KABARBURSA.COM - Pasar minyak dunia tampak seolah sudah 'kebal' terhadap ancaman eskalasi konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara atau Middle East and North Africa (MENA). Ini tercermin dari anomali moderat yang baru-baru ini terjadi pada Brent. Namun, bukan berarti risiko lonjakan harga minyak dunia telah benar-benar teratasi.
Hari ini, Brent untuk pengiriman Oktober turun 0,6 persen menjadi USD81,84 per barel di Singapura. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September juga merosot 0,6 persen menjadi USD79,58 per barel.
Sejarah membuktikan bahwa tensi politik di wilayah MENA biasanya menjadi pemicu utama yang dapat mengguncang harga minyak dunia dalam waktu singkat.
Akhir-akhir ini, salah satu potensi risiko yang dapat memicu pembalikan harga adalah balasan atas tiga serangan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap Iran, Lebanon, dan Irak pada 30—31 Juli lalu.
Bersamaan dengan itu, risiko geopolitik di Timur Tengah melonjak ke tingkat tertinggi sejak perang Israel-Hamas pecah pada Oktober tahun lalu, dan para analis memperkirakan probabilitas perang regional mencapai 50 persen.
Jika perang regional pecah, dampaknya akan langsung terasa pada pasokan minyak di kawasan tersebut melalui berbagai cara, seperti penegakan sanksi yang lebih ketat terhadap Iran, serangan terhadap infrastruktur minyak dan gas bumi (migas), atau gangguan pada perdagangan migas internasional.
Potensi gangguan terhadap produksi dan ekspor juga sangat besar, mengingat MENA adalah kawasan pengekspor minyak dominan secara global. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi tiga titik sempit maritim utama dunia Selat Hormuz, Selat Bab el-Mandeb, dan Terusan Suez yang dilalui lebih dari sepertiga tanker minyak dunia setiap tahunnya.
Reaksi Tenang
Dengan segala risiko tersebut, sungguh mengejutkan bahwa reaksi pasar minyak terhadap meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hizbullah sejauh ini begitu "kalem." Perkembangan geopolitik di MENA hanya berkontribusi pada beberapa reli harga minyak Brent dalam 10 bulan terakhir.
Iran, Hizbullah, dan sekutu lainnya yang tergabung dalam 'Poros Perlawanan' secara luas diperkirakan akan membalas serangan pada bulan lalu, tetapi waktu dan bentuk pembalasan ini belum dapat diprediksi, menimbulkan ketidakpastian yang cukup besar.
Hal ini tercermin dalam aset keuangan terkait lainnya, seperti shekel Israel dan rial Iran, tetapi tidak ada premi risiko yang diperhitungkan dalam harga minyak.
"Sentimen di pasar minyak lemah dan posisi short telah terbentuk. Pelaku pasar saat ini lebih responsif terhadap perkembangan di sisi permintaan daripada penawaran, dan lebih reaktif terhadap faktor bullish dibandingkan yang bearish," papar tim analis BMI lengan riset Fitch Solutions dalam laporan mereka tentang prospek minyak Brent, dikutip Selasa 13 Agustus 2024.
Bagaimanapun, BMI tetap mengingatkan bahwa pasar minyak sering kali mengalami perubahan sentimen yang besar dan tiba-tiba, dan jika ketegangan di kawasan MENA meningkat lebih lanjut, ada risiko besar bahwa investor akan lengah.
"Sulit untuk mengukur dampaknya terhadap harga [minyak], mengingat banyak hal bergantung pada sifat konflik. Namun, dengan pembalasan oleh 'Poros Perlawanan' yang hampir tak terelakkan, kami melihat tiga skenario utama yang terjadi, dengan dampak yang luas bagi Brent," papar lembaga tersebut.
Skenario Harga Minyak Dunia
Tim peneliti BMI mengkalibrasi tiga kemungkinan skenario harga minyak acuan Brent jika aksi retaliasi Iran dan sekutunya terhadap Israel dan AS benar-benar terjadi. Berikut adalah analisisnya:
- Skenario respons kecil Israel, diikuti oleh deeskalasi
Probabilitas: 50 persen
Dampak ke minyak: Harga cenderung bearish di pasar dalam jangka pendek.
Proyeksi bearish ini juga didorong oleh faktor-faktor lain seperti kekhawatiran resesi ekonomi AS yang berlebihan, OPEC+ yang sedang bersiap untuk menetapkan harga dasar, stok minyak yang terlalu banyak, dan posisi yang terlalu bearish, di mana Brent memangkas sebagian kerugiannya baru-baru ini.
Kontrak bulan berikutnya kemungkinan akan diperdagangkan dalam kisaran USD75 per barel—USD85 per barel sepanjang tahun ini.
- Respons Israel yang lebih besar, tetapi hanya di Lebanon
Probabilitas: 45 persen
Dampak ke minyak: Brent kemungkinan akan menguat dalam kisaran USD5 per barel—USD10 per barel, sebanding dengan reaksi yang terlihat setelah dimulainya perang Israel-Hamas.
Namun, tanpa faktor infrastruktur minyak yang secara langsung berisiko, harga akan turun karena investor menjadi terbiasa dengan konflik dan mengabaikan ancaman konfrontasi langsung dengan Iran.
Kontrak bulan berikutnya tidak mungkin naik secara berkelanjutan di atas USD90 per barel dan akhirnya akan kembali ke kisaran perdagangan USD75 per barel—USD85 per barel.
Meski demikian, serangan yang lebih sering antara Israel dan Iran akan memungkinkan premi risiko tambahan, meskipun bersifat sporadis.
- Respons besar Israel, baik di Lebanon maupun Iran
Probabilitas: 5 persen
Dampak ke minyak: Harga minyak dipastikan akan melonjak tajam, setara dengan reaksi yang terlihat dalam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, dengan Brent berisiko melampaui USD100 per barel.
Pasokan minyak global juga akan terdampak melalui kombinasi dari berkurangnya perdagangan dengan Iran, serangan langsung terhadap infrastruktur minyak regional, dan gangguan lebih lanjut di Laut Merah.
Potensi sejauh mana Brent dapat menembus USD100 per barel — dan berapa lama dapat bertahan di level tersebut — akan sangat dipengaruhi oleh skala gangguan ini.
Dalam skenario ekstrem di mana Iran memblokir Selat Hormuz, 15 persen lebih perdagangan global akan ditutup dan harga minyak akan melonjak di atas USD150 per barel. (*)