KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global encer alias merosot lebih dari satu dolar per barel pada perdagangan Rabu waktu setempat, 7 Mei 2025. Hal ini dipicu mencairnya tensi antara Washington dan Teheran (AS-Iran), yang memberikan harapan bahwa sanksi terhadap minyak Iran mungkin akan segera dilonggarkan. Akibatnya, pasokan global kembali meningkat.
Tidak hanya itu, melemahkan harga minyak mentah global juga dipicu oleh keraguan investor terhadap hasil pembicaraan dagang antara Amerika Serikat dan China yang akan berlangsung di Swiss.
Brent crude, yang menjadi acuan harga minyak global, ditutup melemah USD1,03 atau 1,66 persen menjadi USD61,12 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI), patokan harga minyak AS, juga turun USD1,02 atau 1,73 persen ke level USD58,07 per barel.
Pertemuan antara pejabat tinggi AS dan China di Swiss menjadi sorotan pasar karena dinilai sebagai langkah awal untuk meredakan perang dagang yang selama ini mengganggu kestabilan ekonomi global.
Sayangnya, harapan bahwa pertemuan ini akan menghasilkan terobosan nyata masih sangat rendah. Meski agenda pertemuan menandai upaya diplomatik lanjutan, sebagian besar pelaku pasar tetap skeptis.
Thiago Duarte, analis pasar dari Axi, menyebut bahwa pertemuan ini mungkin hanya bersifat simbolis, karena tanpa konsesi besar dari pihak China, sangat kecil kemungkinan Amerika akan melunak. Pernyataan dari Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang menyebut pembicaraan tersebut sebagai "kebalikan dari negosiasi lanjutan", memperkuat pesimisme itu.
Dari sisi geopolitik lainnya, pernyataan mengejutkan datang dari Wakil Presiden AS JD Vance, yang mengatakan bahwa negosiasi nuklir dengan Iran berjalan cukup baik sejauh ini. Ia bahkan menyebut bahwa kesepakatan yang dapat membuka kembali akses Iran ke pasar global dan sekaligus mencegah pengembangan senjata nuklir, bukanlah sesuatu yang mustahil.
Jika hal ini terwujud, maka sanksi atas ekspor minyak Iran, yang selama ini ditekan habis-habisan oleh AS, bisa saja dilonggarkan. Padahal, Iran memproduksi lebih dari tiga juta barel per hari, atausekitar 3 persen dari total produksi minyak global.
Kekhawatiran terhadap kelebihan pasokan juga semakin terasa setelah data dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan adanya lonjakan stok bensin di AS pekan lalu. Ini menjadi sinyal bahwa permintaan dalam negeri bisa jadi sedang melemah, padahal musim panas, yang biasanya mendongkrak konsumsi bahan bakar, sudah mendekat.
Bob Yawger dari Mizuho menyebut kondisi ini sebagai "laporan bensin yang mengecewakan pertama dalam beberapa pekan". Hal ini menandakan bahwa optimisme sebelumnya terhadap permintaan mulai memudar.
Produksi Minyak AS Anjlok
Meski begitu, pasar juga mencatat sisi positif dari laporan yang sama: cadangan minyak mentah AS justru menurun sebanyak dua juta barel, jauh di atas ekspektasi analis yang hanya memperkirakan penurunan sekitar 833 ribu barel. Hal ini sedikit membantu menahan tekanan di pasar.
Namun demikian, ada kekhawatiran bahwa produksi minyak AS mungkin telah mencapai puncaknya. Beberapa produsen mengindikasikan akan mulai mengurangi belanja modal, yang bisa menjadi sinyal bahwa pertumbuhan output tidak akan seagresif sebelumnya.
Di sisi lain, konflik yang terus berlangsung di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan kelompok Houthi, terus menjaga premi risiko geopolitik tetap tinggi.
Tamas Varga, analis energi di PVM Oil, memperkirakan volatilitas harga minyak masih akan tinggi dalam waktu dekat, terutama jika pasokan dari OPEC+ datang lebih cepat dari perkiraan.
Ia juga menekankan bahwa arah kebijakan energi AS yang tidak bisa diprediksi menjadi salah satu faktor utama yang membuat pasar tetap gelisah.
Dengan kondisi seperti ini, pasar minyak mentah menghadapi tarik ulur yang rumit antara potensi lonjakan pasokan global dan ketidakpastian permintaan.
Di satu sisi ada risiko geopolitik yang menjaga harga tetap tinggi, tapi di sisi lain, prospek kesepakatan internasional dan sinyal pelemahan ekonomi menahan laju penguatan.
Harga Sempat Rebound
Sehari sebelumnya harga minyak mentah dunia berhasil bangkit setelah pekan lalu tertekan cukup dalam. Kontrak WTI untuk pengiriman Juni tercatat menguat lebih dari 3 persen dan ditutup di level US$59,62 per barel.
Kenaikan ini menandai rebound teknikal setelah pasar sempat dilanda kekhawatiran soal kelebihan pasokan dari OPEC+. Namun kali ini, dorongan positif datang bukan hanya dari sisi teknikal, tapi juga dari potensi menguatnya permintaan global, khususnya dari China dan Eropa.
Pasar mencatat lonjakan aktivitas belanja di China selama libur Hari Buruh sebagai salah satu pemicu utama penguatan harga minyak. Selama lima hari libur nasional, konsumen di Negeri Tirai Bambu meningkatkan pengeluaran secara signifikan.
Situasi ini mencerminkan perbaikan sentimen domestik dan kembalinya gairah konsumsi dan dinilai sebagai sinyal positif bagi prospek permintaan energi, mengingat China merupakan salah satu konsumen minyak terbesar dunia.
Tak hanya dari Asia, kabar baik juga datang dari Eropa. Data terbaru dari LSEG I/B/E/S menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut kini diperkirakan mampu membukukan pertumbuhan laba bersih sebesar 0,4 persen secara tahunan untuk kuartal pertama 2025.
Sebelumnya, proyeksi pasar justru memperkirakan penurunan laba sebesar 1,7 persen YoY. Revisi ke atas ini memberikan indikasi bahwa aktivitas ekonomi di Eropa mulai menunjukkan pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan awal, dan itu ikut memperkuat ekspektasi terhadap kenaikan konsumsi energi di wilayah tersebut.
Kenaikan harga minyak ini tentu menjadi kabar baik bagi pasar energi global, yang dalam beberapa waktu terakhir dihantui oleh kekhawatiran oversupply akibat tingginya produksi dari negara-negara anggota OPEC+.
Meski tekanan pasokan masih membayangi, optimisme terhadap sisi permintaan tampaknya cukup kuat untuk menahan harga tetap stabil di zona yang lebih tinggi.
Bagi pasar saham dalam negeri, terutama sektor energi, penguatan harga minyak mentah ini bisa menjadi pemicu pergerakan positif dalam jangka pendek.
Emiten-emiten seperti Medco Energi (IDX: MEDC), Energi Mega Persada (IDX: ENRG), Ratu Prabu Energi (IDX: RATU), hingga penyedia jasa migas seperti Wintermar Offshore (IDX: WINS), Elnusa (IDX: ELSA), dan Logindo Samudramakmur (IDX: LEAD), berpotensi mencatatkan performa saham yang lebih baik bila tren kenaikan harga minyak ini berlanjut.
Meskipun demikian, pasar tetap akan memantau faktor-faktor global yang dapat memengaruhi harga ke depan. Dinamika kebijakan OPEC+, data ekonomi lanjutan dari AS, China, dan Eropa, serta ketegangan geopolitik yang masih berlangsung di beberapa kawasan. Semuanya akan tetap menjadi variabel penting dalam menentukan arah harga minyak dalam beberapa pekan ke depan.(*)