KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat inflasi pada September 2024 sebesar 1,84 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi pada September 2023 yang mencapai 2,28 persen.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab inflasi bulan ini adalah kenaikan harga kopi dunia, bertepatan dengan Hari Kopi Internasional yang jatuh pada 1 Oktober.
“Mengutip data dari International Coffee Organization, harga kopi global terus naik hingga September 2024,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 1 September 2024.
Kopi bubuk menyumbang inflasi bulanan (month to month/mtm) sebesar 0,02 persen dan inflasi tahunan sebesar 0,09 persen. Kenaikan harga kopi bubuk ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk peningkatan harga kopi global, baik dari sisi produksi maupun permintaan.
Selain kopi bubuk, komoditas lain yang berkontribusi terhadap inflasi pada September 2024 adalah ikan segar, biaya kuliah di akademi atau perguruan tinggi, tarif angkutan udara, dan sigaret kretek mesin (SKM), dengan kontribusi masing-masing 0,01 persen.
“Kopi bubuk dan biaya kuliah merupakan komoditas utama yang memberikan kontribusi signifikan terhadap inflasi,” kata Amalia menambahkan.
Papua Catat Inflasi Tertinggi, ini Penyebabnya
Badan Pusat Statistik (BPS) mengidentifikasi penyebab Papua mencatat inflasi tahunan tertinggi pada September 2024. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan sejumlah provinsi di Papua mengalami inflasi tahunan yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lain, dengan komoditas tertentu memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan harga.
Amalia menyebut komoditas penyumbang inflasi tahunan di Papua bervariasi, tergantung pada karakteristik wilayahnya. Papua Pegunungan mencatat inflasi tertinggi, mencapai 4,14 persen.
“Kontribusi utama terhadap inflasi di Papua Pegunungan berasal dari sigaret kretek tangan sebesar 1,21 persen, ketela rambat 0,96 persen, dan cabai rawit 0,57 persen,” jelas Amalia dalam rilis BPS yang ditayangkan kanal YouTube BPS Statistics, Selasa, 1 Oktober 2024.
Sementara itu, Papua Tengah menempati posisi kedua dengan inflasi sebesar 3,83 persen. Di wilayah ini, komoditas seperti cabai rawit, beras, dan emas perhiasan menjadi penyebab utama tingginya inflasi.
Papua Barat, dengan inflasi tahunan 2,91 persen, mencatat bahwa ikan segar, beras, dan tarif angkutan udara atau tiket pesawat menjadi faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga. Di Papua Barat Daya, yang mengalami inflasi sebesar 2,59 persen, komoditas seperti ikan segar, beras, dan cabai rawit turut memberikan kontribusi besar.
“Terlihat jelas bahwa meskipun provinsi-provinsi ini berada di wilayah yang sama, yaitu Papua, komoditas yang menyumbang inflasi di setiap wilayah berbeda-beda, tergantung pada karakteristik daerah tersebut,” terang Amalia.
Tertinggi dan Terendah di Indonesia
BPK merilis data yang menunjukkan Papua Pegunungan sebagai wilayah dengan inflasi tertinggi di kawasan Maluku-Papua, mencapai 4,14 persen. Sebaliknya, Papua mencatat inflasi terendah di kawasan tersebut dengan tingkat 0,82 persen.
Di Pulau Sumatra, Kepulauan Riau tercatat sebagai daerah dengan inflasi tertinggi sebesar 2,53 persen, sementara Kepulauan Bangka Belitung berada di posisi terendah dengan inflasi hanya 0,49 persen.
Kalimantan Timur mencatat inflasi tertinggi di Pulau Kalimantan, mencapai 2,16 persen. Sedangkan Kalimantan Tengah mencatat inflasi terendah sebesar 1,45 persen.
Untuk Pulau Sulawesi, inflasi tertinggi terjadi di Sulawesi Utara dengan angka 3,66 persen, sementara Sulawesi Tenggara mencatat inflasi terendah sebesar 1,06 persen.
Di Pulau Jawa, Jawa Barat menjadi wilayah dengan inflasi tertinggi sebesar 2,08 persen, sedangkan Jawa Tengah mencatat inflasi terendah di level 1,57 persen.
Terakhir, Bali mencatat inflasi tertinggi di kawasan Bali-Nusa Tenggara dengan angka 2,67 persen, sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat inflasi terendah di level 1,07 persen.
Nilai Tukar Petani Naik
BPS jugamelaporkan Nilai Tukar Petani (NTP) pada September 2024 mencapai 120,30, naik 0,38 persen secara bulanan (month-to-month/mtm). NTP merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani, yang juga mencerminkan daya beli serta kesejahteraan petani di pedesaan.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyebut kenaikan NTP disebabkan oleh meningkatnya indeks harga yang diterima petani sebesar 0,20 persen ke angka 145,01. Sementara itu, indeks harga yang dibayar petani justru turun 0,18 persen menjadi 120,54.
Sejumlah komoditas yang berkontribusi terhadap kenaikan indeks harga yang diterima petani meliputi gabah, kelapa sawit, kopi, dan karet. Sebaliknya, penurunan indeks harga yang dibayar petani dipengaruhi oleh harga cabai merah, cabai rawit, bensin, dan tomat sayur.
BPS juga mencatat kenaikan tertinggi NTP terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR), dengan peningkatan sebesar 1,72 persen. Sebaliknya, penurunan terbesar dialami oleh sektor hortikultura yang turun 6,41 persen, dipicu oleh penurunan harga yang diterima petani sebesar 6,51 persen, lebih besar dari penurunan harga yang dibayar petani sebesar 0,10 persen.
Amalia juga menyampaikan dari sisi wilayah, sebanyak 24 provinsi mencatatkan kenaikan NTP, dengan Bengkulu mengalami kenaikan tertinggi sebesar 2,68 persen. Sementara itu, Papua Barat mengalami penurunan terdalam sebesar 2,02 persen. (*)