KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia bergerak turun pada perdagangan Rabu, 5 Juni 2025, setelah laporan dari pemerintah Amerika Serikat menunjukkan lonjakan tajam pada persediaan bahan bakar, terutama bensin dan solar.
Penambahan stok yang jauh di atas ekspektasi analis ini memicu kekhawatiran soal kelebihan pasokan, di tengah rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi serta prospek permintaan energi yang tertekan akibat ketegangan dagang global.
Harga minyak jenis Brent ditutup turun 77 sen atau 1,2 persen ke level USD 64,86 per barel. Sementara itu, minyak acuan AS West Texas Intermediate (WTI) melemah 56 sen atau 0,9 persen menjadi USD 62,85 per barel.
Menurut data dari Energy Information Administration (EIA), stok bensin AS melonjak lebih dari 5 juta barel dalam sepekan terakhir, jauh di atas proyeksi analis yang memperkirakan kenaikan hanya 600 ribu barel.
Stok distilat, yang mencakup solar dan minyak pemanas, juga naik 4,2 juta barel, empat kali lebih besar dari perkiraan awal. Sebaliknya, stok minyak mentah turun 4,3 juta barel, lebih besar dari estimasi penurunan 1 juta barel.
Namun analis melihat penurunan tersebut bukan sebagai sinyal kekuatan pasar.
“Laporan ini justru memperlihatkan sisi bearish karena kenaikan besar pada produk olahan. Permintaan kilang terhadap minyak mentah memang meningkat setelah libur Memorial Day, tapi kenaikan pasokan dan lemahnya permintaan yang tersirat membuat stok bensin dan solar membengkak,” ujar analis energi di UBS Giovanni Staunovo.
Opec+ Berencana Tambah Produksi 411.000 Barel per Hari
Pasar juga dibayangi langkah OPEC+ yang berencana menambah produksi sebesar 411.000 barel per hari pada bulan Juli. Di tengah sinyal melambatnya permintaan global, langkah ini dinilai berisiko menambah tekanan pada harga.
Kondisi semakin kompleks ketika Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan global, menyusul dampak berkepanjangan dari kebijakan dagang Presiden Donald Trump terhadap perekonomian AS. Hal ini dapat berdampak langsung pada permintaan minyak dunia.
Dalam laporan terbarunya, bank sentral AS (The Fed) juga menyatakan bahwa aktivitas ekonomi menurun dan tarif yang lebih tinggi mulai mendorong inflasi ke level yang mengkhawatirkan.
Sementara itu, dinamika geopolitik turut memperkeruh suasana. Presiden Rusia Vladimir Putin menekan AS untuk bereaksi terhadap serangan-serangan yang menargetkan aset strategis Rusia, termasuk pesawat pengebom berkemampuan nuklir dan jembatan utama yang disebut Moskow sebagai sasaran sabotase dari Ukraina.
Di sisi lain, produksi minyak Kanada mulai kembali normal setelah sempat terganggu akibat kebakaran hutan di wilayah Alberta. Canadian Natural Resources mengonfirmasi bahwa operasional di fasilitas Jackfish 1 sudah berjalan kembali, menyusul meredanya ancaman api.
Sebelumnya, kebakaran di Kanada telah memangkas produksi hingga 344.000 barel per hari, menurut estimasi Reuters.
Dalam pandangan pasar, kombinasi antara peningkatan pasokan dan lesunya permintaan menjadi hambatan utama bagi harga minyak untuk naik lebih tinggi dalam waktu dekat.
“Dengan latar belakang potensi oversupply dan pertumbuhan permintaan yang melambat, kami melihat ruang bagi kenaikan harga sangat terbatas,” kata analis di Saxo Bank Ole Hansen.
Pasar kini menghadapi periode yang rentan. Volatilitas tinggi, sinyal ekonomi yang melemah, dan ketegangan geopolitik menciptakan lanskap yang sulit ditebak, tidak hanya bagi harga minyak tapi juga bagi arah ekonomi global secara keseluruhan.(*)