KABARBURSA.COM - Menteri Perdagangan Budi Santoso alias Busan baru saja menuntaskan pertemuan strategis dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Senin, 27 Januari 2025. Intinya, kerjama sektor kelapa sawit makin diperkuat. Sawit merupakan komoditas andalan dua negara yang menguasai 80 persen produksi global.
“Pada pertemuan, Presiden Prabowo mengatakan, setiap negara yang dikunjungi selalu mengatakan perlu kelapa sawit. Presiden Prabowo pun berharap kerja sama Indonesia dan Malaysia untuk sektor ini dapat ditingkatkan,” ujar Busan dalam keterangan resmi yang dikutip KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 29 Januari 2025.
Sebagai dua raksasa produsen sawit dunia, Indonesia dan Malaysia punya kepentingan besar untuk menjaga stabilitas industri ini. Busan pun mengapresiasi dukungan Malaysia dalam upaya memperkuat kolaborasi. Ia lantas menegaskan Indonesia menginginkan kerja sama dengan Malaysia tetap berlanjut guna menghadapi berbagai hambatan baru dalam ekspor sawit ke pasar global.
Di luar sektor sawit, hubungan dagang Indonesia-Malaysia juga masih sehat. Malaysia menempati peringkat keenam sebagai tujuan ekspor dan peringkat kelima sebagai sumber impor bagi Indonesia.
Selama Januari—November 2024, total perdagangan kedua negara tercatat USD 21,06 miliar (Rp336,96 triliun). Dari angka itu, ekspor Indonesia ke Malaysia mencapai USD 10,97 miliar (Rp175,52 triliun), sementara impor dari Malaysia sebesar USD 10,09 miliar (Rp161,44 triliun). Hasilnya? Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD 882 juta (Rp14,11 triliun).
Sedangkan tahun 2023, total perdagangan Indonesia-Malaysia lebih besar lagi, yakni USD 23,2 miliar (Rp371,2 triliun). Ekspor Indonesia ke Malaysia mencapai USD 12,5 miliar (Rp200 triliun), sementara impornya USD 10,8 miliar (Rp172,8 triliun). Artinya, Indonesia tetap surplus USD 1,7 miliar (Rp27,2 triliun).
Bukan cuma sawit, Indonesia juga rutin mengirimkan bahan bakar mineral, minyak nabati dan hewani, kendaraan, besi baja, hingga tembaga ke Malaysia. Sebaliknya, Indonesia mengimpor mesin dan peralatan mekanis, plastik, perlengkapan elektronik, bahan kimia organik, serta besi baja dari Negeri Jiran.
Dari sisi investasi, Malaysia juga jadi salah satu investor asing terbesar di Indonesia. Pada 2023, Malaysia masuk dalam daftar lima besar sumber Foreign Direct Investment (FDI). Investasi Malaysia ke Indonesia tahun itu tercatat USD 4,06 miliar (Rp64,96 triliun), naik 21,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pemerintah Perlu Batasan Alokasi Sawit untuk Biodiesel
[caption id="attachment_93914" align="alignnone" width="681"] Biodiesel. (Foto: Dok GAPKI)[/caption]
Di tengah eratnya kerja sama Indonesia-Malaysia dalam industri sawit, kebijakan energi berbasis sawit juga menjadi perhatian. Salah satunya adalah rencana pemerintah untuk menerapkan biodiesel 50 persen (B50) pada 2026 yang dinilai dapat memperkuat sektor ini sekaligus mendukung transisi energi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHET), Bisman Bakhtiar, memberikan pandangan yang lebih hati-hati terkait rencana pemerintah untuk mencapai 50 persen penggunaan biodiesel pada 2026.
Menurut Bisman, meskipun kebijakan ini memiliki potensi positif dalam hal ketahanan energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca, ada beberapa dampak yang perlu dipertimbangkan lebih dalam, khususnya terkait sektor kelapa sawit dan lingkungan.
Bisman menyambut baik langkah pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan melalui biodiesel, yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama solar. "Target 50 persen biodiesel pada 2026 dari sisi energi terbarukan cukup bagus karena dapat meningkatkan kemandirian energi, mengurangi impor BBM, serta menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujar Bisman kepada KabarBursa.com di Jakarta.
Namun, Bisman mengingatkan kebijakan ini juga membawa dampak negatif yang perlu diperhatikan. Dari aspek lingkungan, ia menilai meningkatnya kebutuhan biodiesel berpotensi memperluas penggunaan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit. Hal ini bisa memicu konflik lahan serta meningkatkan pencemaran tanah dan air di sekitar kawasan perkebunan.
Selain itu, Bisman juga mengkhawatirkan ketidakstabilan harga minyak sawit di pasar domestik maupun internasional. Ia memperkirakan permintaan yang terus meningkat dapat membuat harga minyak sawit semakin fluktuatif, yang pada akhirnya berpotensi memicu inflasi.
Lebih lanjut, ia menyoroti adanya potensi persaingan dalam pemanfaatan sawit, mengingat komoditas ini selama ini menjadi bahan baku utama minyak goreng. Jika alokasi sawit untuk biodiesel bertambah tanpa pengelolaan yang tepat, dikhawatirkan akan muncul pertentangan antara sektor biodiesel dan kebutuhan pangan, yang bisa berdampak pada lonjakan harga minyak goreng dan berujung pada krisis pangan.
Bisman pun menyarankan agar pemerintah segera merancang kebijakan yang lebih terperinci mengenai alokasi sawit untuk biodiesel guna menghindari potensi dampak negatif di masa depan.
“Harus ada regulasi yang jelas tentang batasan dan proporsi alokasi sawit untuk biodiesel. Selain itu, kita juga perlu dorong diversifikasi dan inovasi teknologi yang tidak bergantung sepenuhnya pada sawit, namun juga bisa mencari alternatif sumber energi lain sebagai substitusi,” kata Bisman.(*)