Logo
>

Harga Patokan Ekspor Pertambangan Turun di September 2024

Ditulis oleh Dian Finka
Harga Patokan Ekspor Pertambangan Turun di September 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan mengungkap Bea Keluar (BK) yang dikenakan pada seluruh komoditas produk pertambangan mengalami penurunan pada periode September 2024.

    Hal ini dikarenakan turunnya permintaan produk pertambangan di pasar dunia. Penurunan harga ini turut memengaruhi Harga Patokan Ekspor (HPE) produk pertambangan yang dikenakan BK periode September 2024. 

    Adapun penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1199 Tahun 2024 pada 28 Agustus 2024 tentang Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertambangan yang Dikenakan Bea Keluar.

    Seluruh komoditas produk pertambangan yang dikenakan BK turun harga pada periode September 2024 jika dibandingkan dengan periode Agustus 2024," ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim, Jakarta, Sabtu 31 Agustus 2024.

    "Komoditas tersebut yakni konsentrat tembaga, konsentrat besi laterit, konsentrat timbal, dan konsentrat seng,tambahnya.

    Lebih lanjut Isy memaparkan produk pertambangan dengan penurunan harga rata-rata pada periode September 2024, yaitu konsentrat tembaga (Cu ≥ 15 persen) dengan harga rata-rata USD 3.750,03/WE atau turun sebesar 3,12 persen; konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) (Fe ≥ 50 persen dan Al2O2 + SiO2 ≥ 10 persen) dengan harga rata-rata USD 43,61/WE atau turun sebesar 7,37 persen; konsentrat timbal (Pb ≥ 56 persen) dengan harga rata-rata USD 820,29/WE atau turun sebesar 7,48 persen; dan konsentrat seng (Zn ≥ 51 persen) dengan harga rata-rata USD 685,89/WE atau turun sebesar 14,46 persen.

    Produk HPE untuk sektor pertambangan periode September 2024 ditentukan berdasarkan rekomendasi tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai instansi teknis terkait.

    Sebelum memberikan rekomendasi, Kementerian ESDM menganalisis data yang diperoleh dari Asian Metal, London Bullion Market Association (LBMA), dan London Metal Exchange (LME).

    Selanjutnya, penetapan HPE dilakukan setelah rapat koordinasi antara instansi terkait, yang meliputi Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Perindustrian.

    Harga Komoditas Pertambangan Anjlok

    Sebelumnya seluruh produk komoditas pertambangan yang dikenakan bea keluar mengalami penurunan harga para periode Agustus 2024 dibanding Juli 2024.

    Penurunan harga ini turut mempengaruhi Harga Patokan Ekspor (HPE) produk pertambangan yang dikenakan Bea Keluar (BK)  periode Agustus 2024.

    Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 968 Tahun 2024 pada 29 Juli 2024 tentang Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertambangan yang Dikenakan Bea Keluar.

    Direktur  Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Budi Santoso mengatakan penurunan harga terjadi dikarenakan turunnya permintaan atas komoditas produk pertambangan di dunia.

    “Terdapat penurunan harga seluruh komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar akibat turunnya permintaan atas komoditas tersebut di pasar dunia. Komoditas tersebut yakni  konsentrat tembaga, konsentrat besi laterit, konsentrat timbal, dan konsentrat seng,” kata Budi Santoso dalam keterangannya, Jumat, 2 Agustus 2024.

    Adapun produk pertambangan dengan penurunan harga rata-rata pada periode Agustus 2024 di antaranya adalah konsentrat tembaga (Cu ≥ 15 persen) dengan harga rata-rata USD3.856,08/WE atau turun sebesar 1,80 persen.

    Lalu ada konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) (Fe ≥ 50 persen dan Al2O2 + SiO2 ≥ 10 persen) dengan harga rata-rata USD47,07/WE atau turun sebesar 5,45 persen.

    Kemudian konsentrat timbal (Pb ≥ 56 persen) dengan harga rata-rata USD886,64/WE atau turun sebesar 1,87 persen. Serta konsentrat seng (Zn ≥ 51 persen) dengan harga rata-rata USD801,81/WE atau turun sebesar 1,16 persen.

    Raksasa Tambang Nikel Berinvestasi di Indonesia

    Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengumumkan peluang besar bagi BHP Group Ltd untuk melakukan investasi di sektor pertambangan nikel Indonesia. Walau sebelumnya telah memutuskan menghentikan bisnis nikel yang merugi di Australia hingga awal 2027, kini ada harapan baru.

    Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Umum APNI, membuka kemungkinan bahwa raksasa tambang asal Australia tersebut bisa saja menanamkan modal di Indonesia. Terlebih, situasi ini dipengaruhi oleh masa pemerintahan yang baru, di bawah pimpinan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

    “Kita sempat berdiskusi. Meski belum pasti, BHP berpotensi masuk ke Indonesia. Semua tergantung situasi politik dan regulasi dari pemerintahan yang baru. Mungkin tahun depan baru bisa terealisasi,” ujar Meidy saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa 30 Juli 2024.

    Investasi BHP di Indonesia dinilai strategis karena perusahaan tersebut membutuhkan bahan baku untuk memproduksi nickel matte dan produk turunannya. Ini sekaligus bisa mengubah stigma bahwa sektor nikel dan produk hilirnya selama ini hanya dikuasai oleh investor China.

    Meidy berharap BHP dapat membangun industri nikel dan menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal. Namun, sebelum itu, BHP perlu mencari mitra untuk lini hulu guna memastikan pasokan cadangan yang akan diolah.

    Di Australia, BHP menutup bisnis nikelnya karena tidak mampu bersaing secara biaya produksi, terutama dengan tren penurunan harga nikel. Produksi sulfida yang dilakukan BHP memiliki biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi laterite di Indonesia.

    Dengan harga nikel di kisaran USD15.000 per ton hingga USD16.000 per ton, BHP terpaksa menutup operasinya untuk menghindari kerugian. Pada penutupan perdagangan Jumat 26 Juli 2024, harga nikel di London Metal Exchange naik tipis 0,16 persen menjadi USD15.794 per ton.

    “Banyaknya insentif dari pemerintah Indonesia membuat mereka kalah dalam kompetisi biaya produksi. Jika harga nikel di atas USD25.000/ton, mungkin mereka masih bisa bertahan,” tambah Meidy.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.