2026.
Jika skenario ini terealisasi, dampak aliran dana pasif ke saham-saham tersebut bisa semakin besar, menciptakan momentum positif bagi sektor emas di Bursa Efek Indonesia. Dengan metodologi indeks yang relatif sederhana—syarat utama sekitar 50 persen pendapatan dari emas/perak, kapitalisasi pasar, dan likuiditas yang memadai—pintu terbuka lebar bagi emiten lokal untuk masuk ke dalam radar investor global.
Ketidakpastian Anggaran AS Percepat Reli Emas
Kondisi makro juga semakin mendukung. Ketidakpastian anggaran AS yang bisa memicu shutdown mempercepat reli emas. Data FedWatch CME menunjukkan peluang hampir 89 persen untuk pemangkasan suku bunga 25 bps pada pertemuan Oktober.
Emas, yang secara historis menjadi pilihan utama di tengah rezim suku bunga rendah, kembali membuktikan dirinya sebagai aset pelindung. Aliran dana ke ETF emas terbesar di dunia, SPDR Gold Trust, naik 0,6 persen ke level tertinggi sejak Juli 2022, menjadi bukti nyata bahwa permintaan emas fisik dan instrumen turunannya sedang dalam tren menguat.
Dengan reli emas ini, investor kini menghadapi lanskap yang menarik: di satu sisi harga emas berpotensi menembus USD4.000 per ons, sementara di sisi lain, saham-saham penambang—baik global maupun lokal—sedang menjadi magnet baru berkat masuknya ke indeks ETF besar.
Bagi investor Indonesia, AMMN dan BRMS kini menjadi wajah lokal yang ikut terkerek sentimen global, dan ke depan ARCI serta EMAS berpeluang menambah daftar panjang emiten yang mendapat limpahan dana asing.
Singkatnya, kombinasi harga emas yang mencetak rekor, ekspektasi suku bunga yang lebih longgar, serta inklusi emiten Indonesia ke ETF global menjadikan sektor emas sebagai salah satu yang paling seksi di pasar saat ini.
Momentum ini bukan hanya tentang emas sebagai komoditas, tetapi juga tentang ekosistem investasi yang melingkupinya, dari ETF raksasa hingga saham-saham lokal yang berpotensi menjadi bintang baru.(*)