Logo
>

Hong Kong Ajukan Keluhan ke WTO atas Tarif AS

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Hong Kong Ajukan Keluhan ke WTO atas Tarif AS

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Hong Kong akan membawa sengketa tarif terbaru yang diberlakukan Amerika Serikat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah kota lewat Sekretaris Kepala Eric Chan menuding Washington telah sepenuhnya mengabaikan status Hong Kong sebagai wilayah pabean terpisah.

    "Ini bertentangan dengan aturan WTO. Mereka sama sekali mengabaikan kenyataan bahwa Hong Kong memiliki status pabean sendiri," ujar Chan, pejabat nomor dua di kota yang berada di bawah pemerintahan China, dalam konferensi pers. Seperti dikutip reuters di Jakarta, Selasa 11 Februari 2025.

    Chan menegaskan bahwa pemerintah Hong Kong akan mengajukan keluhan resmi ke WTO terkait kebijakan tarif yang disebutnya sebagai "tidak masuk akal." Namun, ia tidak merinci langkah yang akan diambil.

    Pernyataan tersebut muncul setelah AS memutuskan untuk mengenakan tarif 10 persen pada barang-barang asal Hong Kong, sebagai bagian dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menargetkan impor dari China.

    Kebijakan perdagangan AS semakin memicu ketidakpastian setelah Layanan Pos AS pekan lalu sempat menghentikan pengiriman surat dan paket dari China dan Hong Kong. Keputusan itu langsung menimbulkan kekacauan di kalangan pengecer dan perusahaan logistik sebelum akhirnya dibatalkan secara mendadak.

    "Kebijakan ini tidak menentu dan membingungkan," kata Chan menanggapi langkah AS.

    Selain tarif, pemerintahan Trump juga mencabut pengecualian bea masuk de minimis untuk paket bernilai di bawah $800, dengan dalih mencegah masuknya fentanil dan bahan kimia prekursor ke AS.

    Hong Kong, yang selama ini dikenal sebagai pusat perdagangan bebas dan terbuka, mulai kehilangan keistimewaannya di mata Washington sejak China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional di kota itu pada 2020. Langkah Beijing memicu kritik tajam dari AS dan mengakhiri status khusus Hong Kong di bawah hukum AS, yang semakin memperburuk ketegangan antara kedua negara.

    Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, AS mewajibkan barang buatan Hong Kong yang diekspor ke Negeri Paman Sam untuk diberi label "Made in China." Aturan ini menghapus salah satu keunggulan kompetitif utama Hong Kong sebagai pusat perdagangan global.

    Persaingan Tarif Pajak

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa dunia saat ini sedang menghadapi tantangan baru, yaitu persaingan tarif pajak yang tidak sehat di antara negara-negara.

    “Saat ini, salah satu masalah yang dihadapi dunia adalah kompetisi tarif pajak yang tidak sehat,” tulisnya dalam unggahannya di Instagram @smindrawati, dikutip Rabu, 25 September 2024.

    Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bekerja sama dengan organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial global.

    Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah penerapan Multilateral Instrument Subject to Tax Rule (MLI STTR), yang telah disepakati oleh 42 negara dan yurisdiksi, termasuk Indonesia.

    “MLI STTR ini merupakan bagian dari Pilar Kedua dalam kesepakatan global, yang bertujuan untuk mengurangi persaingan tarif pajak yang tidak sehat,” jelas Sri Mulyani.

    Dengan menandatangani MLI STTR, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mengadopsi instrumen ini. Perjanjian ini sangat penting bagi banyak negara berkembang yang tergabung dalam Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). MLI STTR juga bertujuan untuk memulihkan hak pemajakan atas beberapa jenis transaksi lintas batas antar perusahaan, seperti bunga, royalti, dan pembayaran jasa lainnya.

    Sri Mulyani menambahkan, bahwa bagi negara berkembang, mobilisasi sumber daya sangatlah penting, dan MLI STTR dapat menjadi solusi untuk melindungi basis pajak korporasi mereka.

    “Saat ini, lebih dari 1.000 perjanjian pajak, sekitar seperempat dari perjanjian pajak di dunia telah tercakup dalam komitmen ini,” ujarnya.

     Gabungkan Ditjen Pajak dan Bea Cukai Berisiko

    Rencana ambisius Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, untuk melebur Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai menjadi Badan Otorita Penerimaan Negara telah memicu reaksi tajam, termasuk dari Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah yang digadang-gadang sebagai upaya untuk meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax-to-GDP ratio) ini dianggap berisiko tinggi jika tidak dipersiapkan dengan matang.

    IMF, dalam dokumen terbarunya, memberikan peringatan serius bahwa pembentukan badan baru ini bisa menjadi bumerang jika tidak dirancang dengan teliti.

    “Rencana untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) harus dirancang dengan hati-hati, karena restrukturisasi seperti itu mungkin akan memakan banyak biaya,” tulis IMF, dikutip Senin, 12 Agustus 2024.

    Menurut IMF, justru masalah mendasar dalam administrasi perpajakan Indonesia perlu diatasi terlebih dahulu sebelum memulai perubahan besar seperti ini.

    IMF menyebutkan, belajar dari pengalaman internasional memperlihatkan keberhasilan dalam administrasi penerimaan tidak hanya bergantung pada restrukturisasi, tetapi juga pada perbaikan manajemen risiko, digitalisasi, dan peningkatan basis wajib pajak.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.