KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global mengalami pergerakan yang relatif stabil pada penutupan perdagangan Rabu, 27 November 2024 waktu setempat.
Meskipun menghadapi tekanan dari lonjakan mengejutkan dalam persediaan bensin di Amerika Serikat dan kekhawatiran tentang prospek kebijakan suku bunga Federal Reserve tahun depan, harga minyak mentah masih mampu bertahan.
Di sisi lain, kekhawatiran pasokan yang sebelumnya mendominasi pasar mulai mereda, menyusul kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah Lebanon.
Minyak mentah berjangka Brent, sebagai patokan internasional, ditutup naik tipis sebesar 2 sen menjadi USD72,83 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), patokan Amerika Serikat, turun 5 sen menjadi USD68,72 per barel.
Data terbaru dari Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan peningkatan persediaan bensin. Sebelumnya, persediaan bensin hanya sebanyak 3,3 juta barel dalam satu minggu, kini naik menjadi 212,2 juta barel.
Kenaikan ini bertentangan dengan ekspektasi analis yang sebelumnya memprediksi bahwa minyak mentah mengalami penurunan produksi sebanyak 46.000 barel, jauh melampaui prediksi penurunan 605.000 barel.
Analis mencatat, lonjakan persediaan bensin ini tidak diiringi perubahan signifikan dalam permintaan. Padahal, diprediksi akan ada rekor jumlah perjalanan di liburan Thanksgiving kali ini. Situasi ini menekan harga minyak karena mencerminkan potensi melemahnya permintaan dalam beberapa minggu ke depan.
Selain itu, data ekonomi AS yang menunjukkan laju inflasi yang tersendat mempersempit kemungkinan Federal Reserve untuk memangkas suku bunga lebih agresif pada 2025. Trader kini memperkirakan peluang pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember, tetapi mereka juga melihat kemungkinan suku bunga tetap bertahan pada pertemuan berikutnya, di Januari dan Maret 2025.
Ketidakpastian geopolitik turut membayangi pergerakan harga minyak. Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah yang ditengahi Amerika Serikat dan Prancis dan mulai berlaku pada Rabu kemarin, ikut mempengaruhi.
Meski demikian, pasar tetap waspada. Banyak pihak yang mempertanyakan berapa lama gencatan senjata ini dapat bertahan.
Pasar juga mencermati diskusi di antara anggota OPEC+ terkait kemungkinan menunda rencana peningkatan produksi minyak yang semula dijadwalkan pada Januari 2025. Kelompok ini, yang menyumbang sekitar setengah dari produksi minyak dunia.
Namun, kali ini mereka menghadapi tantangan dari permintaan global yang melemah serta lonjakan produksi di luar OPEC+.
Analis dari Goldman Sachs dan Morgan Stanley menggarisbawahi bahwa harga minyak saat ini dinilai undervalued, terutama mengingat risiko pasokan dari Iran yang dapat terpengaruh oleh kemungkinan sanksi baru ketika Donald Trump menjabat sebagai presiden AS.
Selain itu, ancaman tarif 25 persen terhadap minyak mentah yang diimpor dari Meksiko dan Kanada oleh pemerintahan Trump, menambah ketidakpastian. Kebijakan ini diperkirakan akan menaikkan biaya minyak bagi penyuling AS, menekan margin keuntungan, dan berpotensi mendongkrak harga bahan bakar.
Meski ada banyak faktor yang menekan harga, dukungan dari potensi penundaan produksi OPEC+ serta pandangan bahwa harga minyak undervalued memberikan harapan untuk pemulihan dalam jangka menengah.
Semua ini menempatkan pasar minyak dalam situasi yang kompleks, dengan dinamika geopolitik, kebijakan moneter, dan kondisi pasokan global menjadi penentu utama arah pergerakan harga ke depan.
Sehari sebelumnya, Selasa, 26 November 2024, harga minyak dunia sempat melemah . Penurunan ini terjadi setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata permanen antara Israel dan Lebanon, yang mengurangi premi risiko geopolitik pada harga minyak.
Harga minyak Brent turun 20 sen atau 0,27 persen menjadi USD72,81 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat melemah 17 sen atau 0,25 persen ke USD68,77 per barel, menurut laporan Reuters.
Kabinet keamanan Israel telah menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang akan mulai berlaku pada Rabu kemarin. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kesiapan untuk melaksanakan kesepakatan tersebut dan memperingatkan akan merespons keras setiap pelanggaran oleh Hizbullah.
“Gencatan senjata ini dapat menekan harga minyak mentah, terutama jika pemerintah Amerika Serikat mempertimbangkan untuk melonggarkan sanksi terhadap minyak Iran, pendukung utama Hizbullah,” ujar Alex Hodes, analis dari StoneX.
Di sisi lain, Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana pemberlakuan tarif 25 persen untuk semua produk yang masuk dari Meksiko dan Kanada, tanpa pengecualian untuk minyak mentah.
American Petroleum Institute, kelompok pelobi minyak dan gas terbesar di AS, menyebut kelancaran aliran produk energi antara AS, Meksiko, dan Kanada sebagai elemen krusial bagi stabilitas pasar. Saat ini, sebagian besar ekspor minyak Kanada, mencapai 4 juta barel per hari, mengalir ke Amerika Serikat.
Namun, analis memperkirakan kecil kemungkinan tarif tersebut benar-benar diterapkan pada minyak Kanada, mengingat ketergantungan AS terhadap jenis minyak yang sulit digantikan dari negara tetangganya itu.(*)