KABARBURSA.COM – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengungkap, adanya kecenderungan investor mengalihkan investasinya ke energi baru terbarukan, terutama para pengusaha pertambangan.
Adapun menurunnya minat investasi di sektor pertambangan terjadi pada komoditas batu bara seiring dengan menguatnya komitmen dunia untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2050.
“Saya melihat ada kecenderungan para investor dalam maupun dari luar negeri, terutama pengusaha tambang, itu sudah mulai memikirkan alternatif lain untuk menghasilkan energi baru terbarukan,” kata Fahmy saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 26 Agustus 2024.
Adapun beberapa negara yang masih menggunakan batu bara, tutur Fahmy, mengedepankan proses pengolahan yang ramah terhadap lingkungan. Kendati belum optimal, dia menilai pengolahan yang ramah lingkungan menjadi langkah yang baik untuk menjaga prospek batu bara.
“Meskipun sekarang hasilnya belum maksimal, tapi upaya itu harus segera dilakukan mulai saat ini. Karena pada saatnya, saya bahkan bahwa batu bara itu akan tenggelam,” jelasnya.
Hal serupa juga diharapkan bisa digenjot pemerintah Indonesia. Apalagi, tutur Fahmy, Cadangan batu bara dalam negeri masih cukup besar hingga saat ini. Meski begitu, dia tak menyangkal pengolahan batu bara menjadi energi yang ramah lingkungan membutuhkan modal yang besar.
“Yang harus dilakukan (pemerintah) agar tetap prospektif, maka mengolah batu bara tadi menjadi energi bersih. Nah, memang dibutuhkan desain yang cukup besar, dibutuhkan teknologi untuk mengolah tadi,” ujarnya.
Sementara saat ini, kata Fahmy, peluang investasi energi baru terbarukan dalam negeri masih sangat profitable. Apalagi, kata dia, Indonesia memiliki resource yang cukup besar dalam mendorong investasi energi bersih dalam negeri.
Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional (DEN) yang dirilis awal tahun 2024, persentase bauran energi tertinggi di Indonesia sepanjang tahun 2023 dipegang oleh batu bara, yaitu sebesar 40,46 persen. Namun, persentase tersebut terus menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 42,38 persen.
Di sisi lain, minyak bumi 30,18 persen, gas bumi 16,28 persen, EBT 13,09 persen. Prosentase EBT meningkat 0,79 persen sehingga menjadi 13,09 persen pada tahun 2023. Namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87 persen.
“Kita punya resource yang cukup besar. (Tapi) Kita nggak punya kecukupan dana, nggak punya teknologi. Nah, itu barangkali yang menjadi fokus pemerintah untuk mendorong agar investasi pengolahan batu bara menjadi energi bersih itu menjadi prioritasnya utama,” paparnya.
Menuju Senjakala Batu Bara
Berdasarkan studi yang dirilis Greenpeace East Asia beberapa waktu lalu, menyebut bahwa negara terbesar pengguna batu bara dunia, Tiongkok, mulai mengurangi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di tahun 2024.
Langkah ini, dinilai sebagai pertanda menurunnya minat dunia terhadap komoditas batu bara. Hal tersebut sejalan dengan gerakan kolektif internasional dalam mendorong capaian net zero emission pada tahun 2050.
Fahmy menyebut, tak hanya Tiongkok yang mulai mengurangi penggunaan batu bara, melainkan juga negara-negara eropa barat. Sebagian besar, negara-negara tersebut mulai melakukan transisi menggunakan energi bersih yang ramah lingkungan.
“Meskipun waktu perang Rusia-Ukrania kan tergabung dan kembali lagi ke batu bara. Tapi itu karena temporary saja sifatnya. Nah, Cina saya kira melakukan hal yang sama juga. Meskipun dia produsen dan juga konsumen terbesar batu bara,” ungkapnya.
Sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar, Fahmy menilai Tiongkok mulai meninggalkan penggunaan batu bara besar-besaran. Menurutnya, penggunaan batu bara di Tiongkok dilakukan hanya untuk menekan biaya produksi di sektor industri.
“Sebelumnya hampir semua pembangkitnya itu menggunakan Batu Barat karena memang production cost-nya itu lebih murah. Tetapi sama dengan negara lain, Cina juga sudah mulai meninggalkan batu bara,” jelasnya.
Fahmi menilai, menurunnya minat internasional terhadap batu bara menandai industri tersebut mulai memasuki usia senja. Pada akhirnya, kata dia, batu bara akan mengalami sunset industri.
“Maka saya prediksikan batu barat ini sudah akan semakin menurun prospeknya. Bahkan saya menyebutnya sebagai sunset industri. Pada saatnya dia akan ditinggalkan,” tutupnya.
Jumlah Izin Pembangunan PLTU
Dituliskan, Tiongkok dikabarkan mengurangi jumlah izin pembangunan PLTU Batu Bara hingga 79,5 persen di tahun 2024. Adapun hal itu terungkap berdasarkan studi yang dilakukan Greenpeace East Asia beberpa waktu lalu.
Dalam studinya, Greenpeace meninjau dokumen persetujuan proyek pembangunan PLTU untuk mengidentifikasi 14 proyek yang telah ditargetkan pemerintah Tiongkok dalam enam bulan pertama tahun 2024, dengan kapasitas gabungan sebesar 10,34 GW, penurunan 79,5 persen dari total persetujuan dalam 50,4 GW yang disetujui di semester pertama 2023.
Salah satu tren yang dinilai Greenpeace mengkhawatirkan yakni 71,4 persen dari persetujuan baru tahun 2024 adalah fasilitas PLTU batubara dengan kapasitas pembangkitan di atas 660 megawatt (MW), melanjutkan tren yang pada tahun 2023, yakni sebesar 70,73 persen proyek baru pada tahun 2023 berada di atas 1 GW.
Pimpinan Greenpeace East Asia, Gao Yuhe menuturkan, Tiongkok sejauh ini berangsur mengurangi penggunaan batubara sejak tahun 2024. Hal itu dilakukan seiring dengan perluasan pemanfaatan tenaga angin dan surya yang terus dilakukan Tiongkok.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.