Logo
>

Jokowi Tuding ini Jadi Penyebab Harga Beras RI Selangit

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Jokowi Tuding ini Jadi Penyebab Harga Beras RI Selangit

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan klarifikasi terkait harga beras di Indonesia yang dinilai mahal, terutama dibandingkan dengan harga beras di negara-negara anggota ASEAN. Menurut Jokowi, salah satu faktor utama yang membuat harga beras di Indonesia tinggi adalah karena perhitungan harga beras impor yang menggunakan skema "free on board" (FOB).

    FOB adalah metode perdagangan di mana penjual menanggung biaya pengiriman barang hingga barang tersebut mencapai kapal yang akan mengirimnya, sementara biaya pengiriman ke tempat tujuan (freight) dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pembeli. Dalam hal ini, harga beras dihitung dengan mempertimbangkan harga di pelabuhan negara asal sebelum pengiriman.

    "Coba dilihat harga beras FOB itu berapa, kira-kira 530 sampai 600 US dollar ditambah cost freight kira-kira 40 US dollar, coba dihitung berapa. Kalau mau membandingkan itu harusnya di konsumen. Itu akan kelihatan," ujar Presiden Jokowi dikutip di Jakarta, Kamis 26 September 2024.

    Dengan harga FOB yang mencapai 530-600 dolar AS per ton (sekitar Rp8 juta sampai Rp9 juta per ton) dan tambahan biaya pengiriman laut sebesar 40 dolar AS per ton (sekitar Rp600 ribu per ton), harga total beras impor menjadi sekitar Rp8,6 juta hingga Rp9,6 juta per ton, atau setara dengan Rp8.600 hingga Rp9.600 per kg.

    Presiden menilai bahwa harga beras impor dengan skema tersebut memang sudah tinggi, dan jika perbandingan dilakukan, seharusnya harga yang dilihat adalah harga di tingkat konsumen. Hal ini untuk memastikan perbandingan yang adil dan akurat antara harga beras di Indonesia dan negara lain.

    Selain itu, terkait dengan pendapatan petani yang dianggap rendah oleh Bank Dunia, Jokowi menegaskan bahwa hal ini sangat dipengaruhi oleh harga gabah kering panen di tingkat petani. Pemerintah, melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), berupaya menjaga harga gabah kering panen di level Rp6.000 per kg untuk memastikan petani mendapatkan keuntungan yang layak, sembari menjaga agar harga beras di tingkat konsumen tetap stabil.

    "Dulu harga gabah di petani sekitar Rp4.200 per kg, sekarang sudah mencapai Rp6.000 per kg. Itu gabah ya, bukan beras, dari situ terlihat bagaimana pendapatan petani dan Nilai Tukar Petani (NTP)," kata Presiden.

    Langkah-langkah tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyeimbangkan antara kesejahteraan petani dan harga beras yang terjangkau di pasar, meskipun ada tantangan dari harga beras global yang terus meningkat.

    Harga Di Pasar Global

    Harga beras di Indonesia lebih mahal 20 persen daripada harga di pasar global. Hal itu diungkapkan Bank Dunia. Bahkan, harga beras di Indonesia saat ini tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

    Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Carolyn Turk mengatakan, tingginya harga beras di Indonesia terjadi karena beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.

    “Kebijakan yang mendistorsi harga ini menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian,” ucap Carolyn dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Jumat, 20 September 2024.

    Ironisnya, Carolyn menegaskan, tingginya harga beras di dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.

    Mengutip hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari USD1 atau Rp15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai USD341 atau Rp5,2 juta.

    Survei ini juga menyoroti pendapatan petani tanaman pangan khususnya beras yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau pertanian hortikultura.

    “Petani (beras) mendapat keuntungan rendah, padahal di lain sisi konsumen membayar harga beras dengan harga tinggi,” ungkap Carolyn.

    Tak hanya itu, Carolyn menyebut, tingginya harga beras dalam negeri ini berdampak serius bagi masyarakat luas.

    Bank Dunia mencatat, saat ini hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat lantaran sulit membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan dan sayuran.

    “Harga beras yang tinggi semakin mempersulit konsumen miskin di Indonesia untuk membeli makanan bergizi,” ucap Carolyn.

    Untuk itu dia menyebutkan, kenaikan harga beras seharusnya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. Pasalnya Indonesia sendiri memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.

    “Pembentukan sumber daya manusia penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan,” pungkas Carolyn.

    Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Yadi Sofyan Noor mengaku bahwa para petani menikmati hasil dari usaha bercocok tanam.

    Pasalnya, kata Yadi, harga gabah kering panen (GKP) di lapangan dalam kondisi di atas harga pokok penjualan (HPP), yakni sebesar Rp7000 per kilogram. Kendati demikian, dia menilai tingginya harga beras menjadi tantangan bagi petani untuk mendorong produksi. Dengan begitu, petani bisa menikmati hasil keringatnya sendiri.

    Yadi pun membantah anggapan Bank Dunia yang menyebut petani dalam negeri kurang sejahtera. Dia bahkan mempertanyakan peran Bank Dunia bagi beras dalam negeri.

    “Justru saya bertanya apa kontribusi World Bank untuk beras Indonesia? Faktanya, tingginya harga beras menunjukkan daya beli petani dalam kondisi baik. Ini juga merupakan sinyal bagus untuk petani yang terus berproduksi,” kata Yadi dalam keterangannya, Sabtu, 21 September 2024.

    Yadi menegaskan, parameter naiknya kesejahteraan petani dapat dilihat dari berbagai rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS), baik mengenai Nilai Tukar Petani (NTP) maupun Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) yang cenderung mengalami tren kenaikan.

    Bahkan tahun ini, kata Yadi, kenaikan NTP merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir, di mana NTP pada periode awal Presiden Joko Widodo menjabat hanya sebesar 102,87 atau kenaikannya hanya 0,50 persen.

    Sedangkan NTP pada tahun ini rata-rata angkanya sangat tinggi, di mana NTP bulan April menjadi yang tertinggi yaitu sebesar  137,77 atau naik 0,40 persen. Begitu juga dengan bulan Agustus yang mencapai 138,91 atau naik 0,76 persen.

    “Kalau kita bandingkan dengan periode awal Presiden Jokowi pada 2014 lalu, NTP tahun ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir,” ungkapnya.

    BPS merilis kenaikan NTP rata-rata dipengaruhi komoditas gabah. Kenaikan NTP merupakan bukti bahwa komoditas beras selama ini masih menjadi tumpuan sekaligus harapan petani yang sangat menjanjikan terutama dalam hal peningkatan daya saing komoditas, peluang pasar ekspor dan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    “NTP merupakan indikator utama meningkatnya kesejahteraan petani di Indonesia. NTP juga merupakan bagian penting dalam menentukan sebuah kebijakan yang berfokus pada produksi,” jelasnya.

    Proyeksi Impor Beras Selama 2024

    Beberapa waktu lalu, anggota Komisi IV DPR RI Saadiah Uluputty mengatakan diproyeksikan Indonesia sepanjang 2024 diproyeksikan akan mengimpor beras sebanyak 5,17 juta ton.

    Dipaparkannya, pada Januari-April 2024 saja telah mencapai 1,77 juta ton dan rencana impor Mei-Desember 2024 sebesar 3,40 juta ton.

    Menurut Saadiah, seharusnya pemerintah sudah dapat mengantisipasi hal itu. Dia pun meminta pemerintah untuk meningkatkan produksi beras lokal untuk ketahanan pangan dan membantu kesejahteraan petani lokal.

    “Ini kan udah ada proyeksinya, pemerintah mesti bisa mengantisipasi ini, dengan cara mendorong peningkatan produksi beras lokal melalui pengembangan teknologi pertanian yang lebih baik, penyediaan subsidi pupuk dan benih yang efektif, serta pengelolaan irigasi yang lebih baik,” ujar Saadiah lewat keterangan tertulis, Senin, 9 September 2024.

    Jika proyeksi itu terbukti akurat, Saadiah menyebut, impor beras sebesar 5,17 juta ton pada 2024 akan menjadi rekor tertinggi, melampaui impor beras 4,75 juta ton yang terjadi pada tahun 1999.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.