Logo
>

Indonesia Siapkan Pakta Dagang Rp5.580 Triliun demi Dekatkan Diri ke AS

Indonesia akan teken MoU dagang jumbo senilai USD34 miliar dengan mitra bisnis demi meredam ancaman tarif 32 persen dari AS.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Indonesia Siapkan Pakta Dagang Rp5.580 Triliun demi Dekatkan Diri ke AS
Indonesia siapkan belanja jumbo ke AS lewat MoU dagang Rp5.580 triliun agar bebas dari tarif tinggi dan dapat akses dagang lebih baik. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Indonesia akan meneken nota kesepahaman senilai USD34 miliar (sekitar Rp5.580 triliun) dengan sejumlah mitra bisnis pada pekan depan. Langkah ini dilakukan demi mendorong peningkatan pembelian dari Amerika Serikat yang merupakan bagian dari upaya pemerintah mengamankan kesepakatan dagang sebelum tenggat 9 Juli 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan nota tersebut akan diteken pada 7 Juli. Dana jumbo itu, kata dia, akan dialokasikan untuk investasi dan pembelian produk-produk dari AS.

“Ini bagian dari upaya kita untuk memperbaiki neraca dagang dengan Amerika Serikat,” ujar Airlangga di hadapan wartawan, dikutip dari Reuters di Jakarta, Kamis, 3 Juli 2025

Amerika Serikat, yang sebelumnya mengancam menerapkan tarif hingga 32 persen terhadap produk-produk asal Indonesia, menjadi mitra dagang strategis yang kini ingin dirangkul lebih erat. Sebagai balasan, Indonesia menawarkan peningkatan volume impor dari Negeri Abang Sam, termasuk investasi baru, agar terhindar dari tekanan tarif dan memperoleh perlakuan dagang yang lebih menguntungkan.

Apa yang RI Jual, Apa yang RI Beli?

Sepanjang 2024, hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat terlihat gemuk di atas kertas, tapi nyatanya timpang. Indonesia menikmati surplus hingga USD17,9 miliar, sementara ekspor Amerika ke Jakarta tak sampai separuhnya—sekitar USD10,2 miliar. Komoditas yang mengalir ke pasar AS sebagian besar produk padat karya: pakaian jadi, alas kaki, karet, hingga elektronik sederhana. Sebaliknya, Indonesia mendatangkan kedelai, mesin industri, pesawat terbang, serta gas dan petrokimia dari Negeri Abang Sam.

Memasuki 2025, ancaman tarif 32 persen dari Washington memaksa kedua pihak bergerak. Jakarta menawarkan jalan tengah berupa nota kesepahaman senilai USD34 miliar untuk belanja barang dan investasi asal AS. Di sisi lain, Washington mulai melunak ke arah Hanoi—menurunkan tarif atas produk Vietnam menjadi 20 persen, dari sebelumnya 46 persen.

Pada 2024, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dipimpin oleh peralatan listrik dan komponen elektronik, dengan nilai menembus USD2,77 miliar. Di belakangnya, pakaian jadi berbahan rajut menyumbang lebih dari USD2,6 miliar, diikuti alas kaki dan pakaian woven yang masing-masing menyumbang lebih dari USD1 miliar. Produk-produk ini mencerminkan dominasi sektor padat karya dalam hubungan dagang RI-AS.

Minyak nabati, termasuk crude palm oil, juga masuk lima besar dengan nilai ekspor sekitar USD670 juta. Komoditas lain seperti karet dan produk turunannya, furnitur, ikan beku, serta makanan olahan laut tetap menjadi penyumbang penting dalam struktur ekspor Indonesia.

Sementara itu, mesin ringan dan boiler melengkapi deretan produk utama yang dikirim ke pasar Amerika, dengan nilai hampir USD600 juta. Komposisi ini menandakan bahwa meskipun RI mampu menembus pasar AS secara stabil, mayoritas barang yang diekspor masih berada di kelas menengah ke bawah dalam rantai nilai global.

Dari sisi impor, struktur pembelian Indonesia terhadap produk Amerika Serikat masih didominasi oleh kebutuhan primer dan barang modal. Kedelai menduduki peringkat pertama sebagai komoditas impor terbesar, dengan nilai hampir USD1,75 miliar. Angka ini mencerminkan ketergantungan tinggi Indonesia pada kedelai AS, yang menyuplai hampir 90 persen kebutuhan kedelai nasional—khususnya untuk industri tempe dan tahu dalam negeri.

Di posisi kedua, terdapat pesawat terbang dan suku cadangnya, senilai hampir USD920 juta. Komoditas ini mencakup pembelian dari produsen besar seperti Boeing dan Lockheed Martin, terutama untuk kepentingan modernisasi armada penerbangan nasional dan kebutuhan pertahanan.

Mesin industri—seperti pompa, turbin, dan peralatan pabrikasi—menempati urutan ketiga, dengan nilai mencapai USD800 juta. Barang-barang ini menjadi komponen penting dalam proses industrialisasi dan revitalisasi sektor manufaktur domestik.

Gas bumi dan produk turunannya seperti LNG dan LPG menjadi komoditas keempat terbesar. Nilainya mencapai sekitar USD680 juta, menandai babak baru kerja sama energi antara RI dan AS, seiring dorongan transisi energi bersih.

Melengkapi daftar lima besar, perangkat elektronik canggih seperti chip, sensor, dan instrumen pengukuran tercatat menyumbang sekitar USD520 juta. Produk ini banyak digunakan di sektor industri otomasi, telekomunikasi, serta pengembangan sistem digital nasional.

Struktur impor ini menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap AS terletak pada kebutuhan pangan, teknologi tinggi, dan infrastruktur industri—cerminan posisi Amerika sebagai penyedia barang modal dan energi dalam rantai pasok global Indonesia.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).