Logo
>

FKBI Tolak Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan OJK: Rugikan Konsumen

Aturan tersebut memperbesar beban konsumen dan terkesan menyederhanakan persoalan ketimpangan dalam industri asuransi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
FKBI Tolak Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan OJK: Rugikan Konsumen
Ilustrasi asuransi kesehatan. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.COM – Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyatakan penolakannya terhadap aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan penerapan sistem co-payment pada layanan asuransi kesehatan komersial.

Regulasi tersebut tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026. 

Dalam aturan itu disebutkan, setiap produk asuransi kesehatan wajib menerapkan skema pembagian biaya klaim atau co-payment, minimal 10 persen dari total tagihan layanan rawat jalan atau rawat inap yang diajukan pemegang polis.

Ketua FKBI Tulus Abadi menilai, kebijakan itu bukan hanya tidak berpihak pada konsumen, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri asuransi sendiri.

Menurut Tulus, aturan tersebut justru memperbesar beban konsumen dan terkesan menyederhanakan persoalan ketimpangan dalam industri asuransi. Ia mengkritisi klaim bahwa skema ini dimaksudkan untuk mengurangi praktik “over-utilitas” layanan kesehatan oleh peserta asuransi. 

“Kalau OJK mengatakan co-payment untuk menekan moral hazard konsumen, itu justru menggelikan. Moral hazard yang lebih sering terjadi justru berasal dari pihak industri,” tegasnya kepada KabarBursa.com, Senin, 9 Juni 2025.

Lebih jauh, ia mengungkap bahwa banyak perusahaan asuransi kerap menolak klaim konsumen dengan dalih yang tercantum dalam kontrak polis melalui klausul-klausul baku. 

Padahal, praktik semacam itu dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Menurutnya, itulah area yang seharusnya direformasi oleh OJK ketimbang membebankan risiko lebih besar kepada peserta asuransi.

“Alih-alih melindungi hak konsumen, SEOJK ini malah memindahkan sebagian tanggung jawab pelaku usaha asuransi ke pundak nasabah. Itu bentuk nyata dari penyalahgunaan klausul baku,” katanya.

FKBI juga menilai pendekatan ini sangat berisiko secara ekonomi. Selain berpotensi menurunkan minat masyarakat terhadap produk asuransi, aturan tersebut dikhawatirkan memperparah citra industri asuransi yang kini sedang terpuruk akibat serangkaian kasus gagal bayar dan skandal korupsi. 

“Wajah industri asuransi di mata publik sedang menurun, dan kebijakan ini justru mempercepat degradasi kepercayaan,” tambah Tulus.

Ia memperingatkan bahwa jika skema co-payment ini kelak diadopsi oleh program asuransi sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka bisa menciptakan preseden buruk. 

Sebab, sistem urun biaya dinilai bertolak belakang dengan prinsip asuransi sosial yang mengutamakan gotong royong dan perlindungan menyeluruh.

Dari perspektif makroekonomi, Tulus menilai bahwa SEOJK ini bisa menggerus tingkat literasi dan partisipasi publik terhadap layanan asuransi. 

Jika dibiarkan, hal itu dapat berdampak negatif terhadap rasio penetrasi asuransi nasional yang selama ini masih rendah dibanding negara-negara lain.

“Ini bukan cuma soal keberpihakan, tapi juga soal arah kebijakan yang kontraproduktif terhadap misi jangka panjang OJK sebagai lembaga pelindung konsumen jasa keuangan,” tandasnya.

Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang mengatur penerapan skema co-payment dalam produk asuransi kesehatan. 

Aturan ini menandai perubahan penting dalam sistem klaim asuransi yang bertujuan membagi beban risiko antara perusahaan asuransi dan nasabah.

Dalam beleid tersebut, OJK menetapkan bahwa setiap pemegang polis wajib menanggung setidaknya 10 persen dari total klaim yang diajukan. Artinya, tak seluruh biaya pengobatan akan ditanggung penuh oleh perusahaan asuransi seperti sebelumnya. 

Regulasi ini disusun untuk mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih bijak, serta menjaga kesinambungan finansial perusahaan asuransi di tengah tren kenaikan klaim kesehatan.

Namun, untuk melindungi konsumen, OJK turut menetapkan batas maksimal nominal co-payment. Untuk pengajuan klaim rawat jalan, batasnya ditetapkan sebesar Rp300.000, sedangkan untuk rawat inap maksimal Rp3.000.000 per kejadian. 

Menariknya, aturan ini masih membuka ruang fleksibilitas: perusahaan asuransi atau asuransi syariah diperkenankan menetapkan angka co-payment yang lebih tinggi, asal ada kesepakatan tertulis sebelumnya dengan nasabah.

Co-payment ini hanya berlaku untuk jenis produk tertentu. Yakni, produk asuransi kesehatan berbasis ganti rugi (indemnity) dan managed care, jenis produk yang mengatur layanan kesehatan dalam jaringan fasilitas tertentu. Untuk skema managed care, kewajiban co-payment baru diberlakukan jika nasabah menjalani perawatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.

Sementara itu, ada satu pengecualian penting. Produk asuransi mikro, yang umumnya ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dibebaskan dari ketentuan pembagian risiko ini. Artinya, pemegang polis asuransi mikro tetap bisa menikmati manfaat penuh tanpa harus menanggung biaya tambahan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.