KABARBURSA.COM – Ketegangan lama antara India dan Pakistan kembali mencuat setelah serangan kelompok bersenjata di wilayah Kashmir yang memicu respons militer keras dari New Delhi. Di tengah dinamika global yang belum sepenuhnya stabil akibat perang dagang, eskalasi ini kembali menarik perhatian pelaku ekonomi internasional, termasuk Indonesia sebagai bagian dari blok ekonomi BRICS.
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai bahwa meski tensi antara India dan Pakistan sedang tinggi, dampaknya terhadap BRICS tidak akan signifikan.
Menurutnya, negara-negara BRICS termasuk Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan, tidak akan ikut terseret dalam konflik bilateral dua negara Asia Selatan tersebut.
“BRICS tidak akan terjebak dalam konflik India-Pakistan. Ini bukan kali pertama dua negara tersebut bersitegang, dan seperti sebelumnya, konflik kali ini pun cenderung akan cepat berakhir. Tidak ada sinyal keterlibatan negara BRICS lainnya dalam konflik ini,” jelas Teuku saat dihubungi KabarBursa.com, Rabu, 7 Mei 2025
Menurut Teuku, sifat konflik yang berakar pada sejarah panjang etnis, agama, dan wilayah membuatnya lebih bersifat bilateral ketimbang multilateral. Oleh sebab itu, keterlibatan blok ekonomi seperti BRICS dalam urusan ini diprediksi akan sangat minim.
Dampak terhadap Indonesia: Perlu Waspadai Risiko Tak Langsung
Namun demikian, Teuku mengingatkan bahwa Indonesia tetap harus bersikap hati-hati dan tidak gegabah. Sebagai sesama anggota BRICS, Indonesia perlu menjaga posisi netral dan menghindari kesan keberpihakan, baik langsung maupun tidak langsung.
“Risiko terbesar bagi Indonesia adalah munculnya kekhawatiran dari India ataupun Pakistan bila Indonesia dinilai condong ke salah satu pihak. Misalnya dalam memberikan informasi pengawasan atau kendali terhadap jalur strategis dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI kepada salah satu negara,” ungkapnya. Lebih jauh, Teuku menyebut adanya dua red flag yang harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia.
Red Flag Sosial dan Diplomatik
Pertama, keresahan masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis India atau Pakistan. Menurutnya, konflik di Asia Selatan bisa memicu ketegangan sosial yang merembet ke lingkungan bisnis dan budaya di dalam negeri.
“Keresahan ini bisa menular ke sektor sosial dan bisnis, terutama di kawasan-kawasan dengan konsentrasi komunitas diaspora India dan Pakistan. Pemerintah perlu menjaga situasi agar tetap kondusif,” ucapnya.
Red flag kedua, menurut Teuku, adalah kemungkinan manuver diplomatik dari Kedutaan Besar India dan Pakistan di Indonesia, yang bisa saja mencoba membangun persepsi bahwa RI berpihak pada salah satu dari mereka.
“Kita harus waspada terhadap upaya-upaya eksplisit maupun implisit dari perwakilan diplomatik kedua negara. Jangan sampai Indonesia dianggap mendukung posisi salah satu pihak, apalagi sampai menarik-narik anggota ASEAN lainnya,” tegasnya.
"Red Flag lainnya adalah kehadiran AL India dan AL Pakistan di luar EEZ Indonesia, terutama sekali diperbatasan laut antara Pulau Sabang dan wilayah Nicobar Andaman," tambahnya.
Proyek BRICS Aman, Tapi Komunikasi Perlu Dijaga
Saat ditanya soal kemungkinan terganggunya proyek-proyek strategis BRICS akibat konflik ini, Teuku meyakini hal itu kecil kemungkinan terjadi. Menurutnya, selama India tidak membawa ketegangan ini ke forum BRICS, kolaborasi antaranggota masih akan berjalan sebagaimana biasa.
“Kolaborasi strategis BRICS akan tetap berjalan selama tidak ada tekanan eksplisit dari India agar negara-negara anggota berpihak. Tapi, untuk menjaga stabilitas, komunikasi antaranggota perlu diperkuat. Indonesia sebagai anggota baru harus bisa memainkan peran penyeimbang,” pungkasnya.
Ketegangan India-Pakistan Terhadap Rupiah
Ekonom Universitas Andalas Syafrudin Karimi menilai ketegangan antara India-Pakistan dapat memberi tekanan psikologis terhadap pelaku pasar dan menekan nilai tukar rupiah.
Meski Indonesia tidak terlibat langsung dalam ketegangan India-Pakistan, namun sentiment global terhadap kawasan Asia berpotensi mendorong investor menarik dana dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Rupiah sebagai mata uang emerging narket akan terkena sentimen negatif terlebih dahulu karena faktor likuiditas dan sensitivitas terhadap perubahan portofolio global,” katanya kepada KabarBursa.com, Rabu, 7 Mei 2025.
Untuk diketahui, pada perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah dibuka melemah ke level Rp16.461 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah tercatat melemah 0,07 persen, seiring dengan pelemahan sejumlah mata uang Asia lainnya. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,30 persen ke posisi 99,5.
Syafruddin menyebut, apabila eskalasi konflik terus berlanjut, dampaknya bisa semakin signifikan. Permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS akan meningkat, sedangkan aset dalam denominasi rupiah justru tertekan.
“Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut, sentimen global terhadap kawasan Asia dapat menciptakan tekanan yang bersifat spekulatif terhadap rupiah,” terang dia.
Menurutnya, dampak limpahan dari konflik dua negara Asia Selatan tersebut perlu diwaspadai, karena bisa memengaruhi pasar keuangan dan arus perdagangan Indonesia.
“Pemerintah perlu menegaskan posisi diplomatik netral dan tetap memperkuat kerja sama ekonomi regional untuk menjaga kepercayaan investor serta stabilitas neraca transaksi berjalan,” ungkap dia.
Konflik bersenjata ini juga dapat memperburuk persepsi risiko terhadap pasar negara berkembang. Apalagi, India dan Pakistan berperan penting dalam rantai pasok global, terutama di sektor tekstil, logistik, dan teknologi informasi.
“Investor global biasanya bereaksi cepat terhadap konflik bersenjata dengan mengalihkan aset ke instrumen safe haven seperti dolar AS atau emas,” ungkap dia.
Untuk itu, Syafruddin menekankan pentingnya langkah responsif dari otoritas moneter nasional. Bank Indonesia (BI) diminta melakukan intervensi yang terukur dan memperkuat koordinasi kebijakan agar ekspektasi pasar tetap terkendali.
“Dengan langkah cepat dan kredibel, rupiah dapat tetap berada dalam kisaran yang terkendali meskipun gejolak regional meningkat,” kata dia.