KABARBURSA.COM - Perang dagang edisi kedua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tampaknya akan sangat berbeda dari yang pertama. Pada awal masa jabatan keduanya, Trump telah mengancam akan mengenakan tarif pada barang impor senilai lebih dari USD2 triliun (Rp32.345 triliun, kurs Rp16.172), yang mencakup sekitar dua pertiga dari total nilai impor AS. Sikap agresif ini mencerminkan ambisi yang lebih luas untuk merestrukturisasi perdagangan global demi kepentingan AS, dengan lebih sedikit kendala domestik dan internasional yang menghambatnya.
Seperti dilansir dari The Washington Post, Trump telah memerintahkan kabinetnya untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap kebijakan perdagangan AS paling lambat 1 April 2024. Tinjauan ini akan mencakup perjanjian perdagangan yang ada dengan China, Kanada, dan Meksiko, serta masalah pajak dan mata uang global, dengan tujuan mengembangkan strategi perdagangan yang "kuat dan inovatif". Cakupan tinjauan ini menunjukkan bahwa Trump siap merombak sistem perdagangan global dengan cara yang dapat berdampak luas.
Salah satu perbedaan utama dalam perang dagang kedua Trump adalah perluasan penggunaan tarif untuk mencapai tujuan nonekonomi. Sementara kebijakan perdagangan periode pertamanya difokuskan terutama pada pengurangan defisit perdagangan AS dan mengatasi apa yang disebutnya praktik perdagangan "tidak adil" China, agenda periode keduanya mencakup tujuan seperti mengekang imigrasi ilegal dan perdagangan narkoba lintas batas AS.
Misalnya, Trump baru-baru ini mengumumkan tarif sebesar 25 persen untuk barang-barang Kolombia, yang berlaku segera, setelah pemerintah Kolombia menolak mengizinkan pesawat militer AS yang membawa migran yang dideportasi untuk mendarat. Ia juga memperingatkan bahwa tarif tersebut dapat naik hingga 50 persen dalam waktu seminggu. Langkah ini menggarisbawahi kesediaan Trump untuk memanfaatkan kebijakan perdagangan sebagai alat untuk pengaruh geopolitik, bahkan jika hal itu berisiko meningkatkan ketegangan dengan sekutu-sekutu utamanya.
Perbedaan penting lainnya adalah kecepatan dan kesatuan Trump dalam menjalankan agenda perdagangannya kali ini. Selama masa jabatan pertamanya, Trump membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk mengenakan tarif pada mesin cuci dan panel surya impor. Sebaliknya, ia telah mengancam akan mengenakan tarif pada China, Kanada, dan Meksiko dalam beberapa minggu setelah menjabat untuk masa jabatan keduanya. Ia juga mengisyaratkan kemungkinan untuk memperluas tarif pada barang-barang dari Eropa, Rusia, Brasil, India, dan negara-negara lain.
Percepatan waktu ini sebagian disebabkan oleh tim penasihat perdagangan yang lebih kompak. Tokoh-tokoh penting seperti Scott Bessent, calon Menteri Keuangan, dan Howard Lutnick, calon Menteri Perdagangan, sebagian besar sepakat tentang perlunya tarif impor baru, meskipun ada sedikit perbedaan dalam penerapannya. Menurut Lori Wallach, Direktur Rethink Trade, "Konsensus dalam tim kali ini mempercepat proses. Tidak ada yang secara aktif mencoba merusak keseluruhan ide."
Lanskap ekonomi global telah berubah secara signifikan sejak perang dagang pertama Trump pada tahun 2018. Dunia kini bergulat dengan inflasi yang tinggi, rantai pasokan yang rapuh, dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Faktor-faktor ini membuat perang dagang kedua Trump lebih berisiko dan lebih kompleks.
Gregory Daco, Kepala Ekonom di EY-Parthenon, mencatat bahwa "fundamental ekonomi global telah berubah secara signifikan." Ekonomi AS sendiri menghadapi tantangan, termasuk defisit anggaran yang semakin parah akibat berakhirnya pemotongan pajak Trump tahun 2017 pada akhir tahun 2024. Kebijakan perdagangan Trump bertujuan untuk menghasilkan pendapatan tarif ratusan miliar dolar untuk mengimbangi defisit ini, tetapi biaya ekonomi dan politik dari tindakan tersebut masih belum pasti.
Perang dagang kedua Trump mencerminkan tren yang lebih luas dalam kebijakan ekonomi AS: bangkitnya nasionalisme ekonomi. Dengan memprioritaskan industri dalam negeri dan memanfaatkan tarif sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan geopolitik, Trump menantang sistem perdagangan global berbasis aturan tradisional.
Ed Gresser, mantan Direktur Riset Ekonomi di Kantor Perwakilan Dagang AS di bawah Trump, mengamati bahwa "ancaman-ancaman kini lebih komprehensif, dan kendala-kendala hukum tampaknya kurang dihormati." Hal ini menunjukkan bahwa Trump merasa berani untuk membentuk kembali sistem perdagangan global tanpa mencari konsensus dari mitra-mitra internasional.
Perang dagang kedua Presiden Donald Trump diperkirakan akan lebih ambisius, agresif, dan berdampak luas daripada perang dagang pertamanya. Dengan tim yang lebih bersatu, lebih sedikit kendala, dan kemauan untuk mengejar tujuan ekonomi dan nonekonomi, Trump semakin memperkuat visinya tentang nasionalisme ekonomi.
Namun, risikonya juga lebih besar. Ekonomi global lebih rapuh, dan potensi konsekuensi yang tidak diinginkan lebih tinggi. Saat Trump terus maju dengan agenda perdagangannya, dunia harus bersiap menghadapi era baru ketidakpastian dan gangguan dalam perdagangan internasional. Apakah pendekatan ini akan mencapai tujuan yang diinginkan atau menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut masih harus dilihat, tetapi satu hal yang jelas: taruhannya tidak pernah setinggi ini. (*)