KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menilai Indonesia memiliki kelemahan besar dalam kebijakan mikroekonomi yang berdampak pada daya saing. Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa Indonesia masih memiliki ketahanan yang cukup baik pada tingkat makroekonomi, terutama dalam kebijakan fiskal dan moneter.
Namun, belakangan ini, kondisi tersebut mulai terganggu. Yose menyebutkan bahwa kebijakan Bank Indonesia (BI) belakangan ini, yang terkesan ikut campur dalam program unggulan Presiden Prabowo, 3 juta rumah telah memicu ketidakpastian di pasar keuangan.
Untuk diketahui, Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) telah menggandeng kerja sama dengan sejumlah kementerian dan lembaga.
Hal itu merupakan hasil dari rapat tertutup yang berlangsung selama sekitar 1 jam di kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani, malam ini, Rabu 19 Feberuari 2025. Rapat itu juga diikuti oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Hasil dari rapat tersebut salah satunya yakni Bank Indonesia (BI) yang memberikan insnetif Kebijakan Likuiditas Mikroprudensial (KLM) senilai Rp80 triliun untuk mendukung program 3 juta rumah.
Dalam penjelasannya Ara menyebut salah satunya dukungan likuiditas jumbo itu bakal disalurkan untuk menambah dukungan pembiayaan perumahan melalui skema Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau KPR FLPP.
"Sebenarnya Indonesia ini memang sudah terkenal tidak mempunyai kebijakan mikroekonomi yang cukup baik. Kita kehilangan daya saing kita. Tetapi pada tingkatan makroekonomi sebenarnya Indonesia masih cukup resiliens. Kebijakan-kebijakannya cukup baik dengan disiplin yang cukup baik, baik itu pada disiplin fiskal maupun juga di disiplin kebijakan moneter kita," ujar Yose dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025..
Namun, ia menilai kebijakan BI yang seharusnya fokus pada disiplin moneter justru mulai terseret dalam upaya mendorong sektor perumahan, yang bisa berisiko bagi stabilitas pasar keuangan.
"Sayangnya beberapa waktu ini hal tersebut sudah mulai terganggu. Sehingga kita bisa lihat bagaimana Bank Indonesia malah ikut-ikutan ingin mendorong pembangunan perumahan. Kebijakan-kebijakan tetap pada tingkatan suku bunga kemudian tidak sejalan dengan berbagai kondisi-kondisi yang ada itu juga dilakukan," paparnya.
Lebih jauh, Yose mengungkapkan bahwa kebijakan semacam itu menimbulkan pertanyaan besar mengenai independensi Bank Indonesia dalam mengelola kebijakan moneternya, yang pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan pasar keuangan Indonesia.
"Hal-hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan apakah independensi Bank Indonesia itu cukup baik atau tidak? Bisa kita jujur atau tidak? Dan ini sangat penting sekali, kritikal sekali ketika kita bicara tentang ketidakpercayaan di pasar keuangan," tegas Yose.
Menurut Yose, ketidakpercayaan yang terjadi di pasar keuangan dapat dengan cepat menular ke pasar saham. Salah satu dampaknya dapat terlihat pada penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG), yang mencerminkan rasa ketidakpercayaan investor terhadap kestabilan ekonomi Indonesia.
"Akibatnya kalau ketidakpercayaan di pasar keuangan itu memudar atau jatuh kita bisa lihat bagaimana dampaknya terhadap stok market kita yang sebenarnya merupakan indikator dari ketidakpercayaan tadi," kata Yose.
Tak hanya itu, ia juga menyebutkan bahwa ketidakpercayaan tersebut bisa memperburuk kondisi nilai tukar rupiah, yang sudah mulai tertekan dalam beberapa waktu terakhir. "Kemudian kalau ini dibarengi juga dengan capital outflow tentunya ini akan berpengaruh juga kepada nilai tukar rupiah," pungkas Yose.
Bahas Implementasi Program
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) menggelar pertemuan dengan Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun, serta Pandu Patria Sjahrir di Gedung Bank Indonesia, Selasa 12 Februari 2025, malam.
Pertemuan ini membahas implementasi program pembangunan dan renovasi 3 juta rumah per tahun sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
"Dari pertemuan ini semangatnya satu, bagaimana kami sebagai Menteri Perumahan menjalankan arahan Presiden Prabowo untuk membangun dan merenovasi 3 juta rumah setahun. Nah dalam konteks likuiditas dengan keadaan yang ada, bagaimana sinergi antara pemerintah dan moneter," ujar Ara.
Salah satu poin utama pembahasan adalah soal ketersediaan likuiditas guna memastikan program ini berjalan optimal. Ara menilai dukungan dari Bank Indonesia dan ekosistem terkait sangat krusial dalam pelaksanaan proyek besar ini.
"Ini benar-benar saya merasa sangat baik dan saya merasa di-support oleh ekosistem," tambahnya.
Menurut Ara, diskusi dengan Gubernur BI bukanlah yang pertama. Pembahasan sebelumnya telah menyoroti beberapa isu penting, seperti ketersediaan lahan, aspek likuiditas, sasaran program, dan kualitas perumahan.
"Hari ini kita bertemu di kantor Bank Indonesia, berdiskusi panjang dengan Bapak Gubernur dan jajaran, Bapak Menteri BUMN, Bapak Misbakhun Ketua Komisi XI, dan Pak Pandu dari Danantara," katanya.
Menanggapi hal itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan komitmen bank sentral dalam mendukung program perumahan. Salah satu bentuk dukungan adalah pemberian insentif likuiditas makroprudensial (KLM) bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor perumahan. Jumlah insentif ini akan meningkat secara bertahap dari Rp23,19 triliun menjadi Rp80 triliun.
"Kami menyediakan Rp23,19 triliun, dari hasil diskusi ini kami akan naik secara bertahap menjadi Rp80 triliun untuk mendukung program perumahan ini," kata Perry.
Perry menambahkan, sektor perumahan memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. "Kalau perumahannya maju tentu saja tidak hanya pertumbuhan ekonomi maju, tapi juga bisa mendorong dan menarik sektor-sektor yang lain," tuturnya.(*)